Seri KUHP Nasional III: Asas Retroaktif

Adanya pemberlakuan asas retroaktif dalam KUHP Nasional memberikan ruang yang jelas agar KUHP Nasional tidak kaku sebagaimana kesan yang melekat pada asas legalitas.
Ilustrasi KUHP
Ilustrasi KUHP

 Sebagaimana penjelasan di seri sebelumnya, telah diterangkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang sangat penting dalam keberlakuan hukum pidana di Indonesia, namun ternyata dalam pemberlakuannya baik dalam KUHP Warisan Kolonial maupun dalam KUHP Nasional telah ada pengecualian. Bahkan dalam perjalanan sejarah hukum Indonesia pernah pula diterbitkan undang-undang yang menyimpangi asas legalitas tersebut. 

Penerapan asas legalitas memang sangat penting, namun terasa kaku dalam pemberlakuannya. Oleh karenanya dibutuhkan suatu jalan keluar, sehingga diberlakukan lah asas yang terkesan menyimpanginya, namun sebenarnya asas tersebut melengkapi keberlakuan asas legalitas itu sendiri. Asas tersebut dikenal dalam lapangan hukum pidana sebagai asas retroaktif. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang Ali Masyar Mursyid, menguraikan penerapan asas retroaktif ada dua jenis, yakni retroaktif murni (pure) dan retroaktif semu (pseudo).

Retroaktif murni telah memberikan ruang sejak awal untuk pemberlakuan asas retroaktif pada sebuah undang-undang baru, contohnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mana undang-undang tersebut berlaku surut kepada pelaku Bom Bali (Amrozi dkk).

Sementara retroaktif semu diterapkan apabila ada perubahan undang-undang ketika suatu proses criminal justice berjalan, yang menerapkan asas lex favor reo,  yakni asas pengenaan sanksi berdasarkan hukuman yang paling menguntungkan. 

Dalam KUHP lawas, asas retroaktif dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” pada pasal tersebut nampak telah menerapkan asas lex favor reo

Sementara pada KUHP Nasional pada termuat pada Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana”. 

Pasal tersebut dimaknai bahwa jika suatu tindak pidana dilakukan dan dalam prosesnya ternyata terjadi perubahan pengaturan perundang-undangan terkait tindak pidana yang dilakukannya itu, maka yang bersangkutan tetap diberlakukan undang-undang yang baru (asas retroaktif), namun hal tersebut dapat disimpangi jika undang-undang yang lama lebih meringankan bagi pelaku tindak pidana, sebagaimana asas lex favor reo

Pada ayat (2) pasal tersebut, malah memungkingkan jika suatu peraturan yang baru tidak lagi menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, maka proses hukum terhadap seorang pelaku harus dihentikan demi hukum, lebih lanjut pada ayat (3) jika ketentuan ayat (2) tersebut diberlakukan, maka jika yang bersangkutan ditahan di tiap tingkatan proses, maka pejabat yang menahannya harus mengeluarkannya dalam tahanan. 

Asas retroaktif ini bahkan dapat diberlakukan lebih jauh lagi, sebagaimana Pasal 3 ayat (4) yakni bahkan setelah putusan telah berkekuatan hukum tetap pun asas lex favor reo ini pun masih dapat diberlakukan. jika suatu peraturan yang baru telah menetapkan suatu perbuatan bukan lagi sebagai tindak pidana, maka pelaksanaan putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat dihapuskan.

Terhadap terpidana akan dibebaskan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana pada ayat (5). Namun pemberlakuan ketentuan ayat (3) dan ayat (5) tersebut, tidak membuka ruang kepada tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk mengajukan praperadilan untuk menuntut ganti kerugian. 

Lebih lanjut pada ayat (7) jika suatu putusan pemidanaan telah berkekuatan hukum tetap, dan kemudian lahir suatu peraturan yang baru yang pidana maksimalnya lebih ringan dari suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka pelaksanaan putusan menyesuaikan undang-undang yang baru, hal tersebut berlaku juga terhadap jenis ancaman pidana yang berbeda. 

Jika memperbandingkan asas retroaktif pada KUHP lawas dengan KUHP Nasional, nampak perbedaan yang mencolok, meskipun keduanya menerapkan asas lex favor reo, namun pengaturan pada KUHP lawas terkesan masih sangat sederhana, sedangkan pada KUHP Nasional nampak pemberlakuannya lebih luas baik dan jelas pada tahap penyidikan, penuntutan, persidangan, bahkan hingga pelaksanaan putusan. 

Secara teoritis dapat dipahami adanya pergeseran pengaturan asas retroaktif yang berbeda pada kedua KUHP tersebut. Bahwa KUHP Lawas masih berorientasi pada pemidanaan yang bersifat sebagai pembalasan (daad strafrecht). Sedangkan KUHP Nasional yang baru menggunakan paradigma yang lebih mengedepankan adanya keseimbangan antara pelaku dengan perbuatannya (daad-dader strafrecht) yang lebih manusiawi. 

Pemberlakuan Pasal 3 KUHP Nasional berkaitan dengan setiap tahapan, baik pada tahapan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, putusan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali, bahkan pada saat pelaksanaan putusan. Pemberlakuan ini untuk memberikan pemenuhan hak-hak dari tersangka, terdakwa, ataupun terpidana. Selain itu pengaturan pasal ini mencakup kewajiban setiap aparat penegak hukum. 

Adanya pemberlakuan asas retroaktif dalam KUHP Nasional memberikan ruang yang jelas, agar KUHP Nasional tidak kaku sebagaimana kesan yang melekat pada asas legalitas.