Pendahuluan
Ketika hakim dalam perkara menyangkut lingkungan hidup mengetukkan palu di ruang sidang, ia tidak hanya memutuskan perselisihan antara para pihak, tetapi juga menentukan masa depan ekosistem yang jauh melampaui batas-batas yurisdiksi administratif.
Dalam konteks perubahan iklim, setiap keputusan hukum mencerminkan pilihan filosofis yang mendalam: apakah hukum harus mempertahankan posisi netralnya yang tradisional, atau harus mengambil sikap yang tegas dalam membela kepentingan ekologis yang lebih besar? Pertanyaan ini bukan sekadar akademis, melainkan mendesak untuk dijawab dalam era di mana Indonesia berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca namun juga rentan terhadap perubahan iklim.
Transformasi paradigma hukum dari netralitas ke keberpihakan ekologis tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia merupakan respons terhadap kegagalan sistemik institusi-institusi konvensional dalam menangani krisis iklim yang semakin mengancam. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim, menjadi laboratorium yang menarik untuk mengamati bagaimana sistem hukum beradaptasi dengan tantangan ekologis yang belum pernah ada sebelumnya.
Anatomi Netralitas Hukum dalam Konteks Iklim
Sebagai pilar utama sistem peradilan, netralitas hukum berasumsi bahwa keadilan tercapai saat norma diterapkan sama rata pada semua, terlepas dari dampak sosial atau lingkungan yang lebih luas. Paradigma ini efektif untuk penyelesaian sengketa konvensional yang dampaknya terbatas. Namun, krisis iklim global kini menantang konsep netralitas ini secara fundamental.
Di Indonesia, penerapan netralitas hukum sering kali berakhir pada paradoks yang mengkhawatirkan. Misalnya, ketika sebuah perusahaan sawit memperoleh izin resmi untuk membuka lahan gambut, keputusan tersebut mungkin memenuhi standar netralitas prosedural. Akan tetapi, hal ini berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon yang akan berdampak pada generasi mendatang. Keadilan yang diperoleh melalui proses netral justru berujung pada ketidakadilan substansial yang jauh lebih besar.
Kompleksitas ini semakin terlihat dalam kasus-kasus lingkungan yang menuntut pertimbangan ilmiah yang mendalam. Hakim yang berpegang pada netralitas tradisional sering kali terjebak dalam dilema: bagaimana menerapkan norma hukum yang netral ketika bukti ilmiah menunjukkan urgensi tindakan yang tidak netral? Ketidakpastian ilmiah yang inheren dalam sains iklim menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menunda tindakan yang sebenarnya mendesak.
Genealogi Litigasi Iklim Indonesia
Tidak sedikit kasus terkait perubahan iklim telah dibawa ke pengadilan Indonesia antara 2010-2025, hal yang menandai kemunculan fenomena baru dalam lanskap hukum Indonesia.¹ Kondisi tersebut tidak hanya mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu iklim, tetapi juga transformasi strategi perjuangan lingkungan dari arena politik ke arena hukum.
Dua putusan pengadilan di Indonesia menandai pergeseran paradigma dalam penegakan hukum lingkungan. Pertama, gugatan warga Jakarta terhadap pemerintah terkait kualitas udara buruk (Putusan No. 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst). Kasus ini tidak hanya menegaskan hak warga atas lingkungan sehat, tetapi juga menunjukkan peran negara dalam perlindungan lingkungan mulai disorot.
Kedua, Putusan PTUN Bandung Nomor: 52/G/LH/2022/PTUN.Bdg antara Walhi melawan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat. Putusan ini menekankan pentingnya kajian perubahan iklim dalam AMDAL, menjadi momentum krusial dalam sejarah penyelesaian perkara lingkungan di Indonesia.
Melalui kasus-kasus ini, pengadilan menunjukkan bahwa netralitas hukum yang terlalu kaku justru bisa menciptakan ketidakadilan yang lebih besar. Ini adalah langkah maju dalam menghadapi tantangan lingkungan dan krisis iklim.
Perkembangan ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh global, khususnya kesuksesan kasus Urgenda di Belanda dan kasus-kasus serupa di seluruh dunia. Namun, adaptasi model litigasi iklim global ke dalam konteks Indonesia menghadapi tantangan unik yang berkaitan dengan struktur hukum nasional, kultur hukum, dan kompleksitas sosial-ekonomi yang berbeda.
Apa yang menarik adalah, bagaimana gugatan warga negara menjadi salah satu bentuk litigasi yang menjadi alternatif penyelesaian dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat. Mekanisme ini mencerminkan evolusi pemahaman tentang posisi hukum dalam isu-isu yang menyangkut kepentingan kolektif generasi saat ini dan mendatang.
Kepentingan Institusional dan Resistensi Sistemik
Pergeseran dari netralitas ke keberpihakan ekologis tentunya tidak terjadi tanpa resistensi. Institusi hukum yang telah bertahun-tahun beroperasi dalam paradigma netralitas menghadapi tantangan epistemologis yang fundamental. Hakim yang terbiasa dengan standar pembuktian yang rigid dan prosedur yang formal tiba-tiba dihadapkan pada kompleksitas sains iklim yang tidak dapat dipersempit menjadi formula hukum yang sederhana.
Resistensi ini juga muncul dari kepentingan ekonomi yang kuat. Dalam konteks Indonesia, di mana ekstraksi sumber daya alam menjadi tulang punggung ekonomi, keberpihakan ekologis dalam keputusan hukum dapat mengancam struktur ekonomi yang sudah mapan. Tekanan ini menciptakan dilema bagi hakim: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kepentingan ekologis jangka panjang?
Partisipasi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam COP 29 di Baku, Azerbaijan, pada November 2024 menunjukkan, institusi yudikatif mulai mengakui pentingnya keterlibatan dalam diskusi global tentang perubahan iklim. Namun, partisipasi simbolis ini perlu diterjemahkan menjadi transformasi substansial dalam praktik peradilan sehari-hari.
Dimensi Filosofis Keberpihakan Ekologis
Keberpihakan ekologis dalam hukum tidak dapat dipahami sebagai pengabaian terhadap prinsip-prinsip keadilan, melainkan sebagai ekspansi pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan keadilan itu sendiri. Dalam konteks perubahan iklim, keadilan tidak lagi dapat dibatasi pada kesetaraan prosedural antarindividu, tetapi harus mencakup kesetaraan intergenerasi dan kesetaraan antarspesies.
Transformasi ini menuntut reformulasi konsep fundamental tentang subjek hukum. Jika hukum tradisional hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum, maka keberpihakan ekologis menuntut pengakuan terhadap hak-hak alam atau setidaknya hak-hak generasi mendatang yang tidak dapat merepresentasikan diri mereka sendiri dalam proses hukum saat ini.
Dalam praktiknya, keberpihakan ekologis tidak berarti peniadaan prosedur hukum yang adil, melainkan reorientasi tujuan hukum dari sekadar penyelesaian sengketa menuju pencegahan kerusakan ekologis yang tidak dapat dipulihkan. Ini membutuhkan pengembangan instrumen hukum preventif yang lebih kuat daripada instrumen kuratif yang dominan dalam sistem hukum konvensional.
Tentunya, transformasi paradigma dari netralitas ke keberpihakan ekologis akan menghadapi tantangan praktis yang tidak dapat diabaikan. Pertama, kapasitas institusional. Sistem peradilan Indonesia masih terbatas dalam hal pemahaman tentang kompleksitas sains iklim, meskipun dalam PERMA 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup memang telah mengatur mengenai hal tersebut. Hakim yang dihadapkan pada bukti ilmiah yang kompleks sering kali tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mengevaluasi validitas dan implikasi dari bukti tersebut apa lagi untuk pengadilan di daerah terpencil.
Kedua, tantangan prosedural. Hukum acara yang ada belum sepenuhnya mengakomodasi karakteristik unik dari sengketa iklim, seperti keterkaitan lintas jurisdiksi, kompleksitas kausal, dan time lag antara tindakan dan akibat. Ini menuntut reformasi prosedural yang substansial, bukan hanya penyesuaian yang bersifat minor.
Ketiga, tantangan legitimasi. Keberpihakan ekologis dapat dipersepsikan sebagai aktivisme yudisial yang melampaui batas-batas konstitusional kekuasaan kehakiman. Legitimasi demokratis dari keberpihakan ekologis perlu dibangun melalui dialog yang intensif dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya dan masyarakat sipil.
Menuju Sintesis yang Konstruktif
Dikotomi antara netralitas dan keberpihakan mungkin perlu dilampaui dengan mencari sintesis yang lebih konstruktif. Gagasan "netralitas yang sadar secara ekologis" dapat menjadi jembatan yang menghubungkan komitmen terhadap due process dengan urgensi tindakan ekologis. Dalam kerangka ini, netralitas tidak dipahami sebagai ketidakpedulian terhadap outcome, melainkan sebagai komitmen untuk mempertimbangkan semua kepentingan yang relevan, termasuk kepentingan ekologis jangka panjang.
Pendekatan ini jelas membutuhkan pengembangan metodologi baru dalam pengambilan keputusan hukum yang mengintegrasikan pertimbangan hukum, ilmiah, dan etis. Hakim tidak lagi hanya berperan sebagai penafsir norma, tetapi juga sebagai mediator antara berbagai sistem pengetahuan yang berbeda.
Pergeseran dari netralitas hukum ke keberpihakan ekologis dalam konteks keadilan iklim di Indonesia mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam pemahaman tentang peran hukum dalam masyarakat. Transformasi ini tidak dapat dihindari karena krisis iklim menuntut respons yang melampaui kapasitas paradigma hukum konvensional.
Namun, transformasi ini tidak dapat terjadi secara spontan atau tanpa pertimbangan yang matang. Ia membutuhkan reformasi institusional yang sistematis, pengembangan kapasitas yang berkelanjutan, dan dialog yang intensif antara berbagai stakeholder. Yang paling penting, transformasi ini harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas krisis iklim dan keterbatasan instrumen hukum yang ada.
Masa depan keadilan iklim di Indonesia tidak terletak pada pilihan biner antara netralitas dan keberpihakan, melainkan pada kemampuan sistem hukum untuk mengembangkan pendekatan yang lebih bijaksana yang dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan tradisional dengan imperatif ekologis yang mendesak. Dalam perjalanan ini, ruang sidang tidak hanya menjadi tempat penyelesaian sengketa, tetapi juga arena di mana masa depan planet ini dipertaruhkan.
Daftar Bacaan
- Edra Satmaidi, dkk, Citizen Lawsuit di Indonesia: Tinjauan terhadap Substansi, Prosedur, serta Eksekusi, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), 2022
- Mahkamah Agung Republik Indonesia, "Mahkamah Agung RI Berpartisipasi dalam Diskusi Global tentang Perubahan Iklim,"
- https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/6539/mahkamah-agung-ri-berpartisipasi-dalam-diskusi-global-tentang-perubahan-iklim
- "What Jakarta Climate Change Lawsuit Means for the Future," Fair Observer, January 26, 2023, https://www.fairobserver.com/politics/what-jakarta-climate-change-lawsuit-means-for-the-future/.
- Klaus Bosselmann, The Principle of Sustainability: Transforming Law and Governance (Hampshire: Ashgate, 2008).
- Richard J. Lazarus, The Making of Environmental Law (Chicago: University of Chicago Press, 2004).
- Holly Doremus, "Science Plays Defense: Natural Resource Management in the Bush Administration," Ecology Law Quarterly 32, no. 2 (2005)
- Untuk analisis komparatif litigasi iklim global, lihat Joana Setzer and Rebecca Byrnes, Global trends in climate change litigation: 2020 snapshot (London: Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment, 2020).
- Mengenai gerakan pengarusutamaan lingkungan sebagai subjek, lihat Christopher Stone, Christopher D. Should Trees Have Standing? Law, Morality, and the Environment. Oxford: Oxford University Press, 2010..
- Untuk diskusi tentang legitimasi demokratis dalam aktivisme yudisial, lihat Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism (Cambridge: Harvard University Press, 2004).