Sepanjang 2021 hingga Mei 2025, Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya Kelas 1B menerima, mengadili dan memutus sebanyak 24 perkara gugatan waris. Dari 24 perkara yang masuk, sebanyak 10 perkara dicabut oleh penggugat, lima perkara diputus dengan acta van dading, empat perkara dikabulkan, tiga perkara tidak diterima serta dua perkara ditolak.
Dari 24 perkara di atas, menarik untuk melihat 10 perkara yang dicabut dan tiga perkara yang tidak dapat diterima. Berdasarkan pertimbangan hukum pada 10 perkara yang dicabut, sebagian besar bukan disebabkan karena ada perdamaian di luar persidangan, melainkan penggugat menyadari ada kesalahan formil dalam gugatannya, sehingga mencabut gugatannya.
Kemudian, dari tiga perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima seluruhnya terjadi karena penggugat tidak cermat menyusun gugatan waris. Bahkan, dalam pertimbangan tiga perkara yang tidak dapat diterima, Majelis Hakim berpendapat, gugatan waris, kurang pihak atau kabur dan tidak jelas menguraikan asal muasal, batas-batasan luas dan keberadaan objek sengketa.
Lantas bagaimana sebenarnya menyusun gugatan waris yang benar agar tidak termasuk gugatan kabur (obscuur libel)?
Masalah kewarisan Islam merupakan kewenangan yang dimiliki peradilan agama jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Sehingga setelah kemerdekaan Indonesia, kewenangan dalam mengadili waris Islam tetap berada di peradilan agama. Bahkan, sebagai upaya unifikasi hukum, perihal kewarisan Islam kemudian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannnya dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Secara materil, perihal waris Islam diatur dalam BAB II Pasal 171-Pasal 214 KHI, kemudian perkembangan pedoman di luar KHI juga lahir dari Yurisprudensi Mahkamah Agung serta Surat Edaran Mahkamah Agung. Tidak cermatnya penggugat dalam menyusun konstruksi gugatan dalam perkara waris menjadi penyebab utama perkara dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal, pengadilan agama telah memberikan informasi yang cukup pada penggugat terkait “rambu” yang harus dipenuhi dalam menyusun gugatan waris.
Beberapa dua hal utama yang harus dipedomani pihak berperkara dalam menyusun gugatan waris dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, kedudukan para pihak. Dalam gugatan waris, kedudukan pihak berperkara sangat penting untuk menghindari asas prulium litis consortium (kurang pihak). Pihak berperkara harus mengidentifikasi satu persatu ahli waris dengan merujuk pada Pasal 172-Pasal 175 KHI.
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 Rumusan Kamar Agama C.2 juga memberikan pedoman surat gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak. Jika tidak, ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk, sebelum penetapan majelis hakim dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya. Apabila tidak diperbaiki, maka perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam mengidentifikasi ahli waris, penting untuk tidak hanya merujuk pada Pasal 172-175 KHI, tetapi juga mampu mengidentifikasi ahli waris pengganti sesuai Pasal 185 Ayat (1) KHI.
Ahli waris pengganti adalah mereka yang menggantikan posisi ahli waris utama yang meninggal lebih dulu dari pewaris. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2015, hak ini terbatas hingga derajat cucu. Ketentuan yang ketat dalam identifikasi ahli waris ini bertujuan, agar sengketa waris dapat diselesaikan secara menyeluruh dan adil, sehingga tidak ada ahli waris yang dirugikan haknya.
Kedua, mengenai objek tirkah (warisan). Kejelasan terkait kedudukan, penguasaan, dan kondisi objek warisan adalah hal yang mutlak. Suatu objek dapat dikategorikan sebagai tirkah jika terbukti dimiliki secara sah oleh pewaris, sesuai dengan ketentuan Pasal 171 huruf d dan e KHI.
Penggugat wajib menguraikan objek tirkah secara spesifik. Jika objeknya berupa tanah atau bangunan, sebaiknya dilampirkan nomor sertifikat hak milik (SHM). Jika objek tersebut belum bersertifikat, penggugat harus menjelaskan luas dan batas-batasnya dengan rinci.
Hal ini sesuai dengan pedoman yang tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018. Pedoman tersebut menegaskan, "gugatan mengenai tanah dan/atau bangunan yang belum bersertifikat yang tidak menguraikan letak, ukuran, dan batas-batasnya harus dinyatakan tidak dapat diterima."
Jika kedua hal di atas dipahami dengan baik oleh pihak berperkara, maka akan meminimalisir jumlah perkara yang dicabut karena gugatan bermasalah atau gugatan tidak dapat diterima.