Refleksi Keadilan Administratif: Konkretisasi Putusan Berkeadilan Melalui Optimalisasi Ganti Rugi dan Kompensasi

Adanya formulasi mengenai batasan minimum dan maksimum besaran ganti rugi dan kompensasi menjadi suatu hal esensial agar tercipta suatu ketertiban penerapan dan kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan (justiciabelen).
Ilustrasi kompensasi. Foto totalrsolutions.com/
Ilustrasi kompensasi. Foto totalrsolutions.com/

Lex Injusta non est Lex-yang terjemahan bebasnya: Hukum yang tidak adil bukanlah merupakan hukum. 

Aksioma yang dikemukakan oleh Filsuf Australia, John Finnis di atas merupakan hal yang tidak sesederhana yang dibayangkan. Bagaimana apabila putusan hakim sudah adil, namun eksekusi tidak dijalankan? Apakah putusan hakim masih layak disebut sebagai putusan yang berkeadilan? 

Saat ini, diskursus mengenai eksekusi pemerintah di peradilan tata usaha negara bergulir sangat dinamis dan alot. Pengamalan akan terlaksananya eksekusi diyakini sebagai citra dari terpenuhinya keadilan substansi selama proses litigasi di peradilan tata usaha negara.

Namun, keadilan dalam peradilan tata usaha negara tidak terbatas pada keadilan substantif belaka. Melainkan, terlaksananya keadilan prosedural yang diekspansi melalui lembaga eksekusi.

Mengutip pendapat John Thibaut & Laurens Walker, yang keduanya mengkaji mengenai keadilan prosedural secara komplementer yang berporos pada prosedur hukum dan proses sosial dari hukum tersebut. Thibaut dan Walker membagi keadilan prosedur dalam dua cakupan tahapan yaitu, tahapan pembuktian/proses dan tahapan putusan pengadilan.  

Lebih lanjut, hipotesis mengenai prinsip keadilan prosedural dalam gagasan Lawrence Solum mensyaratkan adanya akses bagi warga masyarakat untuk menghormati hasil dari proses peradilan.

Dalam kondisi demikian, eksekusi berperan memberikan kebaikan terbesar bagi warga masyarakat di mana putusan harus bersifat fungsional, yang artinya putusan dapat dilaksanakan oleh badan/pejabat pemerintahan (executable). Inilah disebut sebagai manifestasi keadilan administratif oleh peradilan tata usaha negara melalui lembaga eksekusi pemerintah.

Pada prinsipnya, peradilan tata usaha negara mengemban sebuah darma sebagai penegak hukum administrasi sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari public service pemerintah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip checks and balances antara lembaga yudikatif dan eksekutif yang dikemukakan oleh Montesquieu.

Tantangan eksekusi dalam peradilan tata usaha negara adalah eksekusi tidak hanya dibatasi pada kewajiban untuk mencabut keputusan tata usaha negara yang dijadikan sebagai objek sengketa maupun menerbitkan keputusan tata usaha negara baru, melainkan eksekusi diperluas dengan pemberian beban aksesori seperti ganti rugi dan kompensasi.

Konsep Ganti Rugi dan Kompensasi di Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berikut perubahannya tidak memberikan pemaknaan secara definitif mengenai ganti rugi dan kompensasi. Namun, secara konseptual dalam penjelasan Pasal 120 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan, besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan keadaan yang nyata. 

Selanjutnya, Pasal 117 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 telah mengonstruksikan mengenai kompensasi yang pada pokoknya menekankan bahwa dalam sengketa kepegawaian selain penerapan putusan dalam ketentuan Pasal 97 ayat 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 dan pemberian rehabilitasi terbuka peluang kondisi di mana Tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh karena adanya perubahan keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara telah mendefinisikan mengenai ganti rugi dan kompensasi. Berdasarkan pasal 1 angka 1 PP Nomor 43 Tahun 1991, ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.

Sedangkan berdasarkan pasal 1 angka 2 PP Nomor 43 Tahun 1991, kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atas beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara.

Perkembangan terbaru saat ini, Mahkamah Agung telah membuat pedoman teknis eksekusi melalui Surat Ketua Muda Tata Usaha Negara Nomor 01/KM.TUN/HK2.7/Juklak/VII/2024 perihal Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan Hukum Tetap. Berdasarkan Juklak Nomor 1 Tahun 2024 tersebut, pembayaran ganti rugi didefinisikan sebagai pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban badan tata usaha negara berdasarkan putusan pengadilan tata usaha negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat. Sedangkan kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang atau dalam bentuk lainnya kepada orang atau badan hukum perdata atas beban badan tata usaha negara (Badan TUN) karena putusan pengadilan tata usaha.

Problematika Penerapan Ganti Rugi dan Kompensasi di Peradilan Tata Usaha Negara

Problematika yang dihadapi dalam menerapkan ganti rugi dan rehabilitasi di peradilan tata usaha negara adalah nominal besaran ganti rugi dan kompensasi ditafsirkan berbeda. Dalam konteks ganti rugi, indikator nominal besaran ganti rugi yang merujuk pada PP Nomor 43 Tahun 1991 menjadi tidak relevan lagi karena nominal besaran ganti rugi adalah minimal Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan maksimal Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Sedangkan dalam konteks kompensasi, nominal besaran kompensasi adalah minimal Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan maksimal Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Alasan yang mendukung bahwa ganti rugi tidak relevan penerapannya apabila tetap merujuk pada PP Nomor 43 Tahun 1991 di atas adalah:

- Nominal ganti rugi sudah tidak sesuai dengan harga mata uang saat ini;

- Kesenjangan penerapan ganti rugi bagi individu (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon);

- Ganti rugi tidak selalu berbentuk materil yang dapat diukur dengan uang melainkan imateril;

Selain itu, praktik penentuan besaran kompensasi yang sangat variatif dan tidak merujuk pada besaran nominal kompensasi yang telah diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 1991. Terdapat beberapa penetapan kembali eksekusi kompensasi oleh Mahkamah Agung yang menunjukkan inkonsistensi penentuan besaran kompensasi. Misalnya, penetapan kembali kompensasi nomor 1/PKK/TUN/2025 dengan nominal kompensasi sejumlah Rp32.352.000,00 (tiga puluh dua juta tiga ratus lima puluh dua ribu), penetapan kembali kompensasi nomor 1/PKK/TUN/2025 dengan nominal kompensasi sejumlah Rp29.700.000,00 (dua puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah) dan penetapan kembali kompensasi nomor 3/PKK/TUN/2025 dengan nominal kompensasi sejumlah Rp48.650.400,00 (empat puluh delapan juta enam ratus lima puluh ribu empat ratus rupiah).

Paradigma Ganti Rugi dan Kompensasi di Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Eksekusi Putusan yang Berkeadilan

Pada hakikatnya, eksekusi atas putusan pengadilan bersifat imperatif sehingga tuntutan akan adanya kesadaran hukum (self- respect) pemerintah menjadi suatu keniscayaan. Pemerintah memegang peran sebagai ujung tombak putusan berkeadilan. Hal ini karena pemerintah lah yang menjadi eksekutor putusan peradilan tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap.

Internalisasi terhadap floating execution yang meletakkan sepenuhnya pelaksanaan eksekusi kepada pemerintah secara sadar (self-respect) menjadi hal yang sangat penting dalam terselenggaranya pelaksanaan putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam konteks komparasi hukum, peneliti Frank Esperraga mengungkapkan bahwa eksekusi di Belanda apabila tidak dilaksanakan merupakan bentuk penggugatan kekuasaan oleh pemerintah yang melanggar hukum. Belanda menyediakan prosedur tambahan khusus berupa adanya perintah yang disertai dengan denda berkala dengan tujuan memaksa pemerintah agar patuh terhadap putusan pengadilan.

Di sisi lain, Janina Boughey, Ellen Rock dan Greg Weeks melakukan penelitian terhadap kompensasi di Australia. Kompensasi di Australia bersifat diskresi dari pemerintah sendiri. Adapun kompensasi yang tersedia adalah kompensasi berupa pembayaran atas dasar belas kasihan (ex gratia) dan kompensasi bersifat nonhukum berupa penawaran pemulihan nonhukum atas kerugian yang telah diderita oleh penggugat. Hal ini dilakukan mengingat kompensasi adalah kewenangan yang permisif dan dapat digunakan ketika pemerintah tidak mampu mewujudkan apa yang dituangkan dalam putusan pengadilan. 

Pada dasarnya, penerapan eksekusi bergantung pada metode hukum yang disediakan oleh masing-masing sistem hukum. Metode hukum dalam penerapan eksekusi patutnya berlandaskan pada aspek perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada warga masyarakat dalam konteks otoritas publik. Optimalisasi terhadap penegakan hukum lain seperti adanya prosedur permohonan eksekusi maupun denda merupakan sarana yang efektif dalam terwujudnya pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. 

Dalam konteks ganti rugi dan kompensasi meskipun variasi nominal ganti rugi dan kompensasi di Peratun bersifat dinamis dan kasuistis. Namun, adanya formulasi mengenai batasan minimum dan maksimum besaran ganti rugi dan kompensasi menjadi suatu hal esensial agar tercipta suatu ketertiban penerapan dan kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan (justiciabelen).

Pemerintah diharapkan untuk menghiraukan aspek nonmaterial lainnya dengan berporos pada pendekatan bersifat nonlegal lainnya dengan tujuan memulihkan kerugian yang telah dialami oleh masyarakat. Kesadaran akan tindakan pemulihan sudah sewajarnya menjadi prinsip mendasar yang dimiliki oleh pemerintah. 

Referensi:

- Asimah, Dewi. “Implementasi Perluasan Kompetensi PTUN dalam Mengadili Tindakan Faktual (Onrechtmatige Overheidsdaad)”, Acta Diurnal, Vol. 4, Nomor 1 (Desember 2020):263.

- Boughey, Janina and Rock, Ellen and Weeks, Greg, Remedies for Government Liability: Beyond Administrative Law (December 24, 2019). Janina Boughey, Ellen Rock and Greg Weeks, 'Remedies for Government Liability: Beyond Administrative Law' (2019) 97 AIAL Forum 57., Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=3417444.

- Jiwantara, Firzhal Arzhi  dan Gatot Dwi Hendro Wibowo. “Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi dalam Pelaksanaannya.” IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 2, No. 4, (April 2014):160-180. 

- Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.

- Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN Nomor 77. TLN Nomor 3344.

- Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Harapan, 1996, hlm. 37-38.

- Mahkamah Agung. Surat Ketua Muda Tata Usaha Negara Nomor 01/KM.TUN/HK2.7/Juklak/VII/2024 perihal Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan Hukum Tetap.

- Nadiyya, Ahsana. “Urgensi Contempt of Court dalam Pelaksanaan Putusan PTUN: Studi Perbandingan Indonesia dan Thailand”, Jurnal Yustitia, Vol. 8, Nomor 1, (2022):48-61, DOI: https://doi.org/10.31943/yustitia.v8i1.148.

- Putrijanti, Aju. “Peran PTUN dan AUPB Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance).” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 30, Nomor 2, (Juni 2018):278-290.

- Setiawan, Desky. “Transplantasi Hukum Prinsip National Treatment dalam Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia”, Dharmasisya - Jurnal Program Magister Hukum FHUI, Vol. 2, Nomor 1, (Maret 2022):152-168, link: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/9.

- SH, Tan. “Radbruch’s Formula Revisited: The Lex Injusta Non Est Lex Maxim in Constitutional Democracies”, Canadian Journal of Law & Jurisprudence., 2021;34(2):461-491. DOI:10.1017/cjlj.2021.12.

- Solum, Lawrence B. “The Procedural Justice”, University of San Diego Public Law and Legal Theory Research Paper, 2004.

- Sunarto. “Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45, Nomor 2, (April 2016):157-163.

- Vidmar, Neil. “The Origins and Consequences of Procedural Fairness”, Social Inquiry, 1990;15(4):878, DOI:10.1111/j.1747-4469.1990.tb00607.

- Yunanto, “Menerjemahkan Keadilan dalam Putusan Hakim”, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, Nomor 2 (Oktober 2019) :92, DOI: https://doi.org/10.14710/hp.7.2.192-205.