Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), menyatakan, seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah secara hukum, memiliki sejarah panjang dan perkembangan yang signifikan dalam sistem hukum di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sejarah Awal dan Akar Filosofis:
1. Hukum Romawi
Beberapa ahli hukum menelusuri akar asas praduga tak bersalah hingga hukum Romawi. Prinsip “Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat” (beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan, bukan pada pihak yang menyangkal) yang terdapat dalam The Digest of Justinian abad ke-6, menjadi landasan penting. Kaisar Antoninus Pius juga memperkenalkan prinsip ini dalam hukum pidana Romawi.
2. Tradisi Kerajaan-kerajaan Yahudi
Dalam Talmud juga ditemukan gagasan serupa, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Oleh karena itu, perlakuan keras terhadap terdakwa harus ditunda sampai kesalahannya terbukti.
3. Magna Carta (1215)
Di Inggris, Magna Carta menjadi tonggak penting dalam perkembangan hak-hak individu terhadap kekuasaan negara. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan praduga tak bersalah, prinsip ini membatasi kekuasaan raja dan memberikan jaminan proses hukum yang lebih adil, yang kemudian berkontribusi pada perkembangan asas ini. Sehingga menghindarkan dari tindakan kesewenang-wenangan raja.
Perkembangan di Eropa Kontinental:
1. Jean Lemoine (Abad ke-18)
Kardinal dan ahli hukum kanonik Prancis, dianggap sebagai orang yang pertama kali merumuskan asas ini secara eksplisit dalam frasa Latin “Item quilbet presumitur innocens nisi probetur nocens” (setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah).
Asas yang mengedepankan proses peradilan sebagai satu satunya institusi yang sah untuk menyatakan apakah seseorang bersalah atau tidak, dengan kata lain asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), merupakan pengembangan dari asas proses peradilan (due process of law) hal ini dimaksudkan untuk menghindari penghukuman dan pernyataan bersalah seseorang diluar dari institusi pengadilan, asas ini ditetapkan di Era Renaisans (Zaman pencerahan/kebangkitan Eropa)
2. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Prancis (1789)
Pasal 9 deklarasi ini menyatakan, "Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai dinyatakan bersalah...". Ini memberikan pengakuan konstitusional terhadap asas praduga tak bersalah di Prancis.
Perkembangan di Inggris dan Sistem Common Law:
1. Sir William Garrow (Abad ke-18)
Pengacara Inggris, mempopulerkan frasa "Presumed innocent until proven guilty" selama persidangan di Old Bailey pada 1791. Ia menekankan pentingnya pengujian yang kuat terhadap para penuduh di pengadilan. Hal ini juga untuk mengubah sejarah kelam yang selama ini pernah ada di Inggris sebelum Era Renaisans. Di mana, seseorang diadili tanpa proses pengadilan yang sah, seperti misalnya seorang wanita yang dituduh dan dipancung sebagai penyihir tanpa proses peradilan yang adil.
2. Pengakuan dalam Yurisprudensi
Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, asas praduga tak bersalah menjadi prinsip fundamental dalam sistem common law melalui putusan-putusan pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat:
Amandemen Kelima dan Keempat Belas Konstitusi AS: Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, Mahkamah Agung AS dalam beberapa putusannya, terutama dalam kasus Coffin v. United States (1895) dan In re Winship (1970), menegaskan, asas praduga tak bersalah adalah komponen penting dari proses hukum yang adil (due process of law) yang dijamin oleh konstitusi.
Perkembangan di Indonesia:
1. Pengakuan Konstitusional dan Undang-Undang: Asas praduga tak bersalah diakui secara tegas dalam sistem hukum Indonesia.
- Penjelasan Umum KUHAP: Butir 3 huruf c Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Pasal 8 ayat (1) menyatakan, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Pasal 18 ayat (1) juga menegaskan prinsip ini.
2. Implementasi dalam Praktik Peradilan: Asas praduga tak bersalah menjadi pedoman penting dalam seluruh proses peradilan pidana di Indonesia. Beban pembuktian sepenuhnya berada pada Jaksa Penuntut Umum.
Kesimpulan:
Asas praduga tak bersalah telah berkembang dari akar filosofis dan prinsip-prinsip hukum kuno hingga menjadi hak fundamental yang diakui secara luas dalam sistem hukum modern.
Di Indonesia, asas ini memiliki landasan konstitusional dan undang-undang yang kuat, serta menjadi pilar penting dalam menjamin proses peradilan pidana yang adil dan melindungi hak asasi setiap individu. Tentunya Asas ini erat kaitannya dengan pendapat Hakim apakah seseorang bersalah atau tidak yang merupakan asas “In dubio pro reo”, sehingga di persidangan hakim harus yakin terhadap bukti-bukti yang disajikan berdasarkan asas “Beyond Reasonable Doubt” atau keraguan yang masuk akal.
Ini karena hakim bukanlah orang yang menyaksikan langsung dan mengetahui persis suatu perkara artinya dalam keraguan nya segala yang dibuktikan kepada hakim harus rasional dan harus masuk akal.
Namun, tidaklah berarti lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah, karena justru sangatlah bertentangan dengan asas-asas hukum pidana. Sebab apabila seseorang telah dibuktikan bersalah di persidangan maka dia harus dinyatakan bersalah dan dihukum.
Apalagi, fungsi dari peradilan adalah untuk dibuktikan dan dicari kebenaran, baik itu menghukum satu orang tidak bersalah dan membebaskan seribu orang bersalah adalah kedzaliman yang sama sama buruk yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Sebagaimana akar filosofisnya yang harus menjadi landasan asas praduga tak bersalah adalah, berdasarkan apa yang terbukti di dalam persidangan dan reason hakim untuk menghindari tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat di luar persidangan, yang merupakan asas due process of law. Sehingga, secara normatif seseorang wajib diduga tidak bersalah sebelum dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim di persidangan dan melalui proses persidangan. Meskipun setiap orang berhak berasumsi sebagai hak kebebasan berpendapat di luar persidangan dengan memperhatikan batasan batasan yang berlaku.