Landmark Decision: Penjualan Barang Online dan Langsung dengan Merek Dagang Terdaftar Adalah Tindak Pidana

Penggunaan merek yang terdaftar terhadap produk yang sama, dengan memodifikasi penulisan nama dan logo mereknya, namun menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan merupakan bentuk kejahatan terhadap merek.
Ilustrasi tindak pidana merek dagang. Foto: legalist.id/Istimewa
Ilustrasi tindak pidana merek dagang. Foto: legalist.id/Istimewa

Pendahuluan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, merek adalah tanda pembeda untuk barang atau jasa. Tanda ini bisa berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, bahkan dalam bentuk dua atau tiga dimensi, suara, atau hologram. Intinya, merek berfungsi untuk membedakan produk dari satu produsen dengan produsen lainnya dalam kegiatan perdagangan.

Dengan begitu, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Negara memberikan jaminan perlindungan terhadap merek terdaftar dengan mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun sejak tanggal  penerimaan. Apabila ada yang menggunakan merek dagang yang telah terdaftar, maka dapat dikenakan sanksi pidana. 

Terdapat perkara tindak pidana penggunaan merek dagang yang telah terdaftar dengan terdakwa bernama Clarissa Vindi Haryadi anak dari Budi Haryadi, dengan kaidah hukum “penggunaan merek yang telah ada (terdaftar) terhadap produk yang sama, dengan memodifikasi penulisan nama dan logo mereknya, namun menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan merupakan bentuk kejahatan terhadap merek”. Hal itu termuat dalam Garda Peradilan Mahkamah Agung Volume 1 Nomor 2 yang baru diterbitkan Kepaniteraan Mahkamah Agung.

Ringkasan Posisi Kasus

Sekitar Maret 2017, terdakwa membuka usaha yang bergerak dalam bidang produksi dan perdagangan pakaian di rumah terdakwa dengan nama “Bedtime Stories Sleepwear”. Usaha terdakwa tersebut tidak berbadan hukum. Tempat usaha terdakwa juga belum memiliki perizinan usaha dan produk yang diperdagangkan adalah piyama.

Terdakwa memproduksi piyama dengan mekanisme makloon, dengan cara memberikan contoh piyama yang akan diproduksi berupa gambar berikut bahan kain, model dan ukurannya kepada saksi Anandi. Setelah itu, terdakwa membayar kepada saksi Anandi dengan kisaran harga antara Rp16 ribu/stel sampai dengan Rp24 ribu/stel, kemudian terdakwa mendesain logo dengan merek Bedtime Stories, lalu menjual piyama tersebut melalui akun toko online dan juga menjual secara langsung.

Selanjutnya terdakwa menjual piyama merek Bedtime Stories dengan harga mulai Rp65 ribu sampai dengan Rp350 ribu per stel dan setiap bulan terdakwa berhasil menjual sekitar seratus tiga puluh stel dengan omzet penjualannya kurang lebih sekitar Rp19,6 juta per bulan dan sudah berlangsung sejak Desember 2017 hingga Agustus 2022.

Pada 18 Mei 2022, terdakwa menerima surat undangan klarifikasi dari kuasa hukum Albert Wilsen Kurnia. Surat tersebut menuntut ganti rugi atas penggunaan merek "Bedtimestories" pada piyama, yang dianggap memiliki persamaan esensial dengan merek "Bedtime Story" milik Albert Wilsen Kurnia. Merek "Bedtime Story" sendiri telah terdaftar di Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham dengan Sertifikat Merek Nomor Pendaftaran IDM000751535, sejak 23 Agustus 2017.

Terdakwa kemudian ditawari untuk membeli merek "Bedtime Story" senilai Rp12 miliar, namun tawaran ini ditolak. Setelah penolakan, terdakwa diperingatkan untuk menghentikan segala aktivitas produksi, promosi, atau penjualan yang berkaitan dengan merek yang serupa dengan milik Albert Wilsen Kurnia.

Terdakwa baru mengajukan permohonan pendaftaran merek Bedtime Stories miliknya kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Kumham pada tanggal 20 Mei 2022, karena baru mengetahui bahwa merek tersebut harus didaftarkan;

Selanjutnya terdakwa diajukan ke persidangan dan didakwa dengan dakwaan alternatif yakni, dakwaan pertama: melanggar Pasal 100 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, atau dakwaan kedua: melanggar Pasal 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Atas dakwaan dan tuntutan tersebut, pengadilan tingkat pertama menjatuhkan putusan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan”, sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama. Kemudian Majelis Hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana penjara selama delapan bulan dan pidana denda Rp50 juta dengan kurungan pegganti selama satu bulan.

Terdakwa tidak terima atas putusan pengadilan tingkat pertama dan mengajukan banding. Pengadilan tingkat banding menerima permohonan banding dan memutuskan untuk menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Kasasi

Putusan Mahkamah Agung Kamar Perdata perkara Nomor 5991 K/Pid.Sus/2024 dan yang memeriksan dan memutus perkara tersebut adalah Soesilo, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Sigid Triyono, S.H., M.H. dan Dr. Sugeng Sutrisno, S.H., M.H.sebagai Anggota Majelis.

Majelis Hakim Kasasi memberikan pertimbangan bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili terdakwa dalam perkara a quo, dan telah memberikan pertimbangan hukum yang tepat dan benar, serta tidak melampaui kewenangannya.

Majelis Hakim dengan berdasarkan fakta hukum di persidangan, maka perbuatan terdakwa telah memenuhi semua rumusan dakwaan pertama yakni Pasal 100 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum.

Pengadilan menolak keberatan terdakwa yang menganggap adanya kesalahan hukum dalam putusan. Alasan utamanya, terdakwa tidak menunjukkan iktikad baik dalam menggunakan merek. Selama periode 2017-2022, terdakwa memproduksi piyama tanpa melakukan pengecekan awal terhadap merek di DJKI Kemenkumham.

Niat terdakwa untuk mendaftarkan mereknya baru muncul pada 20 Mei 2022, setelah mendapatkan undangan klarifikasi dari kuasa hukum pemilik merek terdaftar, Albert Wilsen Kurnia. Ini menunjukkan kelalaian terdakwa dalam mematuhi regulasi merek dagang.

Karena itulah, Majelis Hakim Kasasi berdasarkan pertimbangannya, menolak permohonan kasasi dari terdakwa.

Putusan ini kiranya dapat memberikan pemahaman yang sangat komprehensif kepada masyarakat terhadap penggunaan merek orang lain, selanjutnya putusan ini menjadi yurisprudensi yang dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang sama dengan kaidah hukumnya, serta menjadi pemahaman bagi praktisi hukum, akademisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews