Menemukan Titik Temu: Adopsi dalam Adat Minangkabau dan Perspektif Hukum Islam

Islam memiliki hikmah di balik larangan adopsi mutlak, di antaranya yaitu, menjaga keutuhan keluarga, mencegah kekeliruan dalam hubungan mahram, menghindari konflik waris.
Ilustrasi adopsi anak. Foto pixabay.com
Ilustrasi adopsi anak. Foto pixabay.com

Keinginan memiliki anak merupakan hal lumrah bagi manusia, dipandang sebagai sumber kebahagiaan dan penyempurna pernikahan. Namun, ketika pasangan tak kunjung dikaruniai
anak, adopsi menjadi salah satu alternatif.

Di Indonesia, hukum adopsi belum seragam, seringkali mengikuti hukum adat setempat, seperti di Minangkabau yang kental dengan adat dan Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pandangan hukum Islam terhadap adopsi dalam adat Minangkabau.

Adopsi, yang berasal dari bahasa Belanda dan Inggris, serta dikenal sebagai 'Tabanni' dalam bahasa Arab, adalah proses pengangkatan anak menjadi anak kandung. Di Indonesia, istilah 'anak angkat' merujuk pada anak yang haknya telah dialihkan melalui keputusan pengadilan, sesuai dengan peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku.

Adopsi, yang telah lama dikenal di Indonesia, bertujuan menciptakan hubungan keluarga buatan. Meski demikian, beberapa orang tua angkat mungkin menyembunyikan fakta adopsi demi citra keluarga. Tujuan utama adopsi seharusnya adalah kebahagiaan anak, bukan sekadar mengisi kekosongan keluarga. Alasan adopsi bervariasi di berbagai masyarakat adat, mulai dari melanjutkan garis keturunan hingga memperoleh status kewarganegaraan.

Motivasi adopsi telah berkembang seiring waktu. Jika dulu adopsi seringkali didorong oleh ketidakmampuan memiliki anak kandung atau rasa kasihan, kini motivasi adopsi semakin beragam, mencakup alasan kemanusiaan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Keberagaman adat di Indonesia juga turut memperkaya praktik adopsi, menciptakan lanskap hukum adat yang kompleks.

Di Minangkabau, adopsi lebih tentang kasih sayang daripada perubahan garis keturunan. Anak asuh dianggap amanah, dan ikatan darah dengan orang tua kandung tetap terjaga. Adat Minangkabau tidak menghalangi adopsi melalui hukum negara, meskipun praktiknya bervariasi.

Dalam adat Minangkabau, "kemenakan bertali budi" adalah pengangkatan seseorang menjadi anggota keluarga berdasarkan budi pekerti, bukan hubungan darah. "Kemenakan bertali budi" memiliki hak dan kewajiban seperti anggota keluarga lain, namun tidak boleh menikah dengan anggota keluarga tersebut.

Penelitian Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut mengungkap beragam praktik "pengangkatan anak" di Minangkabau: "adopsi penuh" untuk anak dari luar, "adopsi keluarga" yang memperluas ikatan keluarga, "pengangkatan pembantu" yang mempekerjakan anak, dan "pengangkatan karena kasihan" yang memberi kehidupan lebih baik. Penelitian ini menunjukkan kompleksitas hubungan keluarga di Minangkabau.

Tradisi adopsi telah lama ada di peradaban kuno, di mana anak angkat dianggap sepenuhnya anak kandung. Kisah Zaid bin Haritsah, yang diangkat anak oleh Nabi Muhammad SAW, mencerminkan praktik ini. Namun, Islam kemudian mengubah tradisi ini.

Melalui Surat Al-Ahzab ayat 4-5, Islam melarang adopsi mutlak, di mana anak angkat disamakan dengan anak kandung, termasuk dalam hal nasab dan waris. Islam membolehkan pengangkatan anak, tetapi melarang praktik adopsi yang mengandung kebohongan, seperti mengubah nasab anak.

Berbeda dengan praktik adopsi di masa lalu, Islam membatasi adopsi dengan beberapa syarat. Hubungan nasab anak dengan orang tua kandung tidak berubah, hak waris tetap pada keluarga kandung, penggunaan nama orang tua angkat dibatasi, dan orang tua angkat tidak menjadi wali. Hal ini untuk menjaga kejelasan identitas anak dan menghindari pencampuradukan nasab.

Islam memiliki hikmah di balik larangan adopsi mutlak, yaitu menjaga keutuhan keluarga, mencegah kekeliruan dalam hubungan mahram, menghindari konflik waris, menegakkan keadilan nasab, dan mencegah potensi masalah agama dalam keluarga adopsi.

Penelitian Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut mengungkapkan beragam praktik pengangkatan anak di Minangkabau. Selama praktik tersebut tidak melanggar batasan yang
ditetapkan Islam, maka tidak ada masalah. Bahkan, pengangkatan anak yang dilandasi motivasi ibadah kepada Allah SWT sangat dianjurkan.

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews