MARINews, Jakarta-Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) menggelar Seminar Internasional bertajuk tema “Penegakan Hukum Terhadap Contempt of Court dalam Mewujudkan Peradilan Berkualitas” pada Senin (21/4) di Ruang Rapat Tower Lt. 2 Gedung Mahkamah Agung (MA).
Apa itu contempt of court? Ketua MA, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.Hum. dalam keynote speech-nya menjelaskan, perbuatan aktif maupun pasif yang dilakukan seseorang di dalam maupun di luar pengadilan, yang dianggap melecehkan wibawa aparat penegak hukum, putusan pengadilan, dan proses persidangan dapat dikualifikasi sebagai contempt of court.
Adapun narasumber dalam seminar internasional mengenai contempt of court ini terdiri dari narasumber dalam negeri dan luar negeri. Narasumber dalam negeri yaitu, Ketua Kamar Pidana MA, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., Ketua Komisi Yudisial RI, Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D. dan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dr. Habiburokhman, S.H., M.H.
Sedangkan narasumber dari luar negeri terdiri dari Judge of the Appellate Division of the High Court of the Supreme Court of Singapore, Justice See Kee Oon dan Professor and Doctoral Supervisor of Law School, Visiting Researcher at the China-ASEAN Legal Research Center, Professor Jiang Min.
Seminar internasional tersebut turut menghadirkan penanggap dari kalangan akademisi yaitu Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. dan kalangan advokat yaitu Ketua Umum DPN Peradi, Dr. Luhut Pangaribuan, S.H., LL.M. dengan dipandu oleh Dr. Aria Suyudi, S.H., LL.M. selaku moderator dalam kegiatan tersebut.
Aria Suyudi menuturkan, tema mengenai contempt of court kerap dibahas di beberapa diskusi dan seminar di kalangan para aparat penegak hukum dan akademisi. Meskipun kerap dibahas, ia melanjutkan, contempt of court masih sangat relevan bagi diskursus tentang pelaksanaan peradilan yang mandiri dan berwibawa di Indonesia dewasa ini. Hal tersebut, disebabkan masih minimnya perkembangan regulasi tentang contempt of court.
Ia merujuk pada keynote speech Ketua MA, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.Hum., pada pembukaan seminar ini, setidaknya sejak 2001 contempt of court sudah diidentifikasi sebagai salah satu topik yang harus segera diregulasi dan dituntaskan. Hal ini disebabkan pengaturan tentang contempt of court sangat penting bagi pelaksanaan fungsi peradilan.
Moderator yang juga merupakan Staf Khusus Ketua MA dan anggota Tim Asistensi Pembaruan MA tersebut, mengutip pernyataan mantan Ketua MA, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL. mengenai sebuah refleksi ketika membicarakan aspek contempt of court. Bagir Manan, sebagaimana yang ia tuangkan dalam papernya sekitar 11 tahun lalu, mengatakan, sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan atau justice itu sendiri yang dihina atau dicemoohkan. Bukan pengadilan sebagai bahan dan bukan pula hakim.
Seminar internasional kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi dari para narasumber dari luar negeri. Setelah panelis pertama, yaitu Judge of the Appellate Division Supreme Court of Singapore, Justice See Kee Oon dan panelis kedua yaitu, Professor and Doctoral Supervisor of Law School, Visiting Researcher at the China-ASEAN Legal Research Center, Professor Jiang Min selesai memaparkan materinya, Aria Suyudi selaku moderator menarik benang merah dari kedua pemaparan tersebut.
Ia menyatakan, isu contempt of court adalah isu yang terus berkembang dan perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini sebagaimana yang juga telah dijelaskan oleh Judge of the Appellate Division Supreme Court of Singapore, Justice See Kee Oon, bahwa isu penggunaan Artificial Intelligence (AI) juga perlu diwaspadai sebagai suatu isu yang penting, yang kedepannya berpotensi menimbulkan contempt of court.
Kewajiban Negara untuk Menjaga Marwah dan Wibawa Pengadilan
Ketua Komisi III DPR RI, Dr. Habiburokhman S.H, M.H., pada tengah pemaparannya menyinggung, DPR masih memiliki “hutang” kepada MA khususnya kepada para hakim yaitu mengenai Undang-Undang Jabatan Hakim yang merupakan amanat dari Undang-Undang Kekuasan Kehakiman. Ia mengungkap, Undang-Undang Jabatan Hakim hingga saat ini belum terealisir.
Ia lebih lanjut menyatakan, berbicara mengenai bagaimana menghormati pengadilan, bagaimana memposisikan hakim sebagai posisi yang terhormat, tetapi tidak ada Undang-Undang Jabatan Hakim.
“Undang-Undang mengenai Notaris ada, Undang-Undang Advokat ada, Undang-Undang Kepolisian ada, Undang-Undang Kejaksaan ada. Sedangkan Undang-Undang Jabatan Hakim kita belum punya.” pungkasnya.
Setelah MA beserta jajaran menyusun draf naskah akademik perihal Undang-Undang Jabatan Hakim, ia berharap Undang-Undang Jabatan Hakim dapat segera diproses oleh DPR yang mana pernyataan tersebut diikuti dengan riuh tepuk tangan peserta yang hadir.
Lebih lanjut, Habiburokhman dalam pemaparannya, menguraikan beberapa permasalahan contempt of court, yaitu:
1. Nomenklatur contempt of court tidak disebutkan secara tekstual dalam KUHP Eksisting, sehingga seringkali menimbulkan silang pendapat antar penegak hukum.
2. Tidak adanya definisi hukum (legal definition) dari contempt of court membuat seringkali penafsirannya menjadi subjektif.
3. Penjelasan Umum butir ke-4 Undang-Undang Mahkamah Agung masih samar dan sangat luas. Frasa “perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan” menimbulkan beragam persepsi dalam implementasinya.
4. KUHP Eksisting mengatur ketentuan tindak pidana yang digolongkan sebagai contempt of court dalam ruang lingkup yang masih umum dan luas, sehingga sulit mengkualifikasikan deliknya dalam penegakan hukum, misalnya dalam Pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, serta Pasal 210 dan 420 tentang suap-menyuap hakim, yang mengundang banyak perdebatan termasuk kategori contempt of court atau bukan.
Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, reformasi hukum mengenai contempt of court telah termuat dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 278 perihal Penyesatan Proses Peradilan, Pasal 279-292 perihal Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan, Pasal 293 perihal Perusakan Gedung, Ruang Sidang dan Alat Perlengkapan Sidang Pengadilan dan Pasal 294-299 perihal Pelindungan Saksi dan Korban.
“Kehadiran KUHP Baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, sebagai produk hukum yang merupakan hasil kerja keras Komisi III DPR RI dan pemerintah, beserta segenap elemen masyarakat sipil telah menempatkan jaminan atas perlindungan marwah peradilan melalui pengaturan delik contempt of court yang komprehensif dan sesuai perkembangan hukum secara global.” tutup Habiburokhman.
Tantangan Penegakan Hukum dalam Kasus Contempt of Court
“Pada 2000, draf naskah akademik tentang contempt of court ini sudah ada. Namun, seiring berjalannya waktu, menjadi “dingin” lagi, akhirnya sampai detik ini belum terwujud. Mudah-mudahan dapat menjadi prioritas (red: di DPR), apakah dimasukkan dalam Undang-Undang Jabatan Hakim ataukah dalam bentuk yang lain.” ungkap Ketua Kamar Pidana MA, Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H., menanggapi pernyataan narasumber sebelumnya perihal penyusunan naskah akademik.
Kemudian, Prim Haryadi dalam pemaparan materi dengan judul Tantangan Penegakan Hukum dalam Kasus Contempt of Court, menuturkan Puslitbang Kumdil MA (BSDK) pernah melakukan penelitian pada 2000 yang hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court.
Hasil penelitian yang melibatkan responden yaitu, 398 hakim dari lima belas provinsi menunjukkan bahwa 52,3% responden mengatakan pernah mengalami contempt of court, sedangkan 5,3% mengaku sering mengalaminya.
“Sebanyak 48,2% dari para hakim itu berpendapat bahwa penyebab contempt of court adalah kesadaran hukum masyarakat yang menurun. Sementara 41,7% lainnya berpendapat, penyebabnya adalah prosedur berperkara kurang mendukung peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan.” jelas Prim Haryadi sebagaimana dikutip MARINews pada slide materi pemaparannya.
Ia menambahkan, 90,4% responden, berpendapat bahwa contempt of court perlu diatur secara tegas melalui undang-undang tersendiri. Hal tersebut pula yang dituangkan dalam kesimpulan penelitian tersebut.
Berbicara mengenai tantangan dalam penegakan hukum contempt of court di Indonesia, Prim Haryadi merangkum menjadi tujuh hal, yaitu:
1. Ketiadaan Regulasi Khusus, sehingga penegakan hukum menjadi tidak optimal dan seringkali multitafsir;
2. Lemahnya Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat;
3. Dominasi Social Justice atas Legal Justice. Fenomena deliberasi hukum di masyarakat, di mana proses hukum dibawa ke ranah sosial dan opini publik lebih dipercaya daripada putusan pengadilan, memperparah terjadinya contempt of court;
4. Lemahnya Perlindungan bagi Hakim dan Aparat Peradilan;
5. Tidak Efektifnya Mekanisme Penegakan dan Eksekusi Putusan. Dalam praktik, banyak pejabat atau pihak yang tidak mematuhi putusan pengadilan, terutama di bidang peradilan tata usaha negara;
6. Tantangan dalam Penegakan di Era Digital. Penyebaran penghinaan terhadap pengadilan melalui media sosial menjadi tantangan baru;
7. Kekhawatiran terhadap Penyalahgunaan Kewenangan (contempt of court vs contempt of power).
Dalam akhir pemaparannya, Prim Haryadi menjabarkan, meskipun sejauh ini telah ada beberapa ketentuan di dalam KUHP yang mengatur tindak pidana yang berhubungan erat dengan contempt of court, Undang-Undang tentang Contempt of Court adalah amanat Undang-Undang 14 Tahun 1985.
Tidak adanya Undang-Undang tentang Contempt of Court membuat tindak pidana yang terkait dengan contempt of court di dalam KUHP tersebut dianggap sebagai tindak pidana biasa dan penegakannya tidak meninggalkan kesan sebagai upaya untuk menjaga martabat lembaga peradilan.
Mengingat, pelaku contempt of court memiliki latar belakang beragam, baik dari kalangan sipil, militer, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, kelompok masa dan lain-lain.
“Perlunya kesadaran dari aparat penegak hukum, bahwa contempt of court umumnya terjadi karena ketidakpuasan pelaku terhadap proses persidangan, terlebih dengan adanya beberapa kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan hakim. Oleh karena itu, tuntutan adanya Undang-Undang tentang contempt of court harus dibarengi dengan penguatan integritas hakim,” pungkas salah satu Hakim Agung Kamar Pidana MA tersebut.
Komisi Yudisial: Perlunya Pembentukan SDM Pengamanan Khusus Pengadilan
Ketua Komisi Yudisial (KY) Indonesia, Prof. Amzulian Rifai, S.H., L.LM., Ph.D. dalam pemaparannya menguraikan beberapa hal konkret yang telah dilakukan oleh KY, yaitu:
1. Advokasi Represif/Penanganan PMKH
Upaya KY berkoordinasi dengan kepolisian setempat dalam menciptakan rasa aman pada diri hakim di persidanganyang menarik perhatian publik, serta menciptakan suasana tertib agar persidangan berjalan dengan baik dan lancar.
2. Koordinasi Pengamanan Persidangan
Menyelenggarakan diskusi sinergisitas KY dan APH, serta melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan edukasi terhadap calon pengemban profesi hukum (mahasiswa) mengenai kehormatan dan keluhuran martabat hakim dan menghindari PMKH.
3. Advokasi Preventif/Upaya Pencegahan
Menyelenggarakan diskusi sinergisitas KY dan APH, serta melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan edukasi terhadap calon pengemban profesi hukum (mahasiswa) mengenai kehormatan dan keluhuran martabat hakim dan menghindari PMKH
Pada akhir pemaparannya, Amzulian Rifai, mendorong MA untuk terus meningkatkan sistem keamanan melalui penegakan tata tertib dan melengkapi sarana dan prasarana sesuai yang digariskan dalam Perma 6 Tahun 2020.
Selain itu, menurutnya, pembentukan SDM pengamanan khusus pengadilan juga perlu dilakukan. KY saat ini sedang melakukan kajian dan terus akan mendorong pembentukan satuan pengamanan khusus pengadilan. Ia menambahkan, salah satu langkah KY selanjutnya untuk bekerja sama dengan mitra pembangunan dalam melakukan kajian tentang konsep penganggaran keamanan pengadilan.
Kemudian seminar internasional dilanjutkan dengan sesi tanggapan dari dua penanggap, yaitu Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. dan Dr. Luhut Pangaribuan, S.H., LL.M. dengan diikuti sesi diskusi dan tanya jawab kepada para narasumber.
Seminar yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-72 IKAHI 2025 tersebut, diakhiri dengan penyerahan cinderamata kepada para nasumber, penanggap dan moderator serta pemberian sertifikat kepada perwakilan peserta oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI), Dr. Yasardin, S.H., M.Hum.