Batas Kewenangan Akuntan Publik dalam Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara

Akuntan Publik sebagai salah satu badan atau lembaga lain di luar BPK, berhak untuk memeriksa dan mengaudit pengelolaan keuangan negara.
Ilustrasi-Laporan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Foto: istockphoto.com
Ilustrasi-Laporan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Foto: istockphoto.com

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2024 pada tanggal 17 Desember 2024 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA 2 Tahun 2024). 

Pada angka tiga hasil rapat pleno kamar pidana menyebutkan, “instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Akuntan Pulik tersertifikasi tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan mengaudit pengelolaan keuangan negara yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara. Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat juga menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian keuangan negara“. 

Apakah hasil rapat pleno kamar tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, khususnya yang mengatur perihal pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara? Serta apakah Laporan Hasil Audit Akuntan Publik dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang atau korporasi sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana yang telah mengakibatkan kerugian negara? 

Mencermati hasil rapat pleno kamar pidana yang memutuskan perihal kewenangan pemeriksaan atau audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, maka setidaknya terdapat dua hal penting yang perlu untuk diperhatikan.

Pertama, Mahkamah Agung memberikan penegasan, bahwa kewenangan konstitusional untuk menyatakan atau menetapkan perihal adanya kerugian negara adalah kewenangan yang sepenuhnya dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Kedua, Akuntan Publik sebagai salah satu badan atau lembaga lain di luar BPK, berhak untuk memeriksa dan mengaudit pengelolaan keuangan negara yang kemudian hasil pemeriksaan tersebut dijadikan dasar untuk penentuan ada atau tidaknya kerugian negara. 

SEMA Nomor 2 Tahun 2024 tersebut secara jelas dan tegas membedakan dua kewenangan, yakni kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit pengelolaan keuangan negara, serta kewenangan yang tidak hanya memeriksa dan mengaudit pengelolaan kerugian negara tetapi juga berwenang untuk menyatakan atau menetapkan kerugian negara. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara) telah mengatur perihal kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik untuk melakukan pemeriksaan atau audit atas pengelolaan keuangan negara.

Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara menyebutkan, BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan pemeriksaan tersebut terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Sementara itu, terhadap  Akuntan Publik walaupun kewenangan tersebut tidak disebutkan secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Pemeriksaan Keuangaan Negara, akan tetapi kewenangan Akuntan Publik dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara  “disinggung” dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dengan menyatakan “Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan”. 

Dengan memperhatikan kedua ketentuan hukum tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik dapat melakukan pemeriksaan atas penggunaan dan pengelolaan keuangan negara;

Walaupun Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara telah memberikan kewenangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik untuk melakukan pemeriksaan atau audit atas pengelolaan keuangan negara, akan tetapi Badan Pemeriksa Keuangan dan Akuntan Publik memiliki batas kewenangan yang berbeda.  

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut Undang-Undang BPK) diketahui, selain memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas penggunaan atau pengelolaan keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan juga memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan kerugian negara. Kewenangan BPK untuk menyatakan dan menetapkan jumlah kerugaian negara memiliki keterkaitan dengan proses penegakan hukum atas tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara tersebut. 

Sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang BPK mengatur bahwa apabila Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya unsur perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian negara, maka laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang memuat penilaian dan pernyataan perihal kerugian negara tersebut dapat diserahkan kepada Penyidik serta Laporan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut memiliki kekuatan sebagai dasar dimulainya penyidikan. 

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang BPK, dapat diketahui bahwa Undang-Undang BPK telah memuat suatu aturan hukum yang mengatur perihal keabsahan proses penyidikan atas dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan kerugian negara. Sehingga selain proses penyidikan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), proses Penyidikan atas dugaan tindak pidana yang telah mengakibatkan kerugian negara harus dilakukan atas dasar Laporan BPK yang menyatakan telah adanya kerugian negara beserta besaran kerugian tersebut. 

Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa dan menetapkan kerugian negara serta melaporkan dugaan tindak pidana yang telah mengakibatkan kerugian negara tersebut, tidak dimiliki oleh Akuntan Publik. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (selanjutnya disebut Undang-Undang Akuntan Publik) Akuntan publik dalam menjalankan tugas dan profesinya dapat melakukan pemeriksaan atau audit atas penggunaan dan pertanggug jawaban keuangan negara.

Akan tetapi, dalam pelaksanaan tugas tersebut Akuntan Publik memiliki kewenangan yang terbatas karena Akuntan Publik tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan dan menilai secara langsung perihal adanya kerugian negara pada badan atau instansi yang diperiksanya. 

Apabila dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Akuntan Publik ditemukan kerugian negara pada lembaga atau badan yang diauditnya, atau bahkan justru menemukan adanya unsur pidana yang menyebabkan kerugian negara tersebut maka Akuntan Publik diwajibkan untuk menyerahkan laporan hasil pemeriksaannya tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan, yang mana kedua aturan hukum tersebut menyatakan “dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan“. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan dapat diketahui bahwa secara hukum akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara pada suatu badan atau instansi, akan tetapi akuntan publik tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan dan menetapkan secara langsung perihal kerugian negara tersebut. 

Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Akuntan Publik tersebut wajib untuk diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Sebagai satu-satunya lembaga/badan yang memiliki kewenangan untuk menyatakan dan menetapkan besaran kerugian negara, maka hasil pemeriksaan dari akuntan publik tersebut wajib diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk kemudian hasil audit tersebut akan dievaluasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara). 

Apabila dari hasil evaluasi tersebut BPK menetapkan bahwa benar telah adanya kerugian negara pada badan atau instansi yang telah diaudit oleh Akuntan Publik, maka laporan Akuntan Publik tersebut digunakan sebagai salah dasar bagi Badan Pemeriksa Keuangan untuk menetapkan kerugian negara beserta dengan jumlah kerugian tersebut di dalam Laporan Badan Pemeriksa Keuangan. Ketentuan hukum ini kembali dipertegas oleh Mahkamah Agung dalam SEMA 2 Tahun 2024 yang menyatakan “. . . . . Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Akuntan Pulik tersertifikasi, tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan mengaudit pengelolaan keuangan Negara yang hasilnya dapat dijadikan dasar untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara “. 

Sehingga secara hukum hasil rapat kamar pidana yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dalam SEMA 2 Tahun 2024 tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, justru Mahkamah Agung ingin mempertegas norma yang telah diatur di dalam Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara dan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan bahwa kewenangan untuk menyatakan kerugian negara tersebut merupakan kewenangan tunggal yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sementara terhadap akuntan publik hanya memiliki kewenangan sebatas melakukan audit atau melakukan pemeriksaan.

 Apabila dari hasil pemeriksaan tersebut akuntan publik menemukan adanya indikasi kerugian negara, maka akuntan publik tersebut wajib untuk menyerahkan laporan auditnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan untuk selanjutnya Badan Pemeriksa Keuangan yang akan menetapkan kerugian negara beserta dengan jumlah kerugian tersebut di dalam Laporan Badan Pemeriksa Keuangan.

Apabila dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian negara (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Tipikor) penyidik hanya berpegang pada hasil audit akuntan publik tanpa disertai dengan adanya Laporan BPK, maka setidaknya terdapat dua hal yang berpotensi menjadi permasalahan hukum dalam proses penyidikan tersebut. Pertama, lemahnya kekuatan pembuktian dari alat bukti yang digunakan oleh penyidik untuk  membuktikan terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara”.  Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan telah mengatur bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah menilai dan menetapkan adanya kerugian negara. 

Adanya kewenangan konstitusional pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk menyatakan kerugian negara memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat untuk membuktikan terpenuhinya unsur kerugian negara. Sehingga apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 187 huruf b KUHAP maka Laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang telah menyatakan adanya kerugian negara dipandang sebagai satu alat bukti surat yang dapat berdiri sendiri, yang memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat untuk membuktikan perihal terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara”. 

Sedangkan terhadap akuntan publik, oleh karena akuntan publik tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan kerugian negara, maka laporan hasil audit akuntan publik tersebut tidak dapat dipandang sebagai suatu alat bukti surat yang berdiri sendiri  yang memiliki kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan terpenuhinya unsur kerugian negara. Laporan hasil audit akuntan publik tersebut harus dielaborasi dengan alat bukti lainnya sehingga kemudian dipandang cukup untuk membuktikan unsur kerugian negara tersebut. 

Kedua, penyidikan atas perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian negara tanpa didasarkan pada Laporan Badan Pemeriksa Keungan dapat menyebabkan proses penyidikan tersebut menjadi tidak sah secara hukum. Bahwa dalam melaksanakan tahapan penyidikan, salah satu prinsip yang harus selalu dijunjung tinggi oleh penyidik yakni prinsip due process of law. Penyidik wajib untuk memperhatikan dan mentaati setiap prosedur penyidikan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Khusus mengenai penyidikan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka selain memperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, Penyidik juga sudah seharusnya untuk memperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara sebagai lex specialis yang mengatur perihal mekanisme pemeriksaan pengelolaan keuangan negara telah menyebutkan perihal kewajiban bagi Akuntan Publik untuk menyerahkan hasil auditnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan untuk selanjutnya hasil audit tersebut menjadi bahan evaluasi dan dasar bagi Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengeluarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan.

Serta, pada ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan mengatur secara jelas bahwa Laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan perihal adanya kerugian negara merupakan dasar untuk dimulainya proses penyidikan. 

Sehingga, apabila memperhatikan kedua aturan tersebut, maka dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan adanya kerugian negara, Laporan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, tidak hanya berkekuatan sebagai satu alat bukti, akan tetapi laporan Badan Pemeriksa Keuangan juga sebagai salah satu syarat yang wajib dipenuhi guna menyatakan proses penyidikan tersebut telah dimulai dan dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 

Pembatasan kewenangan akuntan publik dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara seharusnya tidak dipandang sebagai bentuk  pelemahan proses penegakan hukum. Pembatasan kewenangan tersebut justru diperlukan guna memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri.

Jika setiap hasil audit akuntan publik dipandang sebagai suatu bukti yang kuat untuk menyatakan adanya kerugian negara, maka kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk menyatakan adanya kerugian negara menjadi hilang dan disimpangi. Serta penggunaan audit akuntan publik sebagai dasar penetapan tersangka juga berpotensi menimbulkan kecarut-marutan dan ketidak pastian hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri.

Penulis: Satria S. Waruwu
Editor: Tim MariNews