“The ideal subject of totalitarian rule is […] people for whom the distinction between fact and fiction […] and the distinction between true and false […] no longer exist.”
Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism).
Filsuf Yuval Noah Harari mengangkat sebuah perspektif yang bisa disimak dari sisi hukum tentang data.
Bagi Harari dalam Nexus (2024:37), data di abad ini sama kuatnya dengan properti di abad lalu. Harari adalah seorang filsuf avant-garde yang sangat didengarkan pendapatnya dalam teknologi dan konsekuensinya bagi peradaban.
Salah satu poin penting bagi para iuris adalah bagaimana pencederaan di era realitas virtual dan teraugmentasi dapat terjadi pada data yang dimiliki seseorang, bukan hanya pada harta pribadi. Dengan kata lain, sangat sulit bagi para ahli hukum sekarang untuk memahami bahwa kepemilikan di sebuah dunia virtual sama pentingnya dengan dunia riil.
Lanskap persoalan perlindungan proteksi data pribadi saat ini (data protection right), menurut pakar hukum Belanda Bert-Jaap Koops (2024) dalam sebuah forum di Fakultas Hukum Universitas Cambridge, dapat dianalogikan seperti sebuah gunung es: kritik yang bermunculan tentang privasi data di Uni Eropa sebenarnya jauh lebih kecil dari ketidakpuasan publik tentang informasi sensitif yang sifatnya personal.
Penegakan hukumnya pun masih cukup lemah, David Erdos, pakar hukum dari Cambridge. Erdos (2024) mencatat, perlu sebuah instrumen yang memungkinkan institusi yang mengadvokasi masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu untuk berhadapan dengan korporasi yang kerap menyederhanakan persoalan kebocoran data personal.
Tidak mudah bagi warga negara untuk mencari keadilan sehubungan dengan perlindungan data pribadi. Pakar hukum dari London School of Economics, Orla Lynskey (2024), mengajukan empat pertanyaan fundamental dalam kaitannya dengan perlindungan data pribadi.
Pertama, bila prosedur penegakan hukum terhadap kasus penyebaran data seseorang atau lembaga diperkuat, apakah penerapannya harus padat teknologi? Berikutnya, bila berbagai negara memiliki ukuran yang berbeda-beda tentang penegakan tersebut, bagaimana caranya meningkatkan kepatuhan pada aturan yang berlaku?
Ketiga, bagaimana cara menjelaskan keengganan pemerintah untuk mendisiplinkan pihak-pihak yang mengelola data publik? Terakhir, haruskah negara menjadi institusi yang otonom dalam hal penegakan hukum yang terkait dengan upaya melindungi data seseorang dari risiko penyebaran yang sifatnya nonkonsensual.
Keempat pertanyaan tersebut adalah poin-poin penting yang dapat dijawab lewat berbagai artikel di jurnal ilmiah di tingkat teoretis, dan oleh iuris di tingkat praksis. Artinya, persoalan data pribadi dan instrumen proteksi yang dapat dipergunakan oleh negara, tidak terkecuali di Indonesia dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), adalah wilayah yang masih terbuka untuk dikaji dan diolah, sebelum dapat menjadi payung legal yang lebih inklusif yang dapat melindungi hak-hak warga negara untuk tidak dicederai informasi-informasi sensitifnya yang memang bukan konsumsi komersialisasi publik.
Lebih dari itu, gelagat abad ini oleh berbagai pihak, terutama para teknokrat, digadang sebagai abad informasi cerdas (“the age of Artificial Intelligence”). Persis seperti penemuan emas memicu ekspansi besar-besaran (goldrush) ke wilayah-wilayah seperti California, Amerika Serikat, abad ini dicirikan dengan antusiasme data (“datarush”).
Datakrasi sebagai Konstruksi Totalitarian Baru
Pakar komputer dari raksasa teknologi IBM, Darío Gil (2023), mengatakan, data adalah satu dari tiga pilar utama dari kecerdasan buatan di abad ini, selain sistematika model dan komputasi. Ini berarti bahwa secara tidak langsung, data adalah fondasi dari peradaban baru yang memberi ruang pada disrupsi mekanis terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Pernyataan Gil ini dapat dipahami dengan cara yang berbeda: privasi data menjadi sangat sentral karena sangat berpengaruh terhadap harkat dan martabat seseorang, bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan Gil sendiri menyatakan bahwa data menjadi lebih mendesak untuk dipagari dengan rambu-rambu pengaman yang lebih kokoh dibandingkan dengan masa prainternet.
Menurut Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018:225-227), distribusi data menentukan definisi tentang keadilan. Semakin tersebar data ke berbagai institusi otoritatif, semakin sulit kita meminta pertanggungjawaban dari satu pihak atas kesalahan yang “tidak pernah” mereka lakukan.
Manusia di zaman berburu dan meramu, lanjut Harari, dapat langsung dimintai pertanggungjawaban karena mereka terlibat secara langsung. Sebagai ilustrasi, setiap orang makan dan bertanggung jawab atas hasil buruannya. Bila daging tersebut dikonsumsi dan ternyata beracun, maka pemburu dapat langsung menerima konsekuensinya.
Namun sejak Revolusi Industri, proses manufaktur barang dan jasa terpisah jauh. Seorang penjahit baju di industri garmen mungkin tidak akan pernah sekali pun mengenakan baju yang ia jahit.
Era industrialisasi menjarakkan produsen dan konsumen. Dalam model interaksi semacam ini, manusia seolah ditarik ke luar dari marwah interaksi sosialnya. Hannah Arendt (2017:328-330) menengarai bahwa situasi semacam ini akan menghasilkan ketercerabutan dan keterpisahan yang berdampak secara psikologis.
Dalam situasi ini, manusia seolah dinegasi hakikatnya sebagai mahluk sosial. Dengan penegasian ini, menurut Arendt secara alamiah manusia cenderung mencari pengganti dari rasa kehilangan dalam bentuk informasi, yang tidak lain adalah data. Dengan demikian, dalam era kecerdasan buatan, mengendalikan data setara dengan menarik individu ke dalam jejaring kendali mental.
Totalitarianisme dapat mengasumsikan wujudnya kembali saat ada pihak-pihak yang dengan sengaja melanggar hak seseorang dengan secara nonkonsensual mengeksploitasi data orang tersebut untuk kepentingan pribadi. Saat data menjadi fondasi dari kekuasaan, yang terjadi adalah datakrasi (datum-kratos).
Lembaga demokratis pun kehilangan legitimasi, dan yang berkuasa adalah mereka yang memiliki akses terhadap data: perusahaan-perusahaan teknologi yang punya akses terhadap big data (agregat data yang ada di internet), yang akhirnya menjadi penentu keputusan atau kebijakan yang sifatnya publik.
Perlindungan Data Pribadi sebagai Fondasi Demokrasi
Harari mengingatkan, bahwa "“we now suffer from global problems, without having a global community” (manusia sekarang mengalami masalah secara global, tanpa adanya kehadiran komunitas global); Harari, 2018:230.
Masalah data pada dasarnya bersifat global, dan dunia yang semakin terhubung menjadi membuat persoalan proteksi data pribadi sesulit krisis iklim. Tidak ada satu negara pun yang dapat menyelesaikannya sendiri. Sebagai analogi, asap akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatera, yang sebelumnya bersifat lokal, sekarang menjadi masalah regional Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), dan bahkan global.
Masih tentang krisis lingkungan regional, Daanish Masood Alavi (2024), pakar manajemen sumber daya air Inggris, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg mengatakan, ketahanan air Amerika Serikat sangat bergantung pada keberadaan hutan masif di Amazon. Singkatnya, dalam interkonektivitas yang intens, tidak ada persoalan yang sifatnya lokal dan terisolasi.
Lebih dari itu, data menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan demokrasi sebagai fondasi negara modern seperti Indonesia. Demokrasi pada dasarnya didasarkan atas konsensus antarindividu, ketika setiap warga negara berhak menyuarakan pendapat dan gagasannya. Arendt mengatakan bahwa “The totalitarian movements aim at and succeed in organizing masses-not classes, like the old interest parties of the Continental nation-states; not citizens with opinions about, and interests in, the handling of public affairs, like the parties of Anglo-Saxon countries” (Tujuan dan misi gerakan totalitarian adalah penggalangan dan pengorganisasian massa-bukan kelas atau partai seperti di negara-negara di Benua Eropa; bukan aspirasi warga negara dan kepentingan publik, seperti partai-partai di negara-negara Anglo-Sakson); Arendt, 2017:319.
Sebuah negara totalitarian tidak memberi ruang untuk berpendapat pada warga negaranya, dan sistem penggalangan massa cenderung melahirkan negara panoptikonik saat negara mengawasi setiap aktivitas individu sebagai bagian dari negasi aspirasi.
Dengan demikian, demokrasi sekarang menjadi persoalan intermestik dan bukan lagi terbatas geliat domestik. Tidak mudah untuk mengelola data terkait sendi kehidupan masyarakat karena sebagian data tersebut milik perusahaan multinasional seperti Google atau Meta.
Dengan menjadi pelanggan mesin pencari (search engine), orang Indonesia secara tidak langsung menjadi pengumpan data (dataset feeder) dari big data yang tersimpan di peladen (server) sentral perusahaan tersebut. Datakrasi adalah sebuah bentuk negara totalitarian dengan data sebagai fondasi kekuasaannya.
Bedanya dengan negara demokrasi, data dalam pemerintahan datakratik adalah instrumen pemaksaan kekuasaan, yang jauh dari konsep keadilan. Perlindungan data sekarang mesti dimaknai bukan sebagai informasi, tetapi sebagai sendi demokrasi yang sama vitalnya dengan elemen ketahanan sebuah negara.