Sejarah Pengadilan HAM: Anak Kandung Reformasi 1998

Yurisdiksi Pengadilan HAM di Indonesia untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara kejahatan HAM berat, baik yang berada dalam teritorial Indonesia ataupun di luar Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia.
Ilustrasi-Pengadilan HAM
Ilustrasi-Pengadilan HAM

Peristiwa Reformasi 1998 banyak mengubah tatanan hukum dan kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satunya terlihat dari fokus utama pembangunan hukum nasional yaitu menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).

Di mana, ada amandemen konstitusi (UUD NRI 1945), khususnya pada amandemen ke- 2 pada 18 Agustus 2000 yang memasukkan, pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas HAM seperti hak untuk hidup, hak untuk membentuk keluarga dan keturunan, hak atas pendidikan, jaminan atas perlakuan yang sama dihadapan hukum serta berbagai jaminan pelaksanaan HAM yang diatur dari Pasal 28A sampai 28J UUD NRI 1945. 

Secara spesifik, pemerintah mengakui eksistensi HAM dan memberikan perlindungan atasnya dengan diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan dua kovenan internasional utama bidang HAM yang banyak diadopsi berbagai negara hukum yang demokratis. Adapun kovenan internasional bidang HAM yang disahkan tersebut yakni, International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Hak Sipil dan Politik) melalui Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui melalui Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2005. 

Semangat reformasi atas pembaharuan hukum, juga membentuk instrumen peradilan untuk mengadili dan memutus perkara kejahatan terhadap HAM melalui diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Sejarah Pengadilan HAM Dunia    

Kemajuan hukum yang membentuk Pengadilan HAM di Indonesia, tidak terlepas dari mencontoh sejarah pembentukan International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) berdasarkan Statuta Roma pada 1998. International Criminal Court sebagaimana Statuta Roma, memiliki kewenangan mengadili kejahatan HAM berat seperti genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi militer.

Bahkan, sebelum dibentuknya International Criminal Court, peradaban dunia telah memiliki Mahkamah Pidana Internasional ad hoc yang mengadili kejahatan atas kemanusiaan yang didasarkan perang atau agresi militer seperti Mahkamah Militer Internasional Nuremberg yang menyeret pimpinan Nazi Jerman setelah peristiwa perang dunia II. Adapun pemimpin Nazi yang diseret ke Mahkamah Militer Internasional Nuremberg antara lain, Herman Goering, Rudolph Hess dan pimpinan Nazi lainnya. 

Jauh setelah perang dunia berakhir, Perserikatan Bangsa-Bangsa, juga membentuk Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kejahatan kemanusiaan dan perang di bekas wilayah balkan atau eks-Yugoslavia pada 1993 yang dikenal publik dengan International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia. Demikian juga terhadap pembersihan etnis (genosida) minoritas Tutsi di Rwanda, Afrika, yang mengakibatkan korban jiwa sejumlah 800.000 orang dan 250.000 wanita Tutsi mengalami kejahatan seksual. Di mana, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc pada 1994.

Kewenangan Pengadilan HAM Indonesia   

Yurisdiksi Pengadilan HAM di Indonesia untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara kejahatan HAM berat, baik yang berada dalam teritorial Indonesia ataupun di luar Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia. Hal itu, diatur pada Pasal 4 dan 5 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kejahatan HAM berat dimaksud antara lain, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, anak tidak dapat dihadapkan dan diadili oleh Pengadilan HAM sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.    

Genosida adalah perbuatan yang ditujukan untuk menghancurkan atau memusnahkan baik seluruhnya/sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama dengan cara pembunuhan anggota kelompok, menciptakan penderitaan fisik dan mental yang berat, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, perbuatan yang mencegah adanya kelahiran dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu kepada kelompok lainnya. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistemik, serta ditujukan kepada penduduk sipil dengan cara pembunuhan, pemusnahan, perbudakan dan cara-cara lainnya yang diatur undang-undang dimaksud. Adapun yurisdiksi Pengadilan HAM tersebut secara lengkap diatur Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Kejahatan HAM berat yang terjadi sebelum dibentuknya Pengadilan HAM pada 2000, yakni melalui Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usulan DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden sebagaimana Pasal 43 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Contoh pembentukan Pengadilan HAM ad hoc oleh Pemerintah Indonesia yakni, untuk mengadili peristiwa kejahatan HAM berat di Timor Timur setelah jajak pendapat atau referendum.

Hukum Acara Pengadilan HAM 

Lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan atas kejahatan HAM berat yang diadili Pengadilan HAM adalah Komnas HAM. Saat melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.

Setelah melakukan penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya kejahatan HAM berat, maka Komnas HAM menyampaikan kesimpulan kepada penyidik dan dalam waktu tujuh hari setelah penyerahan kesimpulan, yakni memberikan hasil penyelidikan kepada penyidik sesuai Pasal 18 Ayat 1-2 dan Pasal 20 Ayat 1-2 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyidik dan penuntut dalam perkara Kejahatan HAM berat dilakukan Jaksa Agung sesuai Pasal 21 Ayat 1 dan 23 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Adapun pemeriksaan perkara kejahatan HAM berat yang diadili Pengadilan HAM diputus dalam  waktu 180 hari sejak perkara dilimpahkan. Hal itu, sesuai Pasal 31 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Sedangkan untuk komposisi Majelis Hakim yang mengadili perkara kejahatan HAM berat di Pengadilan HAM yakni terdiri dari lima hakim. Terdiri dari dua hakim karier pada Pengadilan HAM dan tiga Hakim ad hoc, dan itu sesuai Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sampai saat ini, terdapat empat Pengadilan HAM yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, antara lain di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar.

Demikianlah kilas balik sejarah pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia, semoga dapat menambah khazanah pengetahuan bagi aparatur pengadilan dan pemerhati hukum nasional.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews