Di Mana Letak Nurani dalam Proses Hukum?

Hukum adalah alat. Nurani adalah cahaya. Jika alat bekerja tanpa cahaya, maka ia akan mudah menabrak, melukai, dan tersesat. Namun, bila nurani menyinari jalannya, maka hukum menjadi kendaraan kebaikan, yang membawa manusia menuju tatanan yang damai dan beradab.
Ilustrasi moralitas hukum. Foto freepik.com
Ilustrasi moralitas hukum. Foto freepik.com

Di balik palu yang diketukkan, ada bisikan yang lebih halus daripada suara hukum itu sendiri, yaitu nurani. Ia bukan norma tertulis, bukan pasal baku, bukan yurisprudensi yang dibukukan.

Namun dalam keheningan, ia hadir sebagai suara yang paling jujur dan paling sulit dibungkam. Nurani adalah cahaya yang membedakan keadilan dari sekadar legalitas.
Hukum yang baik belum tentu menghadirkan rasa keadilan, jika nurani tidak ikut bicara.

Prosedur bisa lengkap, bukti bisa terpenuhi, dan aturan bisa ditegakkan. Namun, tanpa disertai panggilan batin yang murni, putusan bisa menjadi alat yang kering dan kehilangan makna kemanusiaan. Di sinilah nurani seharusnya duduk menjadi penjaga jiwa keadilan.

Nurani bukan soal perasaan semata, melainkan kebeningan akal yang tercerahkan oleh nilai. Ia lahir dari kebaikan yang tertanam dalam jiwa manusia. Dalam hukum, nurani menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara pasal dan penderitaan, antara norma dan nilai kehidupan yang nyata.

Ketika seorang mencuri tabung gas untuk mendapatkan beberapa lembar uang demi menyambung hidup, hukum positif bisa berkata itu pencurian. Namun nurani bertanya, apakah yang harus dihukum adalah tindakan itu, ataukah kondisi sosial yang mendorongnya untuk bertindak demikian? Dalam dilema semacam ini, nurani memberikan perspektif yang tidak ditemukan dalam teks hukum.

Proses hukum idealnya bukan hanya soal menjatuhkan hukuman, tetapi menyelami sebab, latar belakang, dan dampak. Nurani membawa proses hukum pada kedalaman. Ia mencegah ketergesaan, menghindari kebekuan, dan menghidupkan empati di antara jalannya hukum yang formal.

Nurani bukan lawan dari akal sehat, melainkan sahabatnya. Ia menegaskan bahwa keadilan tidak bisa dilihat hanya dari sisi legal, tetapi juga dari sisi etis dan spiritual. Dalam banyak tradisi hukum dunia, hakim diandaikan memiliki kebijaksanaan, dan di sanalah nurani hadir, bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai kekuatan moral.

Banyak sistem peradilan modern mulai menggali pendekatan restorative justice, yang intinya adalah menghidupkan kembali nurani dalam sistem hukum. Di sana, pelaku, korban, dan masyarakat bertemu bukan hanya untuk menghitung kesalahan, tetapi untuk membangun pemulihan. Ini adalah bukti bahwa hukum yang hidup tak bisa lepas dari cahaya nurani.

Nurani tidak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari pembiasaan diri untuk jujur, adil, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan hukum sejatinya bukan hanya mencetak penghafal pasal, tapi melahirkan pelayan keadilan yang memiliki kepekaan hati. Tanpa nurani, profesionalisme hukum berubah menjadi teknokrasi yang dingin.

Pengadilan bukan hanya tempat mencari siapa yang salah, tetapi juga tempat mencari apa yang benar. Dalam pencarian itu, nurani bisa menjadi penuntun jalan. Ia mengarahkan agar hukum tak hanya mengadili, tapi juga menyembuhkan. Tak hanya menghukum, tapi juga mengasuh.

Kerap kali nurani bersuara saat hukum terdiam. Dalam kasus-kasus kemanusiaan yang menyayat, hukum positif tidak selalu mampu memberikan jawaban yang menenteramkan. Maka, para penegak hukum, bahkan masyarakat pun ditantang untuk kembali mendengarkan suara nurani, yaitu suara jernih dari kedalaman hati yang merindukan kebenaran.

Dalam sistem yang kadang disibukkan oleh angka, target, dan formalitas, suara nurani perlu terus dihidupkan. Ia hadir dalam cara mendengarkan, dalam keputusan yang bijak, dan dalam doa yang lirih sebelum mengetukkan palu. Di situlah nurani bersuara. Meski lirih, namun membentuk sejarah.

Hukum yang mengabaikan nurani akan cepat kehilangan legitimasi. Sebab masyarakat tidak hanya menilai hukum dari ketepatannya, tetapi dari rasa keadilan yang mereka rasakan. Dan keadilan tidak pernah bisa hadir tanpa kepekaan nurani.

Hukum adalah alat. Nurani adalah cahaya. Jika alat bekerja tanpa cahaya, maka ia akan mudah menabrak, melukai, dan tersesat. Namun bila nurani menyinari jalannya, maka hukum menjadi kendaraan kebaikan, yang membawa manusia menuju tatanan yang damai dan beradab.

Letak nurani dalam proses hukum bukan di luar sistem, tetapi menyatu dalam setiap tahapannya. Dalam hati para pelaku hukum, dalam tekad untuk memahami manusia sebagai manusia, dan dalam niat tulus untuk menjadikan hukum sebagai jalan menuju rahmat. Dan di situlah, hukum menjadi tidak hanya sah, tetapi juga suci.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews