Penyiksaan diartikan sebagai perbuatan menimbulkan rasa sakit kepada orang lain, dengan tujuan orang lain tersebut, mau memenuhi kemauan dari penyiksa. Penyiksaan dipandang sebagai tindakan yang dilarang secara universal dan mutlak berdasarkan hukum internasional, serta tidak dapat dibenarkan dalam segala bentuk keadaan.
Menurut Pasal 1 United Nations Convention against Torture (UNCAT), penyiksaan didefinisikan sebagai tindakan, yang sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan parah, baik fisik maupun mental, dengan tujuan tertentu seperti memperoleh informasi atau pengakuan, menghukum, mengintimidasi, atau memaksa, dan dilakukan atas dorongan, persetujuan, atau kesepakatan pejabat publik. Pengakuan atas UNCAT tersebut, memiliki pengikatan norma jus cogens, yang berarti prinsip dasar hukum kebiasaan internasional, tidak dapat dikesampingkan perjanjian atau segala hukum domestik suatu negara.
Penyiksaan di Indonesia telah diatur dalam Pasal 448 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), yang menyebutkan setiap orang, secara melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri, maupun orang lain.
Ketentuan tersebut, memang tidak secara spesifik menyebutkan penyiksaan, yang dilakukan penegak hukum, namun patut dipandang, untuk sementara waktu ketentuan tersebut dapat dikenakan pada subjek, yang memenuhi unsur tersebut.
Merujuk Pasal 15 UNCAT, setiap pernyataan yang diperoleh, sebagai akibat penyiksaan, tidak dapat digunakan bukti dalam proses hukum apa pun. Larangan ini, bersifat mutlak, karena bukti yang diperoleh melalui penyiksaan dianggap tidak sukarela, tidak dapat diandalkan, dan melanggar hak asasi manusia.
Penggunaan bukti dimaksud, tidak hanya merusak integritas sistem peradilan dan mencederai asas peradilan yang jujur, tetapi dapat melegitimasi praktik penyiksaan itu sendiri. Hal tersebut, menciptakan lingkaran setan, dimana pelaku penyiksaan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban penuh, dan korban terus menderita.
Mengingat,pengaturan penyiksaan dalam Pasal 448 KUHP Nasional, masih terlalu umum dan umum dan belum secara spesifik, mengakomodasi definisi penyiksaan sesuai UNCAT, secara komprehensif. Maka Indonesia, sebaiknya segera mengatur mengenai keabsahan keterangan saksi atau tersangka yang diperoleh, melalui penyiksaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru.
Pengaturan yang jelas dalam KUHAP, memastikan penegak hukum mematuhi ketentuan hukum internasional. Selain itu, pengaturan secara eksplisit, dapat menegaskan, bahwa bukti hasil penyiksaan, yang secara intrinsik tidak sah dan tidak manusiawi, dilarang digunakan di pengadilan.
Pengaturan ini, memperkuat perlindungan hak asasi manusia, menjamin proses hukum yang adil di Indonesia, serta meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.