Agenda pembuktian menjadi salah satu persidangan pokok oleh karena pokok permasalahan semakin menjadi terang dengan adanya pemaparan dan menguak fakta dari alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara di persidangan. Baik dalam ranah perdata maupun ranah pidana, pembuktian yang dilakukan oleh para pihak pasti meliputi bukti keterangan saksi.
Mengajukan pertanyaan kepada saksi menjadi keahlian yang khusus oleh karena fokus perolehan keterangan dapat menentukan fakta yang terkuak serta yang dapat dijadikan sebagai dalil baik dalil tuduhan, dalil bantahan, hingga dalil untuk pencabutan keterangan itu sendiri. Hakim sendiri harus mengajukan pertanyaan yang pada akhirnya menggambarkan rincian atau detail dari peristiwa. Pertanyaan tersebut juga harus imparsial atau jangan sampai menunjukkan keberpihakan terlepas dari sudah terbentuknya pandangan subjektif hakim (Ozkok Sarac:2025).
Mengingat hukum pidana Indonesia yang masih bersifat retributif atau sekadar menimbulkan efek jera pada terdakwa, hakim dalam praktik persidangan cenderung menggunakan pendekatan yang menyudutkan saksi pelaku atau saksi mahkota bahkan terdakwa. Dengan paradigma restorative justice serta asas praduga tidak bersalah, maka hakim harus mulai menggunakan pendekatan yang ramah dan memperlakukan saksi pelaku atau saksi mahkota bahkan terdakwa juga dengan manusiawi (Elwin Hofman:2022).
Pengajuan pertanyaan kepada saksi oleh hakim memang sering diidentikkan dengan interogasi padahal interogasi sangat bernuansa penyidik yang berangkat dari pola pikir bahwa terlapor atau tersangka pasti bersalah. Akan tetapi, ada beberapa teknik interogasi yang dapat diambil dan disesuaikan dengan prinsip imparsialitas hakim.
Cara mempertanyakan kepada saksi menurut Gudjonsson (2003:18), adalah:
1. Berikan kesempatan pada saksi untuk menyampaikan jalinan peristiwa yang dialami sesuai dengan pokok perkara yang sedang diperiksa pengadilan;
2. Ajukan pertanyaan yang singkat. Ringkas pertanyaan dan jangan ajukan pertanyaan dalam bentuk menekankan suatu pesan.
3. Ajukan pertanyaan untuk mendapatkan jawaban keterangan;
4. Hindari pertanyaan yang menyudutkan, misalnya “Terdakwa berada di lokasi pasar tempat kejadian kemarin malam, benar?”, “Bapak yakin atas keterangan kepemilikan tanah tersebut?”
5. Hindari pertanyaan dengan kalimat kompleks untuk mendapatkan jawaban yang spesifik merujuk pada pertanyaan kalimat pokok;
6. Ajukan pertanyaan yang mendorong penjelasan penggambaran lengkap dari saksi;
7. Dalam ranah perdata khususnya saksi berkaitan dengan riwayat kepemilikan tanah, dapat digunakan juga teknis bertanya secara runtut atau kronologis terhadap saksi sejarah, misalnya “Sejak kapan Bapak/Ibu mengetahui peristiwa tersebut?”, “Apakah Bapak/Ibu menyaksikan langsung peristiwa tersebut?”, “Dapatkah Bapak/Ibu menjelaskan bukti surat sejarah yang diajukan oleh para pihak?”
Tidak tertutup kemungkinan juga bagi para hakim yang berada di daerah, di mana penggunaan Bahasa Indonesia sendiri masih menjadi hal yang jarang, misalnya di Sambas yang masih lebih sering menggunakan Kreole Melayu hingga Manado yang lebih sering menggunakan Bahasa Manado.
Untuk itu, hakim sebaiknya meluangkan waktu untuk mempelajari sedikit banyak kosakata hingga bahasa daerah agar saksi dapat menerangkan dengan seleluasanya dan sejujurnya karena penggunaan bahasa daerah merupakan perwujudan penghargaan terhadap masyarakat setempat.
Dengan menguasai sedikit dari bahasa daerah tersebut, hakim dapat menggunakan bahasa daerah setempat dalam mengajukan pertanyaan, lalu pertegas pertanyaan dan jawaban yang diperoleh dari pemeriksaan dalam Bahasa Indonesia agar dapat dicatat dalam berita acara persidangan (sebagaimana amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
Optimalkan penggalian fakta dari saksi untuk memudahkan hakim dalam penyusunan putusan