Program Mentorship BPHPI: Upaya Hadapi Glass Ceiling bagi Hakim Perempuan

Pembahasan utama dalam webinar ini berkaitan dengan Ethic of Care yang menekankan pentingnya empati, hubungan, dan kepedulian dalam mengambil keputusan hukum.
Pembahasan utama dalam webinar ini berkaitan dengan Ethic of Care yang menekankan pentingnya empati, hubungan dan kepedulian dalam mengambil keputusan hukum. Foto humas MA.
Pembahasan utama dalam webinar ini berkaitan dengan Ethic of Care yang menekankan pentingnya empati, hubungan dan kepedulian dalam mengambil keputusan hukum. Foto humas MA.

MARINews, Jakarta-10 Maret 2025 diperingati sebagai Hari Hakim Perempuan Internasional. Bertepatan dengan momen tersebut, Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) sekaligus Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI), Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., menjadi salah satu narasumber webinar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).

Dalam kesempatan itu, Hakim Agung Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., menjabarkan salah satu program BPHPI yaitu, program mentorship bagi hakim perempuan. Webinar itu sendiri bertajuk Peringatan Hari Internasional Hakim Perempuan: Ethic of Care dan Hakim Perempuan. 

Pembahasan utama dalam webinar ini berkaitan dengan Ethic of Care yang menekankan pentingnya empati, hubungan, dan kepedulian dalam mengambil keputusan hukum. Sebagaimana diketahui, sistem hukum seringkali terlihat bersifat rigid dan maskulin. 
Hakim Perempuan dengan pengalaman dan perspektifnya akan lebih mampu melihat hukum tidak hanya sebagai aturan yang kaku, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai keadilan yang substantif bagi mereka yang membutuhkannya.

Narasumber lainnya dalam webinar ini yaitu, anggota Komisi Yudisial, Sukma Violetta, S.H., LL.M, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah, Direktur LeIP,  M. Tanziel Aziezi, S.H., dan pengajar STHI Jentera, Violla Reininda, S.H., LL.M. Webinar yang dihadiri oleh lebih dari 130 peserta ini, dipandu oleh Fajri Nursyamsi selaku salah satu pengajar STH Indonesia Jentera.

Fajri mengutarakan, jumlah hakim perempuan di Indonesia masih terbilang sangat sedikit yaitu, 29% dari jumlah keseluruhan hakim yang ada atau 2.211 dari 7.729 hakim, adalah perempuan. Ia berpendapat, kondisi ini perlu menjadi perhatian karena pada dasarnya Hakim Perempuan membawa perspektif dan pengalaman yang berbeda sehingga pada dasarnya memperkuat sistem peradilan.

“Hal yang serupa terjadi juga di Mahkamah Konstitusi (MK) selama 20 tahun lebih berdiri, sejak 2003, Hakim Perempuan di MK hanya berjumlah satu orang untuk setiap periodenya secara bergantian. Jumlah ini juga menjadi perhatian saat ini.” beber Fajri.

Ketua STHI Dr. Aria Suyudi, S.H., LL.M., dalam sambutannya menyebut, keterwakilan perempuan dalam dunia peradilan masih menghadapi tantangan yang signifikan. Praktik di benua Eropa menunjukkan, proporsi hakim perempuan di negara maju cenderung meningkat. Di Eropa, pada 2017 jumlah Hakim Perempuan adalah sebanyak 40%. Jumlah ini naik 35% dari sekitar 10 tahun sebelumnya yaitu pada 2008. 

Aria menyebutkan, pendapat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai keterwakilan perempuan dalam lembaga peradilan merupakan kunci untuk memastikan bahwa pengadilan mewakili warga negaranya, menanggapi berbagai masalah mereka dan menjatuhkan putusan yang tepat. Oleh karena itu, kehadiran Hakim Perempuan akan meningkatkan legitimasi peradilan dengan mengirimkan sinyal kuat bahwa pengadilan terbuka dan dapat diakses oleh mereka yang mencari keadilan.

Lebih lanjut, Aria menjelaskan, data menunjukkan jumlah perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan dalam institusi peradilan jauh lebih sedikit jumlahnya. Hal ini menunjukkan Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan struktural dan kultural yang membatasi akses perempuan dalam mencapai posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia.

“Dengan adanya diskusi ini, diharapkan dapat menggambarkan pemahaman tentang diskriminasi dalam hal representasi di pengadilan terhadap perempuan, serta memberikan perspektif tentang ethic of care dalam konsep filsafat perempuan dalam rangka memberikan secercah kontribusi di tengah proses penguatan kontribusi Hakim Perempuan di Indonesia.” tutup Aria di akhir sambutannya.

Kondisi Hakim Perempuan Saat Ini

Hakim Agung Kamar Perdata sekaligus Ketua Umum BPHPI, Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., memaparkan kondisi hakim perempuan saat ini dengan mengaitkan sisi kelebihan dari Hakim Perempuan.

Pembahasan mengenai hambatan struktural maupun kultural bagi hakim perempuan dan bagaimana hakim perempuan menghadapi fenomena glass ceiling, turut menjadi topik yang diangkat oleh Nani Indrawati dalam webinar tersebut.

Nani mengaku, minat untuk menjadi hakim bagi perempuan yang lulus dari fakultas hukum memang tidak terlalu besar. Hal tersebut diketahuinya saat Nani diundang ke Universitas Gajah Mada (UGM) untuk memberikan kuliah terbuka bagi para calon wisudawan/wisdawati. 

Saat itu, Nani menanyakan kepada calon wisudawati apakah berminat menjadi hakim. Sebagian para calon wisudawati mengatakan tidak diperbolehkan oleh orang tuanya untuk mendaftar sebagai calon hakim karena bagi yang belum menikah, akan berjauhan dengan keluarga atau orang tuanya. Sedangkan yang sudah menikah akan berjauhan dengan suami atau anak-anaknya. 

“Tantangan tersebut menjadi hal yang menakutkan untuk para calon hakim. Namun, kabar gembiranya, calon hakim terbaru, yang baru menyelesaikan pendidikan calon hakim ini, jumlah hakim perempuan hampir sebesar 50%. Jadi, fifty fifty-lah antara jumlah laki-laki dan perempuan. Ada kenaikan Hakim Perempuan dari sisi jumlah,” pungkas Nani.

Program Mentorship dalam Menghadapi Tantangan Eksternal dan Internal bagi Hakim Perempuan

Nani mengungkapkan, apabila sudah memilih untuk menjadi hakim, baik itu perempuan maupun laki-laki, maka harus dipastikan siap menghadapi semua permasalahan termasuk stres yang akan dihadapi. 

Adapun tantangannya yaitu, seorang hakim harus berpindah tempat dan lokasi tersebut tidak hanya provinsi, kota tetapi juga pulau. Dalam menjalankan tugas sebagai hakim, akan menghadapi orang yang berbeda. Hal ini disebabkan dalam setiap dua atau tiga tahun, hakim akan berpindah kantor dan harus hidup di lingkungan adat dan budaya yang berbeda.

“Demikian pula dalam mengadili perkara-perkara yang tidak selalu semuanya berjalan mulus, misalnya ada perkara yang penuh dengan demo. Kunci yang paling penting untuk mengatasi tantangan tersebut adalah adanya komitmen dengan keluarga, suami/istri termasuk anak-anak.” jelas Nani.

Nani menuturkan, hambatan internal bagi hakim perempuan juga tidak kalah berat jika tidak ada komitmen yang baik dengan suami/istri dan anak-anak. Hambatan eksternal dan internal yang telah ia sebutkan tersebut, juga dihadapi hakim-hakim se-Asia. Untuk menghadapi hambatan tersebut, ke depannya organisasi BPHPI yang Nani pimpin memiliki program mentorship yaitu program dari hakim perempuan dan untuk hakim perempuan. 

Saat ini BPHPI sedang dalam tahap menyusun buku pedoman bagi mentor dan mentee. Selain itu, BPHI juga sedang mempersiapkan agar bisa memberikan short course untuk calon mentor dan mentee. Nani menambahkan, akan ada sekitar 15 calon mentor yang mana masing-masing mentor akan membimbing dua mentee.

“Sasaran program mentorship ini adalah untuk “merawat” para hakim perempuan, jangan sampai para hakim perempuan yang memiliki integritas yang baik dan potensial tersebut terlepas lalu resign karena merasa diabaikan oleh institusi.” ungkap Nani yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya tersebut.

Dalam program mentorship ini, nantinya para mentee akan dibimbing selama satu tahun oleh mentor yang memiliki masa kerja yang lebih senior, yaitu sekitar 15 tahun dan sudah pernah menduduki jabatan struktural. Sedangkan yang menjadi mentee adalah para hakim perempuan yang masih sangat rentan, yaitu para hakim yang masih sangat muda yang memiliki masa kerja antara empat sampai lima tahun, memiliki integritas yang baik dan potensial.

Fenomena Glass Ceiling dan Kelebihan Hakim Perempuan

Glass ceiling merupakan metafora yang menggambarkan hambatan tak terlihat yang menghalangi perempuan untuk mencapai posisi kepemimpinan tertinggi dalam organisasi. Berbicara mengenai fenomena tersebut,

Nani memberikan sejumlah tip yang dapat dilakukan oleh para hakim perempuan untuk menghadapi glass ceiling, yaitu:

1. Menunjukkan prestasi dan integritas, sebab kondisi saat ini hakim perempuan harus dapat membuktikan 2x lebih keras daripada hakim laki-laki untuk dapat diakui kualitasnya. 

2. Membangun network dengan hakim senior melalui program mentorship, termasuk dengan universitas terdekat sehingga memiliki network dengan para akademisi.

3. Menjaga keharmonisan rumah tangga, yang tentunya membutuhkan effort yang lebih besar karena hidup terpisah dari suami dan anak-anak.

Nani menilai jika hakim perempuan memiliki beberapa kelebihan seperti lebih teliti, detail dan peduli. Tidak hanya peduli kepada anak buahnya, tetapi juga kepada kantornya. Hakim perempuan juga biasanya selalu memperlakukan kantor seperti rumahnya sendiri yang harus bersih, harus rapi dan juga memberikan suatu pelayanan yang terbaik.

BPHPI juga perlu mendorong pimpinan di MA untuk membuat kebijakan yang mempromosikan inklusivitas gender dan juga mendorong pengembangan profesional perempuan serta menghilangkan hambatan sistemik untuk memajukan para hakim perempuan.

Penerapan Affirmative Actions bagi Hakim Perempuan

Webinar tersebut dilanjutkan dengan pemaparan materi kedua mengenai Rekrutmen dan Promosi Sensitif Gender dan Afirmasi kepada Hakim Perempuan yang dibawakan oleh anggota Komisioner Komisi Yudisial, Sukma Violetta, S.H., LL.M,.

Ia menyebut, jumlah pendaftar Hakim Agung perempuan yang lolos seleksi administratif masih sangat minim yaitu sebesar 18,3% atau sejumlah 28 orang dari 153 calon. Hal tersebut senada sebagaimana dalam Laporan Tahunan MA 2024 yang menyebutkan bahwa jumlah Hakim Agung perempuan adalah sebanyak delapan orang dari total jumlah 45 Hakim Agung atau sebesar 17,7%.

Sukma menyarankan untuk rekrutmen dan promosi/mutasi harus berdasarkan kompetensi dan integritas. Selain itu, affirmative actions juga harus diterapkan seperti sistem kuota pada rekrutmen dan promosi hakim perempuan termasuk preferensi hakim perempuan.

Ia menambahkan, affirmative actions tersebut juga diperlukan untuk memperjelas ada kebijakan yang menunjukkan bahwa ada keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga bagi hakim perempuan. Termasuk di dalamnya ada pemberlakuan sistem promosi/mutasi regional.

Menyambung pemaparan materi dari Sukma tersebut, ketiga narasumber lainnya melanjutkan pemaparan materinya masing-masing, lalu webinar ditutup dengan sesi tanya jawab yang diajukan oleh para peserta kepada para narasumber.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews