Hukum bukan benda mati. Ia bergerak mengikuti nurani manusia yang terus mencari makna dan keadilan. Dalam sejarah pemikiran hukum, terdapat pergeseran mendalam dari lex yang kaku dan tekstual menuju ius, yang lebih lentur dan bernuansa moral. Pergeseran ini bukan sekadar semantik, melainkan mencerminkan transformasi paradigma dalam memahami hakikat hukum dan keadilan.
Lex merujuk pada hukum dalam bentuknya yang formal seperti peraturan tertulis yang mengikat karena otoritas yang mengesahkannya. Dalam kerangka ini, hukum dipahami sebagai kumpulan pasal-pasal yang wajib ditaati tanpa mempertanyakan substansinya. Kepastian dan ketertiban menjadi tujuan utama, meskipun terkadang mengorbankan rasa keadilan.
Namun sejarah menunjukkan, hukum yang hanya berpijak pada lex sering kali gagal melindungi manusia. Aturan dapat digunakan untuk menjustifikasi penindasan, sebagaimana terjadi dalam banyak rezim totaliter yang mengesahkan tindakan zalim atas nama hukum.
Dalam konteks ini, lex kehilangan jiwanya dan berubah menjadi alat kekuasaan.
Munculnya konsep ius menjadi jawaban terhadap kekakuan ini. Ius bukan sekadar aturan, tetapi keadilan itu sendiri. Keadilan yang hidup dalam hati nurani, yang tidak tergantung pada legalitas formal semata. Dalam tradisi hukum Romawi, ius melampaui hukum yang tertulis, karena menyentuh nilai dan prinsip moral yang abadi.
Ius mengandaikan keadilan tidak cukup hanya ditegakkan melalui hukum positif. Keadilan harus ditafsirkan, dihidupkan, dan diperjuangkan, bahkan jika teks hukum tidak sepenuhnya mencerminkannya. Dalam kerangka ini, hakim bukan hanya pelaksana pasal, tetapi juga penjaga nilai yang harus bijak menyeimbangkan antara teks dan konteks.
Peralihan dari lex ke ius terlihat nyata dalam berbagai praktik peradilan progresif. Banyak putusan pengadilan di berbagai negara yang mengutamakan keadilan substantif meskipun harus menafsirkan aturan dengan cara yang tidak literal. Misalnya, perlindungan terhadap kelompok rentan seringkali tidak disebut secara eksplisit dalam undang-undang, namun ditegaskan melalui prinsip-prinsip ius.
Dalam konteks hukum Islam, perbedaan antara nas dan maqasid mencerminkan dinamika yang serupa. Hukum tidak hanya dilihat dari bunyi teks, tetapi juga dari tujuan syariah yang hendak dicapai, yakni keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Tafsir terhadap hukum dilakukan dengan mempertimbangkan ruhnya, bukan sekadar lafaznya.
Filsafat hukum kontemporer juga mendukung pendekatan ius dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern. Hukum tidak bisa hanya dilihat dari sisi kepastian dan prosedural, melainkan harus menyatu dengan nilai etika, keberpihakan pada yang lemah, dan pertimbangan kontekstual. Keadilan yang sejati menuntut lebih dari sekadar kepatuhan terhadap aturan.
Dalam praktik kenegaraan, pendekatan ius mendorong kebijakan publik yang lebih inklusif. Perumusan undang-undang dilakukan tidak hanya berdasarkan pertimbangan legal-formal, tetapi juga melalui dialog dengan masyarakat sipil, kelompok minoritas, dan pemangku kepentingan lain. Tujuannya bukan hanya legalitas, tetapi legitimasi moral dan sosial.
Pergeseran ini menandakan bahwa hukum telah tumbuh menjadi instrumen etis yang terus berkembang. Hukum tidak statis, melainkan reflektif dan transformatif. Setiap aturan yang dibuat harus terus diuji dengan pertanyaan mendasar: apakah ia adil atau tidak? Apakah ia membawa manfaat atau tidak? Apakah ia mengangkat martabat manusia atau tidak?
Dalam perspektif spiritual, peralihan dari lex ke ius merupakan pengembalian hukum kepada fitrahnya. Hukum hadir bukan untuk menyulitkan, tetapi untuk memudahkan. Bukan untuk menghukum, tetapi untuk membimbing. Bukan untuk menindas, tetapi untuk melindungi. Keadilan adalah salah satu nama Allah, dan hukum adalah pantulannya di dunia.
Perjalanan hukum dari lex ke ius mengajarkan bahwa hukum yang agung bukan yang paling lengkap, tetapi yang paling adil. Tidak semua kebenaran ada dalam pasal, tetapi kebenaran selalu hidup dalam nurani. Ketika hukum dipahami sebagai panggilan hati, maka keadilan akan menemukan jalannya, bahkan di tengah sistem yang rumit.
Tidak berarti lex harus ditinggalkan, tetapi harus dibaca dalam cahaya ius. Aturan tetap dibutuhkan untuk menjaga keteraturan, tetapi aturan harus tunduk kepada nilai. Kepastian diperlukan, namun tidak boleh mengalahkan keadilan. Dalam keseimbangan keduanya, hukum menjadi sumber harapan dan penuntun kehidupan.
Dengan demikian, hukum yang hidup bukan sekadar tulisan, tetapi ruh. Dari lex ke ius, dari teks ke nilai, dari pasal ke nurani. Itulah perjalanan panjang hukum menuju kemuliaannya. Sebuah perjalanan yang tidak pernah selesai, namun selalu layak untuk diperjuangkan, demi hadirnya keadilan yang hakiki dan berkah bagi seluruh umat manusia.