Kewajiban Penggunaan Rupiah dalam Transaksi Pembayaran dan Penyelesaian Kewajiban di NKRI

Penting bagi seluruh masyarakat untuk memahami serta mematuhi kewajiban penggunaan mata uang Rupiah sebagaimana telah digariskan dalam UU Mata Uang demi menjaga kedaulatan ekonomi negara.
Ilustrasi mata uang Rupiah. Foto istockphoto.com/
Ilustrasi mata uang Rupiah. Foto istockphoto.com/

Mata uang nasional memiliki peran yang sangat penting sebagai simbol kedaulatan dan identitas ekonomi suatu negara. Mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (“NKRI”) adalah Rupiah.

Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional. Keyakinan masyarakat Indonesia terhadap Rupiah akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap mata uang kita dan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) merupakan instrumen hukum utama yang mengatur segala aspek terkait dengan Rupiah. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pembangunan ekonomi nasional. Undang-Undang tersebut mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI.

Mahkamah Agung melalui putusan peninjauan kembali memberikan penegasan mengenai implementasi atas ketentuan tersebut di dalam dunia praktik sebagaimana kaidah hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 158 PK/Pdt/2016 yang diadili oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali terdiri dari Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M. (Ketua Majelis), Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H. (Hakim Anggota I), dan I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. (Hakim Anggota II), serta Edy Wibowo, S.H., M.H. (Panitera Pengganti), dengan para pihaknya adalah Jawa Pos, dkk sebagai para pemohon peninjauan kembali (dahulu para tergugat) lawan PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, dkk sebagai para termohon peninjauan kembali (dahulu para penggugat).

Perkara tersebut bermula ketika para tergugat menerbitkan karikatur yang dimuat dalam surat kabar Radar Jogja edisi Selasa Wage (28/5/2002) yang telah dimuat secara terbuka dalam rubrik “Wacana” dengan judul topik “Clemong” yang menggambarkan tentang: Seorang wanita muda (cantik) yang (akan) dipegang dan digerayangi oleh seorang lelaki (tua) botak, gendut, dengan celana panjang yang sudah terbuka, kelihatan celana dalamnya, perut dan bokongnya yang sudah terbuka pula. Cc: pria tersebut kelihatan bernafsu, sementara sang wanita kelihatan ketakutan (berkeringat dingin). Di belakang pria tersebut meja kursi direktur. Di atas meja tertera tulisan “Boss Koran”, sementara di jendela ruang direktur itu, tampak melihat (mengintip) seorang pria agak botak, berkacamata dan kumis tipis mengucapkan kalimat “Ijo mana Boss lihat wanita atau duit ..”.

Kemudian pada penerbitan surat kabar Radar Jogja edisi Minggu, 2 Juni 2002 dalam rubrik “Regol” terdapat pula sebuah karikatur dengan judul “MACHOman” yang menggambarkan tentang: Seorang pria (tua) berkacamata dengan kumis jenggut dan jambang tebal dan putih agak gendut, memakai blangkon, berbaju putih, tapi memakai rok (wanita). Di tangan kirinya menggenggam wayang berbentuk seorang wanita muda, memakai blouse warna putih ada kembang-kembangnya dengan rok yang sewarna dengan blangkon yang digunakan sang pria dan pada dada kiri pria itu ada tulisan SMW. Sementara sang pria itu (seolah-olah) membayangkan/memikirkan bahwa dirinya (yang digambarkan dalam karikatur itu seorang pria yang agak tua, berblangkon dengan kumis, janggut, dan jambang yang keputih-putihan juga) sedang memegang (merangkul) dari belakang seorang wanita muda yang cantik, dengan blouse yang pundaknya dan bagian dadanya terbuka.

Selanjutnya dalam rangkaian itu, surat kabar Radar Jogja juga telah memuat karikatur sebagai caption dari berita/artikel yang menggambarkan: Seorang wanita (muda) yang sedang digerayangi atau dipegang-pegang pinggangnya, panggul, dan pantatnya oleh lelaki (tua) agak botak dan berjambang disertai dengan tulisan “pelecehan”. Karikatur sebagai caption dari berita/artikel tersebut, telah dimuat dan disiarkan oleh surat kabar Radar Jogja (para tergugat) selama Mei 2022 sampai dengan setidak-tidaknya Juli 2002. 

Menurut para penggugat, sosok pria yang dilukiskan dalam karikatur-karikatur yang termuat dalam surat kabar Radar Jogja tersebut, jelas-jelas dapat diidentifikasikan personifikasi identitasnya adalah diri pribadi penggugat III, Pemimpin Umum Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (penggugat II), serta Direktur Utama PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (penggugat I) yang disebutkan pula dengan jelas nama dan identitas penggugat III pada beberapa karikatur yang dimaksud.

Dalam gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian bagi para penggugat dengan meminta ganti kerugian materiil dan immateriil sebesar US$6.128.500 (enam juta seratus dua puluh delapan ribu lima ratus dolar Amerika), menuntut para tergugat untuk memberikan permohonan maaf yang dimuat dalam surat kabar tertentu, serta menuntut agar para tergugat secara tanggung renteng membayar uang paksa (dwangsom) sebesar US$120 (seratus dua puluh dolar Amerika) untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan.

Pengadilan Negeri Sleman yang mengadili perkara a quo, mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian dengan menyatakan, para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan para penggugat, menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti kerugian immateriil sebesar US$600.000 (enam ratus ribu dolar Amerika), menghukum para tergugat untuk memohon maaf kepada para penggugat yang dimuat dalam surat kabar tertentu, serta menghukum agar para tergugat secara tanggung renteng membayar uang paksa (dwangsom) US$60 (enam puluh dolar Amerika) untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan.

Putusan pengadilan tingkat pertama tersebut diajukan upaya hukum banding oleh para pihak. Di mana, Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang mengadili perkara a quo dalam tingkat banding memperbaiki putusan tersebut dengan meniadakan amar putusan pengadilan tingkat pertama tentang penghukuman agar para tergugat secara tanggung renteng membayar uang paksa (dwangsom) US$60 (enam puluh dolar Amerika) untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan. Sedangkan amar lainnya tetap mengikuti amar yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sleman.

Terhadap putusan pengadilan tingkat banding tersebut diajukan upaya hukum kasasi oleh para pihak. Di mana, Majelis Kasasi pada pokoknya menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi I (dahulu para penggugat) maupun permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi II (dahulu para tergugat), sehingga putusan pengadilan tingkat banding yang telah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Jawa Pos, dkk (dahulu para tergugat) mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan kasasi a quo, dengan mendalilkan terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan kasasi. Akan tetapi, Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan judex juris tersebut.

Di samping itu, alasan peninjauan kembali dapat dikabulkan sepanjang mengenai ganti rugi pada amar ketiga sejumlah US$600.000 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) yang seharusnya ditulis dalam mata uang rupiah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 UU Mata Uang.

Nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia pada hari dan tanggal diucapkannya putusan peninjauan kembali yaitu pada Rabu, 14 September 2016, adalah: nilai beli US$1 (satu dolar Amerika Serikat) = Rp13.162 (tiga belas ribu seratus enam puluh dua rupiah) dan nilai jual US$1 (satu dolar Amerika Serikat) = Rp13.294 (tiga belas ribu dua ratus sembilan puluh empat rupiah), karena itu nilai tengah kurs yang digunakan adalah US$1 (satu dolar Amerika Serikat) = Rp13.228 (tiga belas ribu dua ratus dua puluh delapan rupiah). Sehingga, penghukuman ganti kerugian sejumlah US$600.000 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) harus dibayarkan (dikonversi) ke dalam mata uang rupiah menjadi US$600,000 x Rp13.228 = Rp7.936.800.000 (tujuh miliar sembilan ratus tiga puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). 

Hal itu menyebabkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengadili kembali perkara a quo dan mengubah amar ketiga menjadi menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti kerugian imateriil kepada Para Penggugat sebesar Rp7.936.800.000 (tujuh miliar sembilan ratus tiga puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah).

Melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor 158 PK/Pdt/2016 tersebut, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan tertinggi di Indonesia telah menegaskan implementasi ketentuan mengenai kewajiban menggunakan mata uang Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dan penyelesaian kewajiban yang dilakukan di wilayah NKRI sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Mata Uang. 

Lebih lanjut, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan pada bagian Rumusan Hukum Kamar Perdata Umum huruf e memberikan kaidah hukum bahwa: “Dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).

Dengan demikian, penting bagi seluruh masyarakat untuk memahami serta mematuhi kewajiban penggunaan mata uang Rupiah sebagaimana telah digariskan dalam UU Mata Uang demi menjaga kedaulatan ekonomi negara dan stabilitas nilai tukar Rupiah guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur.