Kompleksitas Eksekusi Restitusi oleh Kejaksaan sebagai Eksekutor

Tidak adanya pengaturan restitusi dalam tataran undang-undang, menyebabkan masih rancunya praktik permohonan restitusi hingga eksekusi restitusi.
Pelaksanaan penyerahan biaya restitusi kepada korban. Penyerahan ini di laksanakan di kantor Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu. Foto dokumentasi Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu.
Pelaksanaan penyerahan biaya restitusi kepada korban. Penyerahan ini di laksanakan di kantor Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu. Foto dokumentasi Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu.

Restitusi merupakan perwujudan nyata pemenuhan Hak Asasi Manusia korban yang telah dirugikan akibat perbuatan pidana dari terdakwa. Restitusi merupakan pengembalian ganti kerugian baik dalam bentuk materiel maupun immateriel terhadap korban dari terdakwa sebagai bentuk hukuman.

Perihal restitusi ini, sangat erat dikenal dalam konteks Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebagai lembaga yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, LPSK menyuarakan hak korban termasuk hak atas restitusi yang ditegaskan dalam Peraturan LPSK Nomor 1 Tahun 2010 dan Peraturan LPSK Nomor 7 Tahun 2020.

Peraturan lebih teknis mengenai restitusi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020. Walaupun demikian, peraturan tersebut dipandang masih kurang jelas dan lengkap untuk teknis peradilan, baik dalam konteks permohonan hingga pelaksanaan restitusi. Untuk itu, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi (PERMA Restitusi).

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, restitusi semakin dapat dilakukan dengan kemudahan selama permohonan restitusi yang diajukan beralasan dan wajar sesuai dengan ketentuan yang ada. Esensi dari restitusi juga didasarkan pada perhitungan yang kritis, misalnya permohonan restitusi diajukan terhadap biaya medis yang sudah terkalkulasi dan bukan untuk biaya hiburan.

Keberadaan peraturan tersebut tidak diimbangi dengan tataran undang-undang yang mendukung. Permasalahan belum adanya undang-undang mengenai restitusi sebelumnya telah diangkat oleh Hakim Pengadilan Negeri Luwuk Azizah Amalia, yang menjelaskan, seharusnya restitusi diatur dalam tataran undang-undang seperti KUHAP namun KUHAP maupun RUU KUHAP belum membahas mengenai restitusi (dapat dibaca tulisan beliau pada https://www.hukumonline.com/berita/a/mendorong-ruu-kuhap-menuju-mekanisme-restitusi-korban-yang-humanis-dan-progresif-lt683fc0773398a/).

Tidak adanya pengaturan restitusi dalam tataran undang-undang, menyebabkan masih rancunya praktik permohonan restitusi hingga eksekusi restitusi. Sebagai contoh, dalam perkara 3/Pid.Sus.Anak/2025/PN Kbu, telah dikabulkan permohonan restitusi yang diajukan LPSK dalam proses pemeriksaan pokok perkara pidana dan telah dikabulkan permohonan restitusi atas dasar perhitungan yang wajar serta buktinya mengikuti petunjuk dari PERMA Restitusi.

Akan tetapi, diskusi pascaputusan dengan penuntut umum yang berkaitan menunjukkan, permohonan restitusi tersebut tidak dapat dieksekusi. Oleh karena harta dari terpidana tidak mencukupi untuk membayar hukuman restitusi. Pengadilan telah menjelaskan ketentuan Pasal 30 ayat (11) PERMA Restitusi yang memungkinkan penuntut umum sebagai eksekutor untuk melakukan penyitaan harta benda atau aset terpidana untuk dilelang dan membayar restitusi. Namun, penuntut umum masih terkendala atas dasar teknis pelaksanaan tersebut.

Merujuk pada penelitian Dillak, kedudukan kejaksaan sebagai penuntut atau dominis litis juga berkontradiksi dengan pandangan, penyitaan dan penelusuran harta benda atau aset terdakwa/terpidana untuk disita adalah menjadi domain atau kewenangan dari kepolisian sebagai penyidik, sehingga proses eksekusi restitusi menjadi terkatung-katung (Dillak:2024).

Walaupun pengaturan restitusi sudah baik, akan tetapi hambatan dari permohonan restitusi hingga eksekusi putusan restitusi adalah proses pengumpulan dokumen persyaratan restitusi. Termasuk mengumpulkan data harta benda atau aset terdakwa/terpidana hingga eksekusi putusan restitusi oleh karena peraturan teknis yang ada merupakan Peraturan Mahkamah Agung yang berbeda tatarannya dengan undang-undang ataupun berbeda dengan Peraturan Kejaksaan Agung yang lebih mengikat institusi kejaksaan sebagai eksekutor (Dillak:2024). 

Menyadari kompleksitas masing-masing institusi, perlu dibentuk undang-undang secara khusus yang mengatur restitusi, khususnya mengenai teknis permohonan dan eksekusi restitusi. Termasuk, kewenangan penelusuran aset hingga penaksiran aset untuk pemenuhan restitusi agar tidak terjadi kekaburan yurisdiksi antara penyidik, penuntut umum, hingga peradilan. 

Copy