Pesatnya perkembangan teknologi informasi pada semua aspek kehidupan tidak dapat dipungkiri memberikan dampak signifikan pada cepatnya persebaran informasi bagi kehidupan masyarakat.
Jarak bukan lagi sebuah penghalang yang memisahkan antar individu dengan individu yang lain. Berbagai sarana komunikasi dapat diakses dengan mudah untuk menjalin komunikasi dengan orangtua, keluarga maupun kolega.
Kemudahan akses informasi tersebut, dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, dewasa hingga anak-anak, semuanya bebas menikmati informasi. Informasi yang dapat diakses pun bukan hanya sebatas menjalin komunikasi melainkan sudah menjadi gaya hidup dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Jamak ditemui masyarakat berbagai kalangan usia, menenteng gawai di berbagai tempat, di kendaraan, pinggir jalan, dalam rumah, tempat kerja, tempat bermain anak bahkan sekolah. Berbagai aplikasi dan situs dapat diakses dengan mudah, mulai yang menampilkan hal positif maupun menampilkan hal negatif.
Selain itu, dapat terhubung dengan beragam orang yang sebelumnya tidak pernah dikenal melalui beragam platform media sosial, di antaranya melalui WhatsApp, Facebook, Instagram, Tik Tok, YouTube. Bagi anak-anak sendiri dengan tidak terbatasnya informasi apapun yang dapat diakses tersebut dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif.
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 sekitar 35,57% anak usia dini sudah bisa mengakses internet. Anak usia dini yang notabene masih berusia 0-6 tahun tahun, tentunya belum bijak dalam menggunakan internet dan media sosial, apalagi tanpa didampingi atau diawasi oleh orangtuanya. Hal tersebut cukup mengkhawatirkan, mengingat saat ini cukup banyak kasus yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Di antaranya pornografi, perjudian online dan lainnya.
Apalagi bila melihat temuan National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang menempatkan Indonesia sebagai negara keempat di dunia dengan persebaran konten kasus pornografi anak terbanyak. Dengan berbagai latar belakang tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) belum lama ini merencanakan pembatasan akun media sosial bagi anak.
Menkomdigi mengatakan, aturan yang akan dibuat tersebut, bukanlah pembatasan akses media sosial melainkan pembatasan akses membuat akun anak di media sosial (portal indonesia.go.id). Peraturan yang dirancang tersebut diharapkan menciptakan ruang digital yang aman bagi anak-anak dan memberikan ruang bagi mereka untuk berekspresi dengan lebih terkontrol.
Rencana pembatasan penggunaan media sosial oleh anak tersebut, memperoleh beragam tanggapan, di antaranya Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat. "Pembatasan terhadap medsos berdasarkan usia merupakan pendekatan yang paling rasional," kata Atip melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin, 3 Januari 2025.
Namun, pengaturan seperti ini tentunya harus melibatkan teknologi, mengingat objek pengaturannya adalah aktivitas yang berbasis teknologi. ”Kami percaya mereka yang berusia di bawah 13 tahun tidak boleh menggunakan platform user generated content. Namun untuk anak dalam rentang usia 13 hingga 18 tahun, media sosial memiliki fitur dan manfaat yang luar biasa,” ujar Direktur Kebijakan Publik Meta untuk Asia Tenggara Rafael Frankel, sebagaimana dimuat dalam Kompas.id pada 18 Februari 2025.
Menilik Peraturan Berkaitan dengan Perlindungan Anak
Terdapat beberapa ketentuan terkait perlindungan terhadap anak, di antaranya ada pada Universal Declaration of Human Rights, article 3 Everyone has the right to life, liberty and security of person, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Selanjutnya, dalam International Covenant on Civil and Political Rights, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) article 24. 1. Every child shall have, without any discrimination as to race, colour, sex, language, religion, national or social origin, property or birth, the right to such measures of protection as are required by his status as a minor, on the part of his family, society and the State. (Setiap anak berhak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran untuk mendapatkan hak atas perlindungan karena statusnya sebagai anak dibawah umur dari keluarga, masyarakat dan negara).
Kemudian dalam The United Nations Convention on the Rights of The Child, yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 article 39 States Parties shall take all appropriate measures to promote physical and psychological recovery and social reintegration of a child victim of: any form of neglect, exploitation, or abuse; torture or any other form of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment; or armed conflicts. Such recovery and reintegration shall take place in an environment which fosters the health, self-respect and dignity of the child. (Negara harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani dan menyatukan kembali ke dalam masyarakat, setiap anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, eksploitasi atau penganiayaan; penyiksaan atau bentuk perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; atau konflik senjata. Pemulihan dan reintegrasi tersebut harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang memupuk kesehatan, harga diri dan martabat anak yang bersangkutan).
Di Indonesia sendiri telah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan diperbaharui lagi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak).
Perlindungan Anak dari Bahaya Pornografi dan Judi Online
Pada UU Perlindungan Anak, telah diatur secara lengkap mengenai perlindungan yang diberikan terhadap anak. Termasuk hak hidup, tumbuh kembang anak secara optimal serta dilindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
UU Perlindungan Anak juga mengatur kewajiban negara, pemerintah daerah, keluarga, masyarakat, dan pihak lainnya dalam melindungi anak dari beragam kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, serta mengatur tentang hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang layak.
Terkait dengan pornografi, pada Pasal 13 UU Perlindungan Anak disebutkan anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya.
Selanjutnya, sebagaimana dimuat pada Pasal 59 UU Perlindungan Anak juga dimuat perlindungan khusus terhadap anak. Di antaranya anak yang dieksploitasi secara seksual dan anak yang menjadi korban pornografi. Kemudian pada Pasal 67A setiap orang memiliki kewajiban untuk melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi.
Sedangkan Pasal 67B menyebutkan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban pornografi dilaksanakan melalui pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak (selanjutnya PP 78) menyebutkan, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya memiliki kewajiban dan tanggung jawab memberikan perlindungan khusus, diantaranya terhadap anak yang menjadi korban pornografi.
Kemudian dalam Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menyebutkan, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.
Selanjutnya pada Pasal 40 ayat (2b), dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Kemudian pada ayat 2c muatan tersebut adalah muatan pornografi, perjudian atau muatan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang dimungkinkan secara teknologi.
Kemudian pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE terdapat larangan untuk menyebarluaskan muatan yang melanggar kesusilaan dengan ancaman pidana terdapat pada Pasal 45 ayat (1). Sedangkan untuk penyebarluasan muatan perjudian ada di Pasal 27 ayat (2) dengan ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (3).
Peran Berbagai Pihak untuk Memberikan Perlindungan Terhadap Anak dari Ancaman Konten Media Sosial
Apabila mengacu kepada UU Perlindungan Anak, ada berbagai pihak yang memiliki peran untuk memberikan perlindungan terhadap anak yakni negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Mereka memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak anak tanpa adanya diskriminasi, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan perlindungan anak dan saling mendukung kebijakan yang diterapkan. Selain itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memegang peranan besar dalam hal pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, bahkan pemerintah daerah dapat membentuk KPAI daerah atau lembaga lainnya untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah.
Dengan beragam tugas yang diamanahkan UU Perlindungan Anak, peran tersebut kian tampak nyata. Di antaranya, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan hak anak dan memberikan laporan kepada pihak berwajib apabila ada dugaan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak.
Selanjutnya, terkait rencana pembatasan media sosial oleh pemerintah, pemerintah sendiri yang memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk menertibkan konten media sosial yang mengandung konten tidak baik bagi anak, di antaranya konten yang mengandung unsur pornografi dan judi online.
Melalui rencana pembatasan media sosial bagi anak, hal tersebut dipandang sebagai bentuk pemerintah semakin melindungi hak-hak anak. Namun dengan sudah adanya peraturan-peraturan yang ada, alangkah lebih baiknya peraturan yang dibuat tidak tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada.
Lingkungan sekitar, seperti sekolah dan masyarakat, juga perlu mendukung kesadaran dan kegiatan edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko konten media sosial yang mengandung pornografi dan perjudian online.
Selain itu, orang tua sebagai fondasi utama pendidikan anak, memiliki tanggung jawab memberikan pemahaman dini dan membiasakan budaya literasi kepada anak atas bahaya penggunaan media sosial yang tidak bijak. Dengan terwujudnya peran kolaboratif tersebut, semakin memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang mana hal itu tak lain adalah upaya Pemerintah melindungi generasi muda Indonesia.