Pendahuluan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang sangat vital dan penting bagi negara, hal tersebut dapat dilihat dari proyeksi penerimaan perpajakan 2025 sebesar 10,24% PDB atau setara Rp2.490,9 triliun dari total proyeksi pendapatan negara 2025 sebesar Rp3.005,1 T (Informasi APBN 2025 diakses pada https://media.kemenkeu.go.id tanggal 13 April 2025).
Signifikannya kontribusi pajak dalam postur APBN sebagai penggerak ekonomi nasional, karenanya diperlukan berbagai pendekatan untuk memastikan kepatuhan pembayaran pajak.
Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment system (Pasal 12 UU KUP), namun tidak mengurangi peran fiscus untuk melakukan pengawasan kepatuhan WP.
Sejalan dengan itu, guna menjaga kepatuhan peraturan di bidang perpajakan juga mengatur sanksi pidana yang berkarakter administratif, sebagai penegas hukum pajak sebagai hukum publik. Sekaligus, menjadi bagian integral dari politik hukum perpajakan guna mengutamakan kepatuhan pembayaran pajak (compliance-oriented). Sejalan dengan semangat tax collection sebagai sumber fiskal nasional, maka penekanan pendekatan administrative penal law dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengatur mekanisme Pembetulan dan Pengungkapan Ketidakbenaran
Ketentuan Pasal 8 UU No. 7/2021 UU HPP menganut konsep pembetulan dan pengungkapan ketidakbenaran. Ketentuan ini memberi kesempatan kepada WP yang baik karena kealpaannya maupun karena secara sengaja (vide Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) huruf c, dan d UU HPP) untuk melakukan pembetulan surat pemberitahuan yang telah disampaikan sebelum Dirjen Pajak melakukan tindakan pemeriksaan.
Lebih lanjut Pasal 8 ayat (6), memberi kesempatan kepada WP untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal WP menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu tiga bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
UU HPP juga mengadopsi konsep pengungkapan ketidakbenaran. Ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU HPP, menyatakan, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pengungkapan ketidakbenaran ini, dapat langsung menghentikan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A UU HPP, dengan syarat Dirjen Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Berorientasi Follow The Money Dan Asset Tracing
Penegakan hukum tindak pidana di bidang perpajakan berbasis follow the money dan asset tracing (Pasal 44 ayat (2) huruf j UU HPP dan Pasal 35 UU No. 28/2007), didorong oleh upaya untuk memperoleh kembali kerugian negara dari sektor pajak yang hilang akibat ketidakpatuhan dalam pembayaran pajak.
Harapannya, dengan penerapan konsep follow the money dan asset tracing, penegakan hukum pidana perpajakan tidak hanya menghasilkan suatu putusan yang illusoir tetapi dapat memberikan tambahan penerimaan negara melalui penelusuran aset dan aliran dana pelaku.
3. Hak Mendahului Pelunasan Utang Pajak
Ketentuan mengenai hak mendahului dalam pelunasan utang pajak sudah jamak diketahui, bahkan mendahului kedudukan kreditor separatis dalam konteks hukum jaminan.
Ketentuan mengenai hak mendahului berlaku selama lima tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No. 28/2007 mengatur bahwa negara memiliki kedudukan yang istimewa untuk selalu didahulukan dalam pelunasan pajak yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
4. Penghentian Penyidikan
Ketentuan perpajakan secara garis besar mengenal dua alasan penghentian penyidikan, yaitu pertama, penghentian penyidikan dalam arti objektif dalam hal (1) WP melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3), (2) Tidak terdapat cukup bukti, (3) Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, (4) demi hukum karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia atau karena daluwarsa. Kedua, demi kepentingan penerimaan negara sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 44B ayat (1) UU HPP.
5. Pidana Denda Tidak Dapat Digantikan Dengan Pidana Kurungan
Sejalan dengan upaya untuk memaksimalkan pendapatan negara disektor pajak Pasal 44C ayat (1) UU HPP mengatur pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.
Alasan rasional yang mendasari munculnya ketentuan ini karena tidak dipisahkannya antara utang pajak dan denda ketidakpatuhan dalam ketentuan pidana UU HPP.
Namun, meskipun pidana denda tidak dapat diganti dengan pidana kurungan, ketentuan Pasal 44C ayat (3) UU HPP disebutkan dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus.
6. Pelunasan Di Persidangan dan Tuntutan Tanpa Disertai Pidana
Ketentuan mengenai pelunasan di persidangan diatur dalam Pasal 44 ayat (2a) UU HPP. Ketentuan mengenai pelunasan di persidangan menjadi pertimbangan bagi penuntut umum untuk menuntut terdakwa tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
7. Persidangan In Absentia dan Larangan Pidana Bersyarat
Persidangan perkara tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) sebagaimana diatur dalam Pasal 44D ayat (1) UU HPP.
Selanjutnya sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan Dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, poin 4 menyebutkan “Pidana percobaan tidak dapat dijatuhkan kepada Terdakwa tindak pidana di bidang perpajakan”.
8. Berlaku Lex Specialis Yuruidikal
Dalam menghadapi konflik norma antar undang-undang khusus terhadap tindak pidana di bidang perpajakan berlaku lex speciale sistematis (logische specialiteit) karena memenuhi tiga syarat:
- Mempunyai undang-undang pidana materil (UU PPh, UU PPN dan PPnBM, UU BPHTB, UU PBB dan UU Bea Meterai).
- Mengatur hukum formil (UU KUP/UU HPP, UU PPSP, UU Pengadilan Pajak).
- Subjek khusus yaitu WP, petugas memungut pajak atau pihak yang dalam keadaan tertentu karena undang-undang berkaitan dengan penegakan hukum pajak
Dengan pengecualian sebagaimana Pasal 43A ayat (3) UU 28/2007 yaitu dugaan tindak pidana korupsi yang subjeknya adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Penutup
Paradigma tindak pidana di bidang perpajakan dikonstruksi sebagai instrumen untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak (compliance-oriented) dan collecting more, karenanya rancang bangun pidana perpajakan didesain dengan pendekatan administrative penal law, di mana ancaman pidana digunakan sebagai sarana penegakkan hukum administratif guna memaksimalkan pendapatan di sektor pajak, sehingga penjatuhan pidana merupakan opsi terakhir (ultimum remedium).