MARINews, Pontianak-Profesi hakim seringkali dipandang mulia. Namun, di balik citra tersebut, tersimpan beban dan tanggung jawab berat.
Menjadi seorang hakim bukanlah profesi yang mudah, melainkan panggilan yang menuntut integritas tinggi, ketajaman akal, dan kekuatan mental untuk selalu menegakkan keadilan di tengah berbagai kompleksitas perkara dan tekanan. Hal itulah yang dirasakan oleh F. Willem Saija, Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, selama empat puluh tahun mengabdi pada lembaga peradilan.
Selama empat dekade, F. Willem Saija, telah menangani banyak perkara dengan beragam kompleksitas, mulai dari perkara tipikor, narkotika, lingkungan hidup, pidana anak, hingga perkara perdata yang menarik perhatian masyarakat.
“Sudah cukup banyak perkara yang saya tangani. Mengingat, perjalanan karier saya saat ini sudah memasuki tahun ke-40. Dengan rincian, 23 tahun di pengadilan tingkat pertama dan 17 tahun pada pengadilan tingkat banding. Tentu dari sekian banyak perkara tersebut membawa kesan unik tersendiri,” ungkap bapak yang kerap disapa Willem ini.
“Misalnya sewaktu bertugas di Papua, saya pernah menangani perkara Class Action (CA). Saat musyawarah, saya dissenting opinion (DO). Sebab menurut saya, objek perkara tersebut terkait hak-hak pekerja. Sehingga lebih tepat menjadi ranah Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan tidak tepat diajukan melalui peradilan perdata biasa dengan dalil gugatan class action yang lazim dikenal dalam perkara lingkungan hidup. Putusan saat itu diambil dengan suara dan saya mematuhinya. Pada tingkat kasasi, ternyata MA sependapat dengan DO yang saya kemukakan dalam pertimbangan putusan, berakibat putusan banding dibatalkan. Demikian pula, sering DO dalam perkara tipikor, saat bertugas di PT Tanjung Karang. Saat itu, terdakwanya beberapa pejabat daerah setempat yang penuh dinamika karena bersinggungan dengan berbagai konflik kepentingan”. lanjutnya.
Menurut dia, perbedaan pendapat dalam bermusyawarah adalah hal yang biasa. Sebuah dinamika dalam tugas, karena setiap orang boleh beda pendapat. Apalagi sebagai sesama rekan hakim, harus menghargai perbedaan tersebut. Hal itu, bagian dari salah satu prinsip Kode Etik Hakim, yaitu berperilaku rendah hati.
Rendah hati bermakna mau menerima dan menghargai pendapat orang lain serta mengembangkan sikap tenggang rasa karena setiap orang punya keterbatasan.
“Tetapi kalau saya merasa pendapat saya itu ada landasan hukum dan argumen cukup beralasan, serta tidak ada keraguan dalam perkara itu, maka saya tuangkan DO itu dalam putusan. Itu bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan, masyarakat dan khususnya kepada pencari keadilan. Perbedaan tersebut jangan membuat kita jadi bermusuhan secara personal atau di internal kantor,” papar dia yang pernah bertugas sebagai Hakim Tinggi pada Pusdiklat Teknis Peradilan MA.
Dia juga pernah memutus perkara narkotika dengan vonis pidana mati, yang saat ini menurut UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP baru) merupakan “ultimum remedium”. Hal Ini terjadi saat bertugas di PT Tanjung Karang.
"Terdakwanya, seorang warga negara campuran Malaysia dan Macau,” ujarnya.
Itu semua bagian dari tugas dan tanggung jawab hakim di manapun bertugas.
Dunia terus bergerak, begitu pula dengan kompleksitas permasalahan yang terjadi di masyarakat dan kemampuan hukum untuk mengatasi dinamika tersebut. Terutama bagi para hakim yang akhir-akhir ini diterpa oleh derasnya tekanan dalam menjalankan tugas sebagai tonggak keadilan, baik dari pemerintah, masyarakat, institusi lembaga lain, dan para pencari keadilan.
Kondisi ini, tidak luput dari perhatiannya sebagai pemimpin tertinggi institusi peradilan di wilayah Kalimantan Barat.
“Saat ini hakim menghadapi ujian yang sangat berat karena berbagai sorotan tajam publik terhadap kondisi dunia peradilan. Lalu apa yang mesti kita lakukan? Para hakim perlu transformasi individu. Orientasinya pada dimensi perilaku dan sikap. Transformasi individu merujuk pada proses perubahan mendalam dalam diri pribadi hakim. Mencakup aspek pola pikir, sikap, perilaku, nilai-nilai, dan cara pandang dalam berhukum," papar dia
Dia juga mengutip pendapat Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Hukum dan Perilaku, yang menyebut, hidup baik adalah dasar hukum yang baik. Orang yang berperilaku baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik.
Menurut dia, salah satu perilaku, pola pikir atau nilai itu adalah sikap bersahaja, yang mencerminkan kesederhanaan, rendah hati, tidak berlebihan dan hidup dengan cara yang tidak mencolok, di tengah sikap hedonisme sebagian masyarakat. Sikap bersahaja menunjukan kedewasaan dan kepribadian matang, sebab selalu ada kesadaran untuk mengendalikan diri, introspeksi, empati, dan peka terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.
“Menjadi hakim merupakan panggilan jiwa untuk mengabdi pada hukum dan kemanusiaan. Dalam tugasnya, hakim tidak sekedar memutus berdasarkan hukum dan keadilan tetapi juga menjaga moralitas hukum serta membentuk budaya hukum yang sehat dan beradab. Para hakim hendaknya selalu berrefleksi dan kesadaran penuh (self awareness). Hemat saya, ini adalah proses dimana para hakim diharapkan dapat menyerap dan mengintegrasikan norma, nilai, dan budaya ini di kalangan mereka, dan menjadikannya sebagai bagian integral dari kepribadiannya. Meskipun secara kelembagaan, MA melakukan transformasi institusi, misalnya memodernisasi teknologi informasi pada layanan atau melakukan upaya untuk memperbaiki kesejahteraan hakim namun jika tidak dibarengi dengan transformasi individu yang bersumber dari kesadaran dalam diri para hakim, maka hasilnya belum tentu seperti diharapkan,” katanya.
Oleh karena itulah, menurutnya, hakim perlu melakukan refleksi dan introspeksi. Terlebih di tengah tantangan beban tugas yang berat, karena berbagai tuntutan dan kepentingan yang dihadapi dalam menangani perkara.
“Orang berperkara di pengadilan itu juga karena didorong berbagai kepentingan. Kepentingan itu, berupa kepentingan hak atau perlindungan hukum pihak berperkara, tetapi bisa juga kepentingan ekonomi atau politik. Hakim dihadapkan pada berbagai pilihan kepentingan itu. Apakah tetap berpegang teguh pada prinsip kode etik, yang berarti menjaga independensi dan kemandirian, atau sebaliknya. justru mengakomodasi kepentingan yang tidak sejalan dengan tuntutan etika profesi,” paparnya.
Inilah tantangan yang dihadapi hakim dewasa ini. Tantangan tersebut tidak hanya berlaku bagi hakim yang saat ini sedang menjalankan tugas di pengadilan masing-masing, tetapi juga bagi para calon hakim yang sebentar lagi akan dilantik. Melihat adanya reformasi dalam profesi hakim yang saat ini diisi oleh hakim-hakim muda, dia menyampaikan, hakim-hakim muda adalah generasi penerus estafet peradilan Indonesia.
Hakim-hakim muda perlu terus belajar dan mengasah kemampuannya. Hakim itu tidak dilahirkan tetapi diciptakan. Artinya, proses menjadi hakim tidak instan tetapi melalui media pembelajaran Diklat dan magang didukung pengalaman praktik untuk menjadi hakim profesional.
Diperlukan keseimbangan antara soft competency (integritas atau perilaku berinteraksi dalam tugas sesuai KE dan PPH dan hard competency (pengetahuan hukum dan keterampilan menerapkan hukum).
Hakim dihormati karena putusannya yang berkualitas. Putusan berkualitas lahir dari kombinasi pengalaman, pengetahuan hukum dan kemampuan hakim mempertimbangkan secara arif dan bijak. Fakta hukum perkara tersebut sesuai kaidah hukum acara maupun hukum materiil dengan mengacu pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup.
Ada asas hukum, judex set lex laguens atau the judge is the speaking law. Hakim itu hukum yang berbicara. Apa yang diucapkan dan diputuskan hakim adalah hukum dalam suatu perkara. Jadi, hakim harus selalu teliti dan hati-hati dalam memutus, sehingga putusannya memberi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, sesuai teori tujuan hukum Gustav Radbruch.
Di akhir jelang masa purnabakti, dia berharap para hakim tetap memegang teguh prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH), meskipun tantangan dihadapi tidak ringan. Hakim sebagai bagian dari supra struktur negara yang mengemban posisi kekuasaan yudikatif dalam fungsi utamanya memeriksa dan mengadili perkara, wajib memperhatikan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup, menegakan HAM agar putusannya tetap berkualitas demi menjaga kepercayaan publik guna mewujudkan sistem peradilan yang berwibawa menuju negara hukum yang beradab.
F. Willem Saija, S.H., M.H., lahir di Ambon, 4 Februari 1959, menyelesaikan pendidikan hukum (S1) pada FH Universitas Hasanuddin, Makassar pada 1984 dan (S2) pada FH. Universitas Borobudur, Jakarta, pada 2006.
Dia memulai karir sebagai hakim setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan calon hakim angkatan II, Senayan, Jakarta, pada 1986 dan lulus dengan peringkat satu. Pertama kali ditugaskan sebagai hakim di PN Nabire, kemudian mutasi ke PN Manokwari, lalu ke PN Kendari.
Setelah itu, terpilih dan bertugas sebagai Asisten Hakim Agung di MA pada beberapa Hakim Agung, seperti Hakim Agung M. Yahya Harahap, salah satu Hakim Agung dengan berbagai karya tulisan yang saat ini masih menjadi pedoman bagi banyak hakim. Juga Hakim Agung lain, yaitu, S.O Nainggolan, Marnis Kahar, dan Suharso, hingga mendapatkan promosi sebagai pimpinan, Ketua Pengadilan Negeri Nabire.
Setelah diberikan kepercayaan kembali memimpin di PN Nabire, melanjutkan perjalanan karir sebagai Hakim di PN Bekasi. Kemudian dipromosikan menjadi Hakim Tinggi pada PT Jayapura, PT Tanjung Karang, dan PT Bandung.
Perjalanan karirnya juga terukir dalam dunia akademik, dia diberikan amanah sebagai Hakim Tinggi Yustisial sekaligus Widyaiswara pada Pusdiklat Teknis Peradilan Mahkamah Agung. Beragam pendidikan dan pelatihan teknis sudah diikuti menambah wawasan pengetahuannya.
Termasuk beberapa pelatihan teknis atau pertemuan ilmiah seperti, pelatihan hukum lingkungan di Sydney dan Adelaide, Diskusi Forum Penanganan Perkara Terorisme di Manila, Filipina, Pelatihan Hak Atas Kekayaan Intelektual di Tokyo, dan Forum Pertemuan Hakim terkait Permasalahan Gender Wilayah Asia Tenggara, di Bangkok.
Setelah itu, kembali mendapatkan promosi menjadi Wakil Ketua PT Maluku Utara, Wakil Ketua PT Kupang, Wakil Ketua PT Surabaya, dan dipromosikan menjadi KPT Kalimantan Utara, KPT Kupang, dan sekarang KPT Tinggi Pontianak. Bentuk rasa syukur di penghujung perjalanan karir ini, dijewantahkan melalui pengabdian dengan ketulusan, bersahaja dan ungkapan syukur pada Yang Maha Kuasa.
Perjalanan karir selama empat puluh tahun, dengan berbagai pengalaman dan suka duka sebagai seorang hakim, menjadi pengingat bagi kita, bahwa profesi hakim memang bukan profesi yang mudah.
Profesi ini menuntut lebih dari sekadar pemahaman hukum, tetapi juga kekuatan karakter, ketabahan, kekuatan dan kesehatan fisik, serta komitmen tanpa batas untuk menjunjung tinggi keadilan di tengah berbagai rintangan. Empat dekade pengabdiannya adalah bukti nyata bahwa integritas dan dedikasi mampu membentuk pilar keadilan yang kokoh.