MARINews, Jakarta-Harga emas kini dapat dijadikan tolok ukur untuk mengonversi nilai ganti rugi dan kompensasi dalam sengketa Tata Usaha Negara dan itu diatur dalam PP 43 Tahun 1991.
Hal itu terjadi karena Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 jo. 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT yang telah menjadi landmark decisions dan telah disampaikan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2024 pada 19 Februari 2025.
Landmark decisions merupakan putusan pengadilan yang dicadangkan Mahkamah Agung (MA) melalui laporan tahunannya untuk dijadikan yurisprudensi. Kemudian dijadikan acuan dan panduan bagi hakim lainnya jika menghadapi perkara serupa.
Dalam buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2024 (buku Laptah 2024), menyebutkan alasan putusan ini menjadi landmark decisions, yakni karena mengandung perluasan makna nilai pembayaran ganti rugi. Sekaligus kompensasi yang diatur dalam PP 43 Tahun 1991.
Buku Laptah 2024 juga mengungkapkan kaidah hukum yang terkandung dalam putusan ini, yakni uang ganti rugi kepada bekas pemilik tanah partikelir atau ahli warisnya disesuaikan dengan mengkonversi nilai harga emas saat ini. Kemudian ditambah dengan bunga sebesar 6% per tahun.
Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 jo. 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT berawal dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT, tanggal 24 Mei 2022.
Objek gugatan dalam putusan nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT atau putusan tingkat pertama adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) berupa perbuatan tidak bertindak (omission) oleh Tergugat yang tidak melakukan perbuatan konkret, yakni berupa tidak melaksanakan pembayaran ganti rugi berupa uang sebesar Rp570.000 kepada ahli waris dari Hj. Sapia, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agraria RI No.SK/19/Depag/64 tertanggal 26 Agustus 1964.
Dalam surat keputusan tersebut, Hj. Sapiah dan ahli warisnya (penggugat) ditetapkan berhak atas dua bentuk ganti rugi setelah tanah partikelir Eigendom Verponding No.1992 dan No.1993 miliknya dengan luas masing-masing 600.000 meter persegi dan 820 meter persegi karena terdampak kebijakan pemerintah pada masa itu.
Surat Keputusan Menteri Agraria pada 1964 itu, secara jelas mengatur pemberian ganti rugi berupa tanah seluas 110.000 meter persegi dengan status hak milik (SHM) dan uang tunai Rp570.000.
Ahli waris sebenarnya telah menerima ganti rugi berupa tanah seluas 110.000 meter persegi. Namun, ganti rugi berupa uang sejumlah Rp570.000 belum pernah diterima ahli waris. Inilah yang dianggap perbuatan tidak bertindak (omission) yang merupakan perbuatan melawan hukum.
Secara substansi, pengadilan menyatakan, kewajiban ganti rugi adalah imperatif berdasarkan Keputusan Menteri Agraria yang mengikat. Kelalaian Tergugat tidak membayar ahli waris Hj. Sapiah, hingga gugatan diajukan melanggar hak penggugat, peraturan, dan asas keadilan. Sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Bagian paling menarik adalah cara pengadilan tingkat pertama menyebandingkan ganti rugi Rp570.000 pada 1964 dengan angka yang sesuai pada masa sekarang. Caranya dengan menggunakan nilai komoditas emas sebagai acuan.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, harga emas per gram pada 1964 adalah Rp1.800, sehingga didapatkan ganti rugi sebesar Rp570.000. Nilai ini, setara dengan 316,666667 gram emas pada 1964. Pengadilan kemudian mengkonversi nilai tersebut dengan harga emas per 31 Desember 2021 sebesar Rp942.000 per gram.
Dengan perhitungan tersebut, Majelis Hakim menetapkan besaran ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Tergugat menjadi sebesar Rp298.300.000.
Namun, petitum Penggugat terkait permintaan pembayaran bunga atas keterlambatan pembayaran ganti rugi sebesar Rp1.038.084.000, ditolak pengadilan. Majelis hakim berpendapat, ini karena pembayaran ganti rugi diperintahkan untuk dilaksanakan sekaligus, setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Makanya, tidak ada dasar untuk membebankan bunga kepada Tergugat.
Hakim Tingkat Banding dalam putusan nomor: 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT atau putusan banding kemudian mengoreksi putusan tingkat pertama. Pada intinya, Majelis Hakim tingkat banding sepakat dengan ganti rugi Rp298.300.000. Namun, Tergugat juga harus dibebankan ganti rugi sebesar Rp1.038.084.000.
Ganti rugi menjadi layak dan adil untuk diberikan karena tidak ada satu bukti pun yang membuktikan Tergugat telah membayar ganti kerugian kepada pemilik tanah partikelir atau ahli warisnya. Sehingga, Majelis Hakim banding mengabulkan posita dan petitum Penggugat yang memohon tergugat untuk dibebankan kewajiban membayar bunga sebesar Rp1.038.084.000.
Apalagi, pengaturan bunga tersebut juga memiliki dasar hukum, yakni terdapat dalam penjelasan umum Bab III Nomor 6 jo. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir.
Kemudian, Putusan 184 K/TUN/TF/2023 sebagai putusan kasasi menolak permohonan kasasi terhadap putusan tingkat banding. Dalam putusannya, Majelis Hakim tingkat kasasi menyatakan, putusan pengadilan tingkat banding sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum.
Hal paling menarik dari landmark decisions ini adalah, terkandungnya perluasan makna nilai pembayaran ganti rugi dan kompensasi yang diatur dalam PP 43 Tahun 1991.
PP 43 Tahun 1991 mengatur nilai minimal ganti rugi adalah Rp250.000 dan maksimal ganti rugi Rp5.000.000. Sedangkan nilai kompensasi minimal Rp100.000 dan maksimal R2.000.000. Nilai ini sulit memberikan keadilan pada masa sekarang.
Berkaca pada landmark decision Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 jo. 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT, maka penghitungan nilai pembayaran ganti rugi maupun kompensasi dalam PP 43 Tahun 1991 ini, dapat menggunakan tolok ukur harga emas saat ini sehingga pada akhirnya besarannya akan lebih sesuai dengan kondisi saat ini.