Menjadi hakim adalah amanah yang berat. Namun, menjadi seorang hakim sekaligus istri dan ibu adalah amanah yang berlipat ganda. Di tengah tuntutan profesionalisme dan integritas, para hakim perempuan terus berupaya menjalani peran yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membesarkan anak, menjaga rumah tangga, dan menjalani kehidupan sosial yang sarat ekspektasi.
Di banyak daerah, khususnya wilayah-wilayah terpencil, tantangan ini semakin kompleks. Terpisah dari keluarga karena penempatan, terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak, hingga tekanan sosial yang datang karena ketidakhadiran dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari menjadi realitas yang tidak ringan. Dalam situasi seperti ini, peran ganda seorang hakim perempuan menuntut ketangguhan, kedewasaan emosional, serta spiritualitas yang kuat.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 7 dan 8 Tahun 2016, seorang hakim dituntut menjunjung tinggi etika dan perilaku luhur. Namun bagaimana menjaga konsistensi nilai itu jika secara emosional ia juga sedang memikul rindu yang dalam terhadap anak yang tumbuh tanpa kehadiran ibunya setiap hari? Bagaimana bisa tampil penuh wibawa di ruang sidang, jika semalam sebelumnya sang hakim menenangkan anak yang menangis di panggilan video karena ingin tidur dipeluk ibunya?
Dilema-dilema itu nyata dan tak banyak diceritakan. Namun justru dalam sunyi dan sepi itu, lahir keteguhan yang luar biasa. Hakim perempuan menunjukkan bahwa tangis anak di ujung telepon tidak melemahkan tangannya mengetukkan palu keadilan. Bahwa cinta kepada keluarga justru menjadi sumber kekuatan dalam menegakkan hukum dengan hati nurani.
Oleh karena itu, penting kiranya Mahkamah Agung dan institusi terkait memberikan perhatian afirmatif kepada para hakim perempuan-baik dalam hal penempatan, kebijakan rotasi, maupun pemberian fasilitas pendukung keluarga. Apresiasi terhadap beban psikososial yang mereka pikul tidak hanya penting bagi keadilan institusional, tetapi juga merupakan bentuk kemanusiaan dalam kebijakan.
Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, semoga semakin banyak ruang empati dan pemahaman diberikan kepada para hakim perempuan. Karena di balik jubah hitam yang anggun itu, ada ibu yang berjuang dalam diam. Ada cinta yang dibalut dalam pengabdian. Dan ada keteladanan yang pantas kita teladani.