Keterbukaan informasi publik bagi institusi atau Lembaga negara merupakan sebuah keniscayaan dan berfungsi sebagai wujud transparansi dan pertanggungjawaban suatu lembaga kepada publik. Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga tinggi negara telah berkomitmen untuk mewujudkan peradilan yang transparan dan terbuka sebagaimana di dalam misinya dan salah satu nilai utama Mahkamah Agung.
Selanjutnya dikonkretkan dengan ditetapkannya SK KMA Nomor: 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang kemudian diubah menjadi SK KMA Nomor: 1-144/KMA/SK/I/2011 dan diperbarui menjadi SK KMA Nomor: 2-144/KMA/SK/III/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan.
Kebijakan ini, melahirkan bagian humas, yang dikelola kepaniteraan hukum dan juru bicara pengadilan, yang dijalankan hakim. Di mana, kedua bagian tersebut, bertanggung jawab menjalankan fungsi kehumasan di pengadilan.
Pers dan humas merupakan dua lembaga, tidak terpisahkan dan saling berkaitan satu sama lain. Pada satu sisi, pers berperan mencari dan mengolah informasi yang diperoleh, sementara di sisi lain, humas berperan memberikan informasi kepada publik.
Dalam konteks peradilan, pers berperan memberikan informasi, berkaitan dengan layanan pengadilan dan proses penegakan hukum di pengadilan. Lebih lanjut peran yang dimaksud, tidak hanya sekedar sarana menyampaikan informasi, namun juga, sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap proses peradilan, agar berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan berkeadilan.
Berbagai peristiwa hukum, menjadi salah satu bagian menarik, untuk diberitakan pers, terutama terhadap kasus menarik perhatian publik, baik yang telah mendapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maupun dalam proses persidangan.
Dalam menghadapi pemberitaan perkara pidana, masyarakat cenderung menyalahkan seorang tersangka atau terdakwa, tanpa melihat latar belakang dan bukti-bukti yang didapatkan terhadap seseorang, yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini, menjadi sangat berbahaya, ketika seseorang menilai hanya mendasarkan, pada asumsi-asumsi tertentu yang dibangun di atas prasangka-prasangka, tanpa fakta dan didukung oleh bukti yang kuat di dalam pemberitaan.
Peristiwa dimaksud, tidak hanya menjauhkan fungsi pers, sebagai penyampai informasi, namun berusaha menjustifikasi suatu peristiwa hukum tertentu. Kemudian kesalahan seseorang, ditentukan sendiri Masyarakat. Hal semacam dimaksud, selain menjauhkan pers dari fungsi sebenarnya, juga berpotensi mengancam independensi kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Kekuasan Kehakiman, menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945, demi terselenggaranya negara hukum Indonesia. Lebih lanjut angka 2 pasal tersebut, Mahkamah Agung, adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana UUDNRI 1945.
Dari kedua ketentuan tersebut, mempertegas Mahkamah Agung, sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas peradilan harus merdeka dan bebas dari pengaruh apapun, termasuk pers.
Pemberitaan pers atas jalannya proses peradilan pidana, merupakan hak pers untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, yang berhak mengetahui jalannya penegakan hukum dalam ruang persidangan. Dengan pemberitaan tersebut, pers dapat berfungsi sebagai media informasi, yang menjadi mata publik untuk mengawasi proses penegakan hukum, yang benar dan adil, sesuai aturan yang berlaku dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Pemberitaan tersebut, dapat menjadi cermin bagi peradilan, guna mengamati pendapat publik atas segala sesuatu yang berlangsung dalam ruang persidangan. Dengan kata lain, pemberitaan tersebut dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengawasi peradilan, sekaligus menjadi pintu bagi peradilan, untuk membuka diri atas kritik dan saran, yang membangun kualitas penegakan hukum lebih baik.
Akan tetapi, dalam praktiknya, pemberitaan pers, tidak sedikit membawa dampak negatif, baik peradilan, dan pencari keadilan (tersangka atau terdakwa). Pemberitaan pers, disertai komentar dan opini, yang bersifat menganalisis, dan disampaikan dengan gaya bahasa, yang menyudutkan atau mengajak publik, untuk menyimpulkan salah atau tidaknya seorang pencari keadilan, yang menimbulkan opini publik luas, karena berita tersebut. Selain itu, pemberitaan dapat mempengaruhi hakim, untuk mengambil keputusan dalam pengadilan.
Fenomena tersebut, dikenal dengan istilah peradilan oleh pers atau trial by the press.
Trial by the press, bilamana pers menggiring sopini publik terhadap analisis berupa kesalahan seseorang. Peradilan pers menjadi berbahaya, ketika publik belum dewasa dalam memaknai berita.
Manusia hakikatnya. adalah makhluk yang memiliki kehormatan, dan saat publik tidak menghargai hak seseorang, maka jatuhlah orang tersebut di mata masyarakat. Oleh karena itu, hukum diwajibkan menjaga martabat dan nama baik seseorang. Akan tetapi, seseorang bersalah secara hakikat, tidak dapat dijatuhkan, oleh siapapun, termasuk oleh pers itu sendiri, melainkan, melalui proses peradilan jujur dan adil.
Bahkan, tidak sedikit masyarakat, mengkambing hitamkan Majelis Hakim, yang menjatuhkan putusan tersebut. Padahal sarana, bagi pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan, telah disediakan jalur formal melalui mekanisme upaya hukum. Namun kenyataannya, dengan adanya pemberitaan memancing keriuhan publik, dan menyudutkan atau mencerca hakim.
Tindakan dimaksud, tidak hanya mengganggu kemerdekaan hakim, sebagai personifikasi kekuasaan kehakiman, namun juga telah melanggar kenyamanan dan privasi Hakim dalam kehidupan pribadi. Sudah sepantasnya, publik tetap menggunakan ungkapan yang masih relevan, hingga saat ini jka tidak setuju dengan pendapatnya, maka lawan pendapatnya bukan orangnya.
Bilamana konteksnya putusan pengadilan, maka tidak puas terhadap putusan, lawanlah melalui jalur upaya hukum, bukan menjatuhkan pribadi hakim. Tidak jarang terdakwa atau hakimnya, diadili oleh analisis pers atau pendapat umum, serta dijadikan sebagai musuh masyarakat (public enemy).
Kemudian pertanyaannya apakah hal seperti ini pers patut dipersalahkan? Tentu saja pers tidak sepenuhnya salah. Penulis berpendapat penyebab terjadinya trial by the press, adanya andil internal Pengadilan, dimana kurang optimalnya fungsi kehumasan. Terhadap hal semacam ini, pengadilan melalui Humas dan juru bicara, harus dengan cepat menggunakan hak koreksi dan hak jawab, guna menghindari ketersesatan publik.
Respons penting untuk memelihara kepercayaan publik (public trust) kepada pengadilan. Juru bicara pengadilan memiliki peran penting, dalam membangun citra dan reputasi lembaga di mata publik, karena selain ditentukan oleh figur pimpinan, wajah dan etalase organisasi, digambarkan eorang juru bicara dan petugas humas.
Juru bicara juga memiliki fungsi penegasan dan klarifikasi atas informasi yang berkembang, menjawab segala isu beredar dan meluruskan persepsi publik, saat tidak sesuai data dan fakta sebenarnya. Juru bicara mewakili pengadilan, untuk memberikan informasi masalah teknis yuridis, sedangkan humas sampaikan seputar administrasi atau organisasi.
Peran hakim, selaku juru bicara memiliki kekhususan dengan juru bicara lembaga lainnya, karena adanya batasan prinsip silent corps, kode etik dan pedoman perilaku hakim, serta penguasaan hakim dalam menjalankan prinsip kehumasan.
Penulis berpendapat, hakim itu jabatan diam, hanya dapat dilakukan saat menjalankan tugas lainnya dari pengadilan, yang salah satunya juru bicara. Dalam menghadapi fenomena trial by the press, humas pengadilan harus dioptimalkan, khususnya peran juru bicara, yang berwenang memberikan klarifikasi, terhadap informasi yang sifatnya yuridis.
Juru bicara dituntut memberikan penjelasan mengenai putusan yang dijatuhkan. Perlu diketahui, meskipun juru bicara dituntut menjawab berbagai pertanyaan media, namun jabatan hakim tetap masih melekat, sehingga masih terikat dengan kode etik sebagai batasannya.
Upaya proporsional menurut penulis, juru bicara dapat menjelaskan putusan secara umum untuk disampaikan kepada publik, sebagai bentuk transparansi badan peradilan dan masyarakat atau media, memperoleh pemahaman utuh mengenai suatu perkara atau putusan tertentu, sehingga dapat disampaikan secara objektif.
Penyampaian seperti ini tentu tidak boleh disertai opini, komentar atau pandangan juru bicara sendiri, melainkan cukup jelaskan gambaran umum, mengenai ratio decidendi dan norma dalam putusan tersebut, sehingga masyarakat atau media, dapat memahami penjelasan sederhana.
Penunjukan hakim sebagai juru bicara adalah hak prerogatif ketua pengadilan, sesuai Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2015 dan berbagai ketentuan perubahannya. Aturan tersebut tidak mencantumkan syarat atau kriteria, yang harus dimiliki hakim agar bisa mengemban amanah sebagai juru bicara. Sedangkan, merespons fenomena trial by the press, diperlukan seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu, guna menjadi juru bicara, agar dapat merespon dengan baik, dengan tetap berpegang teguh terhadap kode etik.
Setidaknya penulis telah memberikan kriteria atau kemampuan kehumasan yang harus dimiliki oleh hakim juru bicara sebagai berikut:
1. Kemampuan public speaking yang baik, di mana seorang juru bicara harus memiliki kemampuan berbicara di hadapan publik yang baik, dalam artian penggunaan Bahasa formal, penyampaiannya sistematis, koheren dan tidak berbelit, sehingga substansi yang disampaikan, diterima baik.
2. Berperilaku jujur dan terbuka, di mana jujur dan terbuka dalam menyampaikan Informasi. Peran humas sangat penting dan strategis, membangun kembali kepercayaan publik, melalui sikap jujur dan terbuka, terhadap setiap informasi yang disampaikan.
3. Memahami masalah sebelum memberikan pernyataan, di mana juru bicara dapat melakukan riset sederhana, atas persoalan yang menjadi bahan berita, agar berita yang dipublikasi mengandung nilai informatif dan edukatif.
4. Santun dan Informatif, jubir dalam memberikan penjelasan, wajib santun dengan menggunakan kata-kata baik dan diksi yang tepat. Selain itu, berbicara dan bertutur kata sopan, merupakan modal komunikasi efektif.
5. Memiliki integritas yang baik, dimana jubir berintegritas akan mempengaruhi informasi yang disampaikan ke publik dan tidak jadi boomerang, terhadap dirinya dan lembaga. Seseorang yang memiliki integritas, akan terhindar dari tindakan koruptif dan manipulatif, senantiasa amanah dalam memegang tanggung jawab.
Kelima kemampuan yang harus dimiliki juru bicara diatas, tidak mudah ditemukan dalam diri seorang hakim, terlebih dengan kondisi keterbatasan sumber daya hakim yang bertugas di lembaga peradilan. Namun hal itu, bukan menjadi alasan seorang hakim yang ditunjuk sebagai juru bicara, tidak mengasah kemampuannya dalam menjalankan fungsi kehumasan.
Poin penting yang penulis sampaikan, yakni siapapun yang ditunjuk sebagai juru bicara, harus memegang amanah dengan sungguh-sungguh dan mengasah kemampuan kehumasannya. Ketika seorang hakim ditunjuk menjadi juru bicara, sejatinya tidak hanya bertanggungj awab memeriksa dan menyelesaikan perkara, yang ditanganinya, melainkan baik atau buruknya citra institusi, ada di tangannya.
Dengan demikian, optimalisasi fungsi kehumasan melalui peran aktif dan profesional juru bicara, serta humas pengadilan, menjadi kunci mencegah trial by the press. Sekaligus menjaga independensi peradilan, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap proses hukum yang adil dan transparan.