Apakah Hukum Mampu Menyelesaikan Derita Manusia?

Hukum memang tidak dapat menghapus semua derita manusia. Namun hukum yang adil, manusiawi, dan bermartabat akan mampu memberi makna baru bagi penderitaan.
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/

Ketika manusia terluka oleh ketidakadilan, hukum menjadi harapan pertama dan terakhir. Di ruang sidang, di balik berkas perkara, dan dalam bunyi palu putusan, tersimpan harapan bahwa derita akan dipulihkan. Namun pertanyaannya tetap menggema adalah, sejauh mana hukum mampu menyembuhkan luka terdalam manusia?

Hukum lahir dari kebutuhan untuk menata kehidupan bersama. Ia menyusun aturan, menetapkan hak dan kewajiban, serta memberi jalan keluar bagi sengketa. Tetapi penderitaan manusia tidak selalu berupa pelanggaran hukum. Banyak luka bersumber dari relasi yang retak, janji yang diingkari, dan perlakuan yang tak tertulis dalam pasal-pasal.

Seorang ibu yang ditinggalkan suami tanpa nafkah bertahun-tahun, mungkin akhirnya menang di pengadilan. Namun apakah deritanya selesai setelah palu diketuk? Hukum mampu mengubah status seseorang, tetapi belum tentu mampu menghapus tangis yang sudah mengering. Di titik ini, keadilan yang dicari bukan sekadar keputusan, melainkan pemulihan martabat.

Derita manusia bukan hanya persoalan legalitas. Ia bersumber dari relung jiwa, dari rasa kehilangan, dari ketimpangan relasi sosial, dari luka batin yang tak terobati. Hukum yang terlalu legalistik berisiko menjadi kaku dan tidak menyentuh esensi penderitaan itu sendiri.

Namun demikian, hukum tetap punya peran vital. Ia menjadi perisai bagi yang tertindas dan jalan menuju pemulihan bagi yang dilukai. Hukum yang dijalankan dengan hati dapat menjadi jembatan menuju kelegaan. Terlebih jika hukum dilandasi semangat welas asih dan kepekaan terhadap realitas konkret kehidupan.

Pendekatan restoratif memberi teladan akan hal ini. Dalam pendekatan tersebut, fokus tidak lagi semata pada pelanggaran, tetapi juga pada pemulihan hubungan dan pengakuan atas derita korban. Korban diajak bicara, pelaku diminta bertanggung jawab, dan masyarakat dilibatkan dalam pemulihan. Dalam proses itu, hukum tak sekadar menyelesaikan perkara, tetapi turut menyembuhkan luka batin.

Namun tantangan tetap besar. Sistem hukum yang terlalu birokratis sering kehilangan kehangatan kemanusiaan. Waktu yang panjang, biaya yang tinggi, dan proses yang rumit kadang justru memperpanjang penderitaan. Di sinilah perlunya reformasi hukum yang berpihak pada manusia, bukan hanya pada prosedur.

Nilai-nilai spiritual memberikan arah agar hukum tidak kehilangan jiwanya. Dalam ajaran agama, keadilan bukan hanya urusan dunia, tetapi bagian dari panggilan Ilahi. Maka hukum yang baik adalah hukum yang menyentuh nurani, membangkitkan harapan, dan menghadirkan kedamaian batin bagi yang terluka.

Keadilan sejati tidak selalu identik dengan kemenangan hukum. Ada kalanya, sebuah permintaan maaf atau pengakuan kesalahan jauh lebih menyembuhkan dibanding seribu pasal. Maka hukum harus memberi ruang untuk rekonsiliasi dan pengakuan kemanusiaan dalam bentuk yang lebih luas.

Di berbagai tempat, lembaga-lembaga bantuan hukum, mediasi, dan komunitas sosial telah terbukti mampu memperpendek jarak antara hukum dan derita manusia. Mereka bukan hanya menjelaskan hak, tetapi juga mendampingi dengan empati. Dari sana tampak bahwa hukum, bila diiringi kasih, akan lebih menyembuhkan.

Penting untuk disadari bahwa hukum bukan segala-galanya, tetapi ia bisa menjadi awal yang baik. Ia adalah instrumen, bukan tujuan akhir. Tugas hukum bukan menghapus semua derita, tetapi menciptakan ruang aman bagi pemulihan dan pertumbuhan kembali kehidupan yang utuh.

Derita manusia membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Hukum harus bersinergi dengan pendidikan, budaya, nilai religius, dan solidaritas sosial. Jika semua itu berjalan bersama, maka hukum akan menjadi bagian dari jawaban, bukan bagian dari masalah.

Hukum yang hidup dalam cahaya keadilan dan kasih sayang adalah hukum yang menyentuh jiwa. Ia bukan sekadar perangkat pengatur, tetapi menjadi tangan yang mengangkat, suara yang membela, dan cahaya yang menerangi lorong gelap penderitaan.

Hukum memang tidak dapat menghapus semua derita manusia. Namun hukum yang adil, manusiawi, dan bermartabat akan mampu memberi makna baru bagi penderitaan. Di sana, lahir harapan bahwa luka yang dalam pun masih dapat disembuhkan dengan keadilan yang jujur dan kasih yang hidup dalam hukum itu sendiri.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews