Penguatan Kewenangan Hakim dalam Pelaksanaan Pengawasan Horizontal atas Tindakan Upaya Paksa oleh Penyidik dan Penuntut Umum

Sangat disayangkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini dihilangkan dari Rancangan KUHAP terbaru.
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com

Pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa, merupakan sebuah perlindungan HAM terhadap seseorang yang sedang mengalami proses hukum yang keliru. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia sudah tentu menjadi tanggung jawab negara.

Salah satu unsur perlindungan hukum yang diberikan adalah kepastian hukum bahwa, penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku yaitu, dengan diperiksa, diadili, dan diputuskan melalui putusan praperadilan yang bersifat pasif.

Putusan Mahkamah Konstitusi melegitimasi perluasan objek praperadilan dan menambah tahapan-tahapan prosedur hukum. Hal ini membuktikan, dalam hal penetapan tersangka maupun pelaksanaan upaya paksa lainnya telah melalui perkembangan yang harus disesuaikan dengan zamannya.

Sementara itu, kewenangan hakim di dalam melakukan pengawasan horizontal melalui putusan praperadilan dinilai terlalu pasif. Ini karena hakim hanya bersifat menunggu gugatan praperadilan diajukan ke persidangan. Sehingga, untuk memperkuat fungsi pengawasan tersebut perlu diatur lebih lanjut di dalam pembaruan KUHAP melalui pemberlakuan Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada tahap praajudikasi .

Sebelum adanya lembaga praperadilan, dalam sejarah hukum acara pidana di Indonesia, pernah diperkenalkan dengan istilah Hakim Komisaris sebagaimana dimuat dalam Reglement op de Strafvoerdering, hal itu sudah diatur dalam title kedua tentang Van de regter-commissaris yang berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawas,i apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak.

Selain itu, dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut, Hakim Komisaris atau regter-commissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating judge), untuk memanggil orang, baik para saksi (Pasal 46) maupun tersangka, mendatangi rumah para saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka.

Dalam perkembangannya, sejak diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan lagi. Prof. Oemar Seno Adjie, S.H., menjabat sebagai Menteri Kehakiman, memunculkan kembali istilah Hakim Komisaris dalam konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan ke DPR pada 1974.

Konsep Hakim Komisaris mirip dengan dengan konsep pernah ada dalam Reglement op de Strafvoerdering, tetapi dalam perkembangannya, gagasan Hakim Komisaris tersebut, kemudian dianulir oleh Sekretariat Negara yang kemudian diganti dengan lembaga praperadilan, yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Sejak saat itu, masalah Hakim Komisaris tidak lagi menjadi perbincangan dan hanya kalangan akademik yang membahas mengenai sejarah hukum acara pidana Indonesia.

Pada saat perumusan RUU KUHAP Tahun 2011 yang dirancang untuk mengganti KUHAP 1981, dimunculkan kembali gagasan Hakim Komisaris sebagai pengganti dari lembaga praperadilan. Pemikiran dibentukanya Hakim Komisaris tersebut, merupakan hasil studi banding ke Belanda, di samping alasan historis, dalam rangka penyusunan RUU KUHAP dengan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan hukum di Indonesia. 

Hal yang menarik untuk diperhatikan dalam Rancangan KUHAP Tahun 2012, model pengawasan pengadilan melalui lembaga praperadilan yang sebelumnya diatur di dalam KUHAP, tidak lagi menggunakan istilah Hakim Komisaris, namun diganti menjadi konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).

Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini, kembali digaungkan pada Rancangan KUHAP lebih tepatnya dalam Pasal 111 ayat (1) RKUHAP, yang mana Hakim Pemeriksa Pendahuluan berwenang menetapkan dan memutuskan: 

a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; 

b) Pembatalan atau penangguhan penahanan; 

c) Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan  
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; 

d) Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; 

e) Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; 

f) Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; 

g) Bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; 

h) Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i) Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; 

j) Dan pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan;

Jika dilihat dari kewenangannya, dapat diketahui bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki peran yang berbeda dengan lembaga praperadilan, Mekanisme beracara Hakim Pemeriksa Pendahuluan juga telah diatur secara rinci dapat dilihat melalui Pasal 112 RKUHAP. Di mana, Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersifat aktif dan memiliki wewenang yang cukup luas yang dapat melindungi hak terdakwa dan tersangka sedangkan lembaga praperadilan bersifat pasif. Hukum acara praperadilan sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan. Sehingga, sangat disayangkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini dihilangkan dari Rancangan KUHAP terbaru. 

Masuknya HPP ke dalam RUU KUHAP tersebut, memang melahirkan pendapat yang pro dan kontra dengan argumen hukum yang berbeda-beda. Ada yang menilai dari kesiapan Mahkamah Agung. Ada juga yang menilai pihak kepolisian (penyidik) yang akan paling keberatan, karena proses ini dinilai dapat menghambat proses penegakan hukum yang menuntut kecepatan dan ketepatan atau proses yang cepat. Sedangkan jika harus melalui HPP, prosesnya akan memakan waktu lebih lama dan birokratis.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Eddy OS Hiariej, juga pernah menyatakan ketidaksetujuannya akan kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan, karena menurutnya, kinerja aparat hukum akan terhambat dengan lembaga baru ini, karena sedikit-sedikit tindakan hukum akan digugat. Permasalahan yang harus diperhatikan lagi adalah, masalah letak geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau.

Apabila dihapuskannya konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan karena alasan prosesnya akan memakan waktu lebih lama, birokratis, serta masalah letak geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, sebenarnya Mahkamah Agung telah mempunyai serta telah menerapkan Inovasi E-Berpadu, yang dibuat berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik dan Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 239/KMA/SK/VIII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara Pidana Terpadu Secara Elektronik, Elektronik Berkas Pidana Terpadu (e-Berpadu).

Melalui inovasi ini, memungkinkan terjadinya integrasi berkas pidana antarpenegak hukum untuk layanan permohonan izin penggeledahan, izin penyitaan, perpanjangan penahanan, penangguhan penahanan, pelimpahan berkas pidana elektronik, hingga permohonan penetapan diversi, tanpa harus datang langsung ke pengadilan. 

Untuk saat ini, kejaksaan dan kepolisian sampai dengan tingkat polsek, juga sudah memiliki akun e-Berpadu. Dengan telah diterapkannya inovasi e-Berpadu ini, tidak beralasan apabila masalah letak geografis, maupun alasan memakan waktu lebih lama/birokratis, menjadi penyebab dihapuskannya konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan dari rancangan KUHAP.

Mengingat diperlukannya lembaga pengawasan pada tahap praajudikasi yaitu, penggunaan wewenang penyidik dan penuntut umum. Serta dengan mempertimbangkan evaluasi mengenai kekuatan dan kelemahan lembaga praperadilan yang ada sekarang dan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam konsep RUU KUHAP dengan analisis kekuatan dan kelemahannya, maka pilihan pengaturan pengawasan pada tahap praajudikasi yang cocok untuk diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia saat ini adalah, dengan menggunakan Konsep Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang harus kembali dimuat di dalam RKUHAP. 

Adapun yang menjadi hambatan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, telah terdapat solusi dengan mengoptimalisasikan penggunaan aplikasi dan teknologi informasi, yang akan dibuat untuk proses pelaksaan subordinasi antara penyidik, penuntut, dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal tersebut dimungkinkan mengingat untuk saat ini Mahkamah Agung sendiri telah menggunakan aplikasi e-Berpadu untuk mengintegrasi berkas pidana antaraparat penegak hukum.

Penulis: Angghara Pramudya
Editor: Tim MariNews