Keberadaan tanah sangatlah penting bagi kehidupan manusia, semua aktifitas manusia tidak dapat dipisahkan dengan tanah. Untuk keperluan bercocok tanam, mendirikan pemukiman dan melangsungkan hidupnya.
Bahkan dalam doktrin agama disebutkan, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Hal tersebut menjadikan tanah memiliki peran penting. Seiring dengan semakin banyaknya manusia maka kebutuhan akan tanah semakin pesat, peran tanah menjadi semakin penting, misalnya untuk kawasan perumahan dan kawasan industri.
Dengan semakin padatnya jumlah penduduk dan banyaknya kawasan perumahan, di beberapa kawasan perumahan menjadikan akses jalan umum bagi masyarakat sekitar berkurang. Di beberapa kawasan padat pemukiman, mobilitas masyarakat yang dahulunya dekat untuk menjangkau daerah sekitar menjadi lebih jauh ketika kawasan tersebut berdiri perumahan elite, kompleks pabrik maupun daerah industri lainnya.
Sehingga, semakin membuat akses jalan umum masyarakat terganggu. Oleh karenanya, fungsi sosial ha katas tanah dalam kondisi demikian diperlukan keberadaannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), mengatur bahwa pemegang hak atas tanah bersangkutan diberikan wewenang untuk menggunakan tanah tersebut sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Selanjutnya pada Pasal 6 UUPA disebutkan, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Adapun makna fungsi sosial tersebut dapat ditemukan pada bagian penjelasan umum Nomor II poin 4, bahwa hak atas tanah apapun pada seseorang tidak dibenarkan hanya digunakan untuk kepentingan pribadinya. Melainkan, disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Hak Pengabdian Pekarangan
Hak pengabdian pekarangan awalnya diatur dalam Bab VI perihal Pengabdian Pekarangan KUHPerdata pada Pasal 674 sampai dengan Pasal 710. Pada Pasal 674 KUHPerdata pengabdian pekarangan diartikan sebagai suatu beban yang diletakkan atas sebidang pekarangan seseorang untuk digunakan dan demi manfaat pekarangan milik orang lain. Baik mengenai bebannya maupun mengenai manfaatnya, pengabdian itu boleh dihubungkan dengan pribadi seseorang.
Sementara Prof Subekti,S.H, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata memberikan definisi servituut atau erfdienstbaarheid, sebagai suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya, pemilik pekarangan A harus mengijinkan orang-orang yang tinggal di pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A, atau air yang dibuar dari pekarangan itu dialirkan melalui pekarangan A.
Oleh karena erfdienstbaarheid itu suatu hak kebendaan, ia mengikuti pekarangan yang memikul beban itu apabila pekarangan tersebut dijual ke orang lain. Namun, seiring dengan berlakunya UUPA, maka keberadaan hak servituut dalam KUHPerdata tidak berlaku lagi.
Dicabutnya ketentuan terkait hak servituut tersebut, merupakan upaya unifikasi hukum yang mana sebelumnya terjadi dualisme hukum yang bersumber dari hukum barat dan hukum adat.
Implementasi Fungsi Sosial Hak Akses Jalan Bagi Masyarakat
Meskipun hak servituut telah dicabut, ruhnya masih diakui dengan berlakunya UUPA meskipun dengan istilah lain, yakni fungsi sosial. Hal itu dapat ditemukan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Makna fungsi sosial tersebut, dapat ditemukan pada bagian penjelasan umum Nomor II poin 4, bahwa hak atas tanah apapun pada seseorang tidak dibenarkan hanya digunakan untuk kepentingan pribadinya, melainkan disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Dari adanya fungsi sosial tersebut, dapat diketahui bahwa hak atas tanah tidaklah mutlak. Namun, harus memperhatikan fungsi sosial, diantaranya terkait dengan pemberian hak akses jalan bagi orang lain. Dalam peraturan lain yang lebih konkrit, adanya hak pengabdian pekarangan dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996).
Namun demikian, setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021), PP 40/1996 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Adapun dalam PP 18/2021 memuat beberapa pasal terkait dengan hak pengabdian pekarangan. Di antaranya Pasal 27 huruf e terkait kewajiban pemegang hak guna usaha untuk memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan bagi bidang tanah yang terkurung. Pasal 28 terkait pemegang hak guna usaha dilarang untuk menutup bidang tanah dari akses umum/publik dan jalan air. Pasal 43 pemegang hak guna bangunan dilarang untuk menutup bidang tanah dari akses umum/publik dan jalan air, dan Pasal 58 terkait pemegang hak pakai dilarang untuk menutup bidang tanah dari akses umum/publik dan jalan air.
Dengan adanya pengaturan terkait fungsi sosial hak atas tanah, maka hak akses jalan umum, akses jalan air dan lalu lintas umum lainnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk maupun kawasan industri, kompleks pabrik dan lainnya dapat terpenuhi.
Meskipun pengaturan mengenai hak servituut telah dicabut dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Namun, ruhnya masih dapat ditemukan pada Pasal 6 UUPA, yakni terkait hak atas tanah yang memiliki fungsi sosial. Selain itu, ditemukan pula pada Peraturan Pemerintah (PP) No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang pada beberapa pasalnya menyebutkan terkait dengan pemberian hak akses bidang tanah berupa lalu lintas umum, akses publik dan atau jalan air oleh pemilik hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai kepada masyarakat.