Judicial Activism dalam Sengketa Hilangnya Bagasi Milik Penumpang

Perbedaan penyebutan nama Lion Air sebagaimana secara umum dikenal masyarakat dengan nama PT Lion Mentari sebagaimana tersebut dalam akta pendirian perusahaan tidak mengakibatkan tergugat terlepas dari tanggung jawab secara hukum.
Ilustrasi bagasi penumpang pesawat. Foto fastpay.co.id/
Ilustrasi bagasi penumpang pesawat. Foto fastpay.co.id/

Seseorang yang merasa dirugikan akibat perbuatan melawan hukum atau wanprestasi berhak memintakan ganti kerugian melalui gugatan ke pengadilan.

Kerugian yang bersumber dari perbuatan melawan hukum telah diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa, “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” 

Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, menentukan, pelaku perbuatan melawan hukum memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kepada korban dari perbuatannya. Sedangkan dalam perkara wanprestasi, ganti kerugian mencakup tiga unsur, yaitu biaya, rugi dan bunga berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata.

Berbicara mengenai ganti kerugian, kerugian dibagi menjadi dua, yaitu kerugian materil dan kerugian immateriil. Kerugian materil biasanya berupa kerugian yang secara nyata diderita dan dapat dinilai dengan uang. Sedangkan kerugian immateriil merupakan kerugian yang bersifat nonmateri yang jumlahnya tidak dapat dinilai secara pasti atau matematis.

Dalam menentukan besarnya nilai kerugian immateriil, pada praktiknya akan sangat bergantung pada subjektivitas hakim dengan berlandaskan asas ex aequo et bono sebagaimana dalam Putusan Kasasi Nomor 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991.

Putusan tersebut, mengandung pertimbangan hukum, ex aequo et bono memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai kepantasan dan kesesuaian rasa keadilan masyarakat. Tentunya, hakim tetap berpedoman pada pokok perkara dan materi tuntutan perkara itu, sehingga hakim tidak memutuskan melebihi tuntutan yang diminta dalam gugatan.

Salah satu hal menarik yang berkaitan dengan ganti kerugian materiil dan immateriil dapat ditemukan dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 632 PK/Pdt/2014. Putusan Peninjauan Kembali tersebut menjadi salah satu putusan penting (landmark decision) yang termuat dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2015.

Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan ganti kerugian materiil dan immateriil Penggugat dalam sengketa hilangnya bagasi penumpang maskapai Lion Air yang akan penulis uraikan sebagai berikut:

Ringkasan Posisi Kasus

Perkara bermula saat penggugat (Robert Mangatas Silitonga) berangkat dari Jakarta pada 3 Juli 2011, pukul 07.00 WIB, dengan pesawat Lion Air flight JT 300 menuju Medan dengan tiket atas nama penggugat dan Ruth Erlin Pujiati.

Pada 12 Juli 2011, penggugat pulang dari Medan ke Semarang dengan flight JT 387 yang seharusnya berangkat pukul 14.00 WIB dari Medan, namun delay selama dua jam dan transit di Jakarta. Kemudian pindah pesawat Lion Air ke Semarang.

Sesampainya di Bandara A. Yani Semarang, barang penggugat berupa satu buah travel bag hitam merk Polo dengan nomor bagasi 0990 JT 321743 tidak ditemukan. Adapun bagasi penggugat lainnya yaitu dua travel bag dapat penggugat bawa dengan nomor bagasi 0990 JT 321744 & 0990 JT 321742.

Atas kejadian tersebut, penggugat telah melaporkan ke petugas Lion Air di Bandara A. Yani Semarang dan telah dibuatkan bukti kehilangan barang oleh Sdr. Arwan dan penggugat tindak lanjuti dengan melaporkan kepada Manager Lion Air di Bandara A. Yani dengan Sdr. Yusuf Nurul Hadi.

Kemudian, penggugat mengajukan klaim atas kehilangan bagasi sejumlah Rp19.115.000, yang sudah lebih dari satu bulan belum juga ada titik terang atas peristiwa kehilangan bagasi penggugat tersebut. Pada 19 Juli 2011, penggugat kemudian menyampaikan surat kepada Maskapai Lion Air (tergugat) dengan maksud mencari solusi dan penyelesaian masalah secara kekeluargaan atas kehilangan bagasi miliknya.

Selanjutnya, pada 3 Agustus 2011 maskapai Lion Air menyampaikan jawaban atas surat penggugat tertanggal 19 Juli 2011 dengan kesanggupan penggantian bagasi yang hilang sejumlah Rp2juta dari tuntutan awal ganti rugi penggugat sejumlah Rp19.115.000.

Oleh karena ganti rugi dari Maskapai Lion Air tidak sepadan dengan tuntutan awal, maka penggugat menempuh jalur hukum untuk mencari solusi terbaik bagi penggugat maupun tergugat, dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Semarang.

Adapun dalam petitum gugatannya, penggugat memohon agar PN Semarang mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum tergugat membayar ganti kerugian materiil bagi penggugat sejumlah Rp19.115.000 dan ganti kerugian immateriil bagi penggugat sebesar 100 kali lipat dari total kerugian yang penggugat alami atau sejumlah Rp1.911.500.000. Ini karena, akibat kelalaian tergugat, isteri penggugat sangat menderita mengingat barang barang yang hilang tersebut memiliki nilai historis yang tidak dapat dinilai dengan uang semata-mata dan seterusnya.

Pertimbangan Hukum Putusan PN Semarang

Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Semarang mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian melalui Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 304/Pdt.G/2011/PN Smg. Majelis Hakim PN Semarang dalam putusannya menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. 

Untuk itu, majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil gugatan penggugat sejumlah Rp19.115.000. dan ganti kerugian immateriil gugatan penggugat sejumlah Rp19.115.000.

Pengadilan tingkat pertama selanjutnya menolak gugatan penggugat, untuk selain dan selebihnya dan menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara sejumlah Rp511.000. 

Dalam pertimbangan PN Semarang Nomor 304/Pdt.G/2011/PN Smg tersebut, Majelis Hakim menilai Lion Air terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan tergugat mengakui kelalaiannya yang mengakibatkan hilangnya bagasi milik penggugat.

Hal tersebut sebagaimana berdasarkan surat dari Lion Air kepada Penggugat (bukti P-5), PT Lion Air bersedia mengganti kerugian kepada penggugat sejumlah Rp2juta, tetapi penggugat keberatan.

“Penyebutan nama perusahaan dalam Akta Pendirian Nomor 1 tanggal 2 September 1999 adalah PT Lion Mentari, tetapi dalam operasionalnya (bukti P-2 dan P-3) disebut sebagai Lion Air sebagaimana dikenal luas oleh masyarakat umumnya, karena itu, penyimpangan yang terjadi oleh Lion Air merupakan tanggung jawab PT Lion Mentari.” tegas Majelis Hakim PN Semarang sebagaimana bunyi pertimbangan putusannya.

Judex facti tingkat pertama turut mengabulkan tuntutan penggugat mengenai kerugian materiil. Dengan pertimbangan, jumlah kerugian karena hilangnya bagasi penggugat sebesar Rp19.115.000, dapat diterima karena dipandang oleh Majelis Hakim sebagai jumlah kerugian yang wajar dan jujur.

Menariknya, tak hanya kerugian materiil yang dikabulkan dalam putusan PN Semarang tersebut. Majelis Hakim turut mengabulkan tuntutan penggugat mengenai kerugian immateriil. Meskipun adanya perbedaan nominal dari yang dituntut oleh penggugat dalam gugatannya. 

Majelis hakim berpendapat, tuntutan kerugian immateriil sejumlah Rp1.911.500.000 adalah tidak wajar, karena itu dengan mempertimbangkan perhitungan yang jujur dan wajar dalam kerugian materiil, dihubungkan dengan kemampuan perusahaan yang berkembang karena adanya kepercayaan masyarakat, maka judex facti memandang adil besarnya kerugian immaterial adalah sejumlah Rp19.115.000.

Berikut adalah amar dari Putusan PN Semarang Nomor 304/Pdt.G/2011/PN Smg tersebut:

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil gugatan penggugat sebesar Rp19.115.000,- (sembilan belas juta seratus lima belas ribu rupiah);

4. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian immateriil gugatan penggugat sebesar Rp19.115.000,- (sembilan belas juta seratus lima belas ribu rupiah);

5. Menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya;

6. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp511.000,- (lima ratus sebelas ribu rupiah);

Putusan PN Dikuatkan hingga Upaya Hukum Peninjauan Kembali 

Selanjutnya, putusan Pengadilan Negeri yang diketok pada 7 Maret 2012 tersebut, telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan Nomor 254/Pdt/2012/PT Smg tanggai 24 Oktober 2012. 

Sembilan bulan berselang, Majelis Hakim melalui Putusan Kasasi Nomor 820 K/Pdt/2013 tanggal 2 Juli 2013, menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. Maskapai Lion Air Jakarta cq. PT. Maskapai Lion Air Cabang Semarang. Hal ini menandakan, Majelis Hakim pada tingkat kasasi menguatkan putusan pengadilan tingkat banding yang diajukan kasasi tersebut.

Kemudian pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), Majelis Hakim dengan Hakim Ketua, Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H. dan para Hakim Anggota, Syamsul Ma’arif, SH., LLM., Ph.D., dan Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H., menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali dengan amar selengkapnya sebagai berikut:

1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali PT Maskapai Lion Air Jakarta cq. PT. Maskapai Lion Air Cabang Semarang tersebut.

2. Menghukum pemohon peninjauan kembali dahulu pemohon kasasi/ tergugat/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sejumlah Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)

Dengan demikian, putusan peninjauan kembali tersebut memiliki arti, putusan pengadilan tingkat kasasi yang diajukan peninjauan kembali berlaku sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kaidah hukum yang dapat dipetik dari Putusan Peninjauan Kembali Nomor 632 PK/Pdt/2014 tersebut yaitu, perbedaan penyebutan nama Lion Air sebagaimana secara umum dikenal masyarakat dengan nama PT Lion Mentari sebagaimana tersebut dalam akta pendirian perusahaan tidak mengakibatkan tergugat terlepas dari tanggung jawab secara hukum. 

Perkara tersebut memberikan pemahaman baru, kendati hakim bersifat pasif dalam perkara perdata, namun seyogianya hakim dapat senantiasa berperan aktif melakukan judicial activism melalui metode penemuan hukum dalam putusannya. Hal ini, guna mengisi kekosongan hukum dan hakim diharapkan mampu memecahkan kasus hukum secara konkrit dan mengakomodasi rasa keadilan dan dinamika perkembangan masyarakat melalui putusannya.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews