Menilik Kehadiran Otoritas dalam Ekspresi Artistik

Seni dan semua ekspresi artisitiknya adalah dampak dari kemampuan manusia untuk bersikap otoritatif.
Ilustrasi-Bentuk ekspresi artistik
Ilustrasi-Bentuk ekspresi artistik

“Looking at art tests us, stretches us, deepens our inner lives and cultivates insight into both ourselves and the world.” – Matthew Kieran dalam Revealing Art, Routledge (99).

Hukum tidak mungkin akan diterapkan pada agensi yang tidak memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan oleh agensi tersebut. Pemikir Jerman di abad ke-19 G.W.F. Hegel, mencoba memberikan dasar tentang fondasi subjektif-personal dari manusia. 

Hegel seperti mengutip oleh Robert Stern (2002) mengatakan: “In consciousness, we see the tremendous difference, on the one side, of the ‘I’, this wholly simple existence, and on the other side, of the infinite variety of the world” (dalam kesadaran, kita melihat perbedaan yang luar biasa: di satu sisi, ada “Aku,” keberadaan yang sepenuhnya sederhana, dan di sisi lain, ada keragaman dunia yang tak terbatas).

Menurut pandangan Hegel, otoritas untuk bertanggung jawab dan menerima konsekuensi adalah fondasi dari kemanusiaan.

Seni dan semua ekspresi artisitiknya adalah dampak dari kemampuan manusia untuk bersikap otoritatif, karena dalam menghasilkan karya seni sang “Aku” memanifestasi. Yang otoritatif juga memiliki dimensi politis. Di masa, literasi masih sangat minim dalam sejarah manusia, yang visual adalah yang edukatif dan informatif. Pendidikan dan penyampaian pesan dilakukan dengan cara menyajikan gambar-gambar secara permanen di ruang-ruang publik. 

Bagi Hegel, seni dimulai dari yang simbolik, bergerak ke klasik, dan berakhir di romantik; atau dengan kata lain, puncak dari perkembangan seni adalah saat sang “Aku” meraih forma ejawantahannya. Dengan kata lain, seni bergerak dari instrumentasi otoritas menjadi sebuah cara untuk mendiseminasi kesadaran. Semakin dalam refleksi kesadaran semakin sublim wujudnya. Seni ala Hegel selalu dimulai dengan intensi yang berkaitan dengan aspek politisnya.

Dalam dialektika seni Hegelian, seniman selalu menjadi bagian dari titian perkembangan kebudayaan. Ini berarti, peran dunia seni, khususnya seni rupa, menjadi indikator yang relevan dari kesadaran kolektif masyarakatnya. 

Pada tataran simbolik, institusi sosial cenderung instrumental. Dalam tahap klasik, masyarakat cenderung partisipatoris. Saat mencapai titik romantik, subject-matter seniman berjalan seiring dengan puncak hirarki kebutuhan Abraham Maslow, aktualisasi diri. Sejalan dengan pemikiran Noël Carroll (1999) tentang seni sebagai pengalaman estetik. Maka, tolak ukur dari gerak kebersenian sebuah masyarakat dapat dilihat dari eksposisi karya-karya seni fisik (artefaktual)-nya. 

Carroll adalah pemikir yang masih segaris dengan prinsip-prinsip yang digagas Hegel. Singkatnya, untuk melihat seberapa Hegelian sebuah pencapaian kebudayaan, kita dapat memeriksa lukisan-lukisan yang dihasilkan.

Pertanyaannya, seberapa jauh perkembangan kebersenirupaan di Indonesia dari perspektif Hegelian dan Carrollian?

Ada dua peristiwa yang dapat dipergunakan sebagai alat ukur kualitatif dari pencapaian bangsa ini. Pertama, pameran Yos Suprapto yang awalnya dijadwalkan untuk dibuka pada 19 Desember 2024, namun mengalami penundaan. Kedua, pameran retrospektif Hardi bertema “Jejak Perlawanan ‘Sang Presiden 2001’”, yang berlangsung dari 10 hingga 26 Januari 2025 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. 

Kedua pameran tersebut, mewakili dua era. Yang pertama, dibuat setelah pandemi 2020, dan yang kedua lebih dari 45 tahun yang lalu, tepatnya di 1979. Kedua bentuk pengejawantahan peran seniman tersebut dapat dibaca baik dari pendekatan simbolik-klasik-romantik (Hegel), maupun pengalaman estetik Carroll.

Menilik Fenomenon Gelaran Tunggal Yos Suprapto

Suryajaya (2016:386) membaca disposisi Hegelian dalam petikan berikut ini, bahwa seni simbolik adalah “segala macam seni yang mengandung representasi mimetik tak sempurna atas kenyataan.”

Berikutnya, seni klasik “adalah segala bentuk seni yang mengandung representasi paripurna atas kenyataan” (Ibid.:387). Terakhir, bahwa seni romantik adalah “segala jenis seni yang tak lagi menghadirkan representasi bendawi tentang kenyataan, tetapi menghadirkannya dalam medium yang sepenuhnya spiritual, yakni bahasa” (Ibid.:389). 

Pemikiran Hegel ini dapat dibaca dengan cara: saat seni adalah tiruan tidak sempurna (nonrealis dan nonspiritual), maka karya seni berada di tahapan instrumental.
Selanjutnya, saat seni adalah tiruan yang sempurna (realis dan spiritual), maka karya seni tidak lagi sepenuhnya instrumental dan sudah mulai mewakili disposisi mental senimannya.

Terakhir pada seni adalah ruh (Geist) dari realitas (nirbendawi dan spiritual), maka seni adalah puncak pencapaian manusia. Ironisnya, pada saat seni mencapai tahapan ketiga ini bentuk visual tidak lagi diperlukan. Pengindraan (aesthesis) menjadi majal. Seni selanjutnya digantikan oleh pemikiran tentang seni. Gradasi peran ini dikenal sebagai “The Death of Art”.

Menarik garis ukur Yos Suprapto secara Hegelian, akan menghasilkan kesimpulan bahwa simbolisasi yang dilakukan Suprapto pada dasarnya adalah titik pijak simbolik yang bersifat elementer.

Dari sisi Carroll, “x is an artwork if and only if (1) x is produced with the intention that it possess a certain capacity, namely (2) the capacity of affording aesthetic experience” (1999:162); yang dapat diartikan secara bebas sebagai berikut: sesuatu disebut sebagai karya seni jika, pertama, karya tersebut dihasilkan dengan tujuan untuk menghadirkan potensi tertentu, dan kedua, potensi tersebut adalah pengalaman estetik.

Pemikiran Carroll ini, bertolak belakang dengan prinsip yang digagas Hegel. Pendekatan Hegel ditujukan untuk mengupas karya seni dari kebendaan dan masuk ke dalam spiritnya. Gagasan Carroll justru mulai dari semangat penciptaan karya dan berakhir pada pengalaman indrawi pengamat.

Dari meteran estetik Carroll, otoritas keberhasilan karya Suprapto adalah pada pengamat. Bila Hegel menghadirkan lebih dahulu prinsip kekaryaan sebelum karya seni diamati (pendekatan a priori), maka Carroll menghadirkan karya untuk selanjutnya dibedah proses kekaryaannya berdasarkan dampak yang diterima oleh pengamat (pendekatan a posteriori).

Artinya, semua catatan terhadap karya-karya Yos Suprapto dapat digulirkan setelah pameran dilakukan, karena otoritas dari dampak karya Suprapto adalah publik. 

Menilik Fenomenon Retrospektif Hardi

Lukisan-lukisan Hardi (Raden Soehardi Adimaryono) mungkin berada pada titik irisan antara yang simbolik dan yang klasik dalam perspektif Hegelian. Wacana yang dihadirkan oleh Hardi, terutama dalam puncak seminalnya “Sang Presiden 2001” berada di marjin simbolisme dan aktualisasi artistik sang seniman.

Hardi sendiri mengalami konsekuensi yang tidak mudah karena manifestasi visual dari pemikirannya. Hingga akhir hidupnya di 2023, Hardi tetap menjadi sebuah bentuk pergerakan diskursif yang memperdebatkan hakikat otoritas dalam arus kebudayaan sebuah negara.

Dari sudut pandang Carroll, pencapaian Hardi sangat estetik karena melibatkan berbagai aspek dampak empirik atas apropriasinya. Perdebatan yang dihadirkan Hardi menjadi irisan diskursif sebagaimana yang dicita-citakan Hegel. Sekitar 45 tahun sejak dipamerkan, karya tersebut terus memicu kajian intelektual tentang titik otoritas seniman yang memang berkembang menjadi berbagai derivat. 

Suryajaya (2024:137) melihat bahwa kanonisasi teori estetika dapat mewujud dalam 28 varian morfologis. Membaca Carroll dari titik tawaran Suryajaya, dapat dilihat dalam kerangka ini: seberapa banyak titik yang dapat diraih dalam sebuah dampak karya seni. Karya-karya Hardi pun menjadi lebih estetik secara Carrolian dibandingkan dengan Hegelian, karena Hegel masih berusaha mentekstualkan pengalaman estetik dan memangkas segala aspek artefaknya.

Dua Sisi Dikotomis Otoritas dalam Karya Seni

Dari dua jejak pijak seniman Indonesia tersebut, Yos Suprapto dan Hardi, “meteran estetik” yang dikenakan menunjukkan capaian yang progresif. Pencarian baik dari jalur Hegelian maupun Carrollian, sebenarnya berujung pada apa yang dikaji Lambert Zuidervaart sebagai “artistic truth”.

Pendekatan formal Suprapto dan sosiopolitis Hardi dapat mengisi di ceruk yang disyaratkan Kant, sebagaimana yang dikatakan Zuidervaart: “concepts without intuitive content are empty, and intuitions without concepts are blind” (2004:119) - konsep tanpa intuisi pada hakikatnya adalah hampa, dan intuisi tanpa konsep bergerak tanpa kendali.

Baik Hardi dan Suprapto, memiliki intuisi, namun dalam menggulirkan sembulan intuitif tersebut, Hardi bergerak lebih jauh dengan mewarnainya secara konseptual. Konseptualisasi ala Hardi menunjukkan bahwa secara artefak, seni rupa di Indonesia tidak lagi melulu merupakan otoritas eksternal.

Internalitas otoritatif Hardi menunjukkan bahwa seni bukan hanya bersifat instrumental. Pengalaman diskursif yang interinstitusional dan multistrata, sebagaimana yang berdampak dari karya-karya Hardi, menunjukkan sebuah lapisan pemahaman yang bersemat kemandirian dalam konstruksi kesenian di Indonesia.

Dengan demikian, karya seni bisa menjadi bagian dari konstruksi fondasi otoritas manusia: sebuah proses pembentukan yang sifatnya gradual namun tidak dapat dikesampingkan. Suprapto dan Hardi adalah contoh bagaimana masyarakat dapat belajar untuk memahami bahwa sebuah tindakan adalah sebentuk pertanggungjawaban yang memang mendasari alasan Hegelian tentang keunikan manusia dalam kapasitas “legal personhood”-nya.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews