Pasal 56 KUHAP menunjukkan, penasihat hukum merupakan kewajiban bagi pejabat di setiap tingkat pemeriksaan. Namun, dari sisi tersangka atau terdakwa, pendampingan penasihat hukum adalah sebuah hak yang boleh saja diabaikan.
Pada sistem common law, terminologi untuk menyebut seseorang yang mewakili diri sendiri (self-represented) disebut sebagai pro se, akronim dari propria persona; diri sendiri (Bergman & Berman, The Criminal Law Handbook: Know Your Rights, Survive the System 5th Edition, 2003:9/11).
Di Amerika Serikat, praktik pro se pertama kali mengemuka pada 1975 dalam perkara Faretta v. California. Kala itu, Anthony Faretta didakwa karena melakukan pencurian di Los Angeles County, California. Sejak awal persidangan, ia mengajukan mosi menolak public defender dan berkehendak mewakili dirinya sendiri.
Menurut Faretta, public defender di California memiliki “beban perkara yang tinggi”, sehingga ia ragu kasusnya akan ditangani serius. Lagi pula, Faretta memiliki pengalaman mewakili dirinya sendiri di perkara lain.
Mulanya, Faretta diperbolehkan bersidang tanpa public defender. Namun, setelah mengujinya dengan berbagai pernyataan tentang hearsay rule dan juri, hakim menilai Faretta tidak memiliki pengetahuan dan kapabilitas yang memadai untuk melindungi kepentingannya sendiri.
Di samping itu, hakim berpendapat bahwa amandemen konstitusi Amerika Serikat tidak mencantumkan mengenai hak penolakan pengacara. Meskipun Faretta tetap keberatan, Pengadilan California melanjutkan persidangan dengan kehadiran public defender, hingga akhirnya Faretta dinyatakan bersalah dan dijatuhi penjara.
Faretta kemudian mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Hakim Stewart (dengan dukungan Douglas, Brennan, White, Marshall, Powell) berpendapat, pro se merupakan bagian dari kebebasan terdakwa. Memaksa seseorang untuk menerima pengacara akan melanggar prinsip dasar bahwa ia harus memiliki kendali atas nasibnya sendiri, karena “dialah yang paling terdampak oleh hasil persidangan”.
Menolak hak pro se berarti “memenjarakan seseorang dalam hak istimewanya, dan menyebutnya Konstitusi”. Hakim Burger (diikuti oleh Blackmun dan Rehnquist) mengajukan dissenting opinion. Mereka menekankan bahwa Amandemen Keenam secara eksplisit hanya menjamin “bantuan penasihat hukum”, bukan penolakan.
Selain itu, akan timbul “ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap sistem” yang timbul dari pro se. Sebagai orang awam, mereka pun belum tentu memiliki pengetahuan hukum yang memadai untuk membela diri.
Dalam penutupnya, Blackmun mengutip pepatah kuno: “One who is his own lawyer has a fool for a client.” Artinya, orang yang menjadi pengacara bagi dirinya sendiri, (berarti) memiliki klien yang bodoh.
Dengan perbandingan suara 6-3, permohonan Faretta akhirnya dikabulkan. Perkaranya kemudian diadili ulang tanpa kehadiran public defender dan ia tetap dinyatakan bersalah.
Di 1986, gangster Jackie DiNorscio juga menggunakan hak pro se ketika menghadapi tuduhan kepemilikan narkoba. Namun, berbeda nasib dengan Faretta, juri justru membebaskan DiNorscio setelah menjalani proses persidangan yang memakan waktu hampir dua tahun.
Pro Se di Indonesia
Meski ketentuan mengenai pro se sama sekali tidak tercantum pada KUHAP, akan tetapi praktik tersebut dilegalkan oleh Mahkamah Agung. Syaratnya, penolakan pendampingan penasihat hukum harus dinyatakan terdakwa di depan persidangan (Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, 2007:233) dan dicatat pada berita acara sidang (Himpunan Tanya Jawab Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan Pengadilan Tingkat Banding di Daerah [Rakerda] Tahun 1987, 1993:477).
Kaidah hukum serupa dapat ditemukan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 510 K/Pid/1988 yang menyatakan kata “wajib” di Pasal 56 ayat (1) KUHAP berlaku untuk “pejabat yang bersangkutan”. Bagi terdakwa, ia memiliki kebebasan menentukan sikap apakah “mau” atau “tidak mau” didampingi seorang penasihat hukum, meskipun atas penunjukan hakim.
Pengecualian Pro Se dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Menurut Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat kewajiban agar anak wajib diberi bantuan hukum dan didampingi pada setiap tingkat pemeriksaan. Kegagalan dalam mematuhi ketentuan ini akan mengakibatkan pelanggaran prosedur hukum acara.
Sebagai rujukan, putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN.Mll menyatakan, penuntutan tidak dapat diterima karena selama proses penyidikan, anak tidak didampingi penasihat hukum.
Dalam tanggapannya, penuntut umum menyampaikan bahwa penyidik telah menginformasikan tentang hak untuk didampingi penasihat hukum, akan tetapi ditolak oleh anak. Meskipun demikian, hakim menilai keberadaan penasihat hukum sangat penting demi memastikan prinsip-prinsip perlindungan yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child), sebagaimana telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pengadilan Negeri Malili mengabulkan keberatan penasihat hukum anak dan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Hal ini dapat dipahami karena seseorang yang belum cukup usia dianggap belum cakap untuk mengambil keputusan hukum. Konsekuensinya, penolakan pendampingan penasihat hukum yang dibuat Anak pada proses penyidikan menjadi cacat dan invalid.