Mengenal Pembuangan: Hukuman Diskriminatif Era Kolonial Belanda di Indonesia

Hukuman pembuangan atau pengasingan dijatuhkan kepada para tokoh masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik dilakukan melalui fisik atau intelektualitas.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Flores NTT. Foto dokumentasi kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende, Flores NTT. Foto dokumentasi kebudayaan.kemdikbud.go.id.

Kolonialisme atau penjajahan selalu hadir dalam wajah diskriminatif, termasuk kolonialisme yang terjadi ratusan tahun di Nusantara. Kolonialisme tidak hanya membedakan lingkup kehidupan dan kedudukan sosial masyarakat antara kaum penjajah dengan rakyat jajahan atau bumiputera, perangkat hukum yang dibentuk bercita rasa diskriminasi.

Ratusan tahun penjajahan Belanda di Nusantara, juga meninggalkan jejak perangkat hukum dan penegakannya yang tidak berprinsip pada nilai-nilai kemanusiaan khususnya kepada rakyat bumiputera, di mana berbanding terbalik dengan golongan Eropa, yang terdiri dari para penjajah Belanda di dalamnya. 

Sebagai contoh, lembaga peradilan yang mengadili golongan Eropa dan rakyat bumiputera dibedakan. Bagi golongan Eropa dan kelompok yang disetarakan lainnya, sengketa hukum pada tingkat pertama diselesaikan Raad Van Justitie.

Sedangkan  rakyat bumiputera Hindia Belanda, bilamana mengalami permasalahan hukum diselesaikan melalui Landraad yang dibangun pada setiap kabupaten atau wilayah lain yang ditetapkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pembentukan dan pemisahan lembaga peradilan tersebut, diatur perangkat hukum kolonial berupa Reglement op de Rechterlijke Organisatie 1848, yang mulai berlaku pada 1 Mei 1848.

Selain pembedaan lembaga peradilan yang menyelesaikan persoalan hukum golongan Eropa dan rakyat bumiputera, pemerintah Hindia Belanda memiliki hukuman pidana yang berlaku represif, khususnya kepada rakyat bumiputera. Ketentuan tersebut berupa pembuangan atau pengasingan ke suatu daerah terpencil di luar domisili terhukum, yang berada dalam wilayah jajahan Belanda.

Hukuman pembuangan atau pengasingan dijatuhkan kepada para tokoh masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik dilakukan melalui fisik atau intelektualitas. Tidak sedikit merasakan pembuangan keluar wilayah Hindia Belanda, seperti Ceylon (saat ini Srilanka) dan Tanjung Harapan (saat ini Afrika Selatan). 

Tokoh masyarakat yang pernah merasakan pembuangan ke luar wilayah Nusantara adalah, Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari yang melawan penjajahan Belanda dan dibuang selama sembilan tahun di Ceylon. Selanjutnya ke Cape Town, Afrika Selatan sampai menghembuskan nafas terakhirnya. Sosoknya juga, dinobatkan Nelson Mandela, sebagai tokoh teladan melawan apartheid dan diberi gelar pahlawan oleh Pemerintah Afrika Selatan, pada 23 September 2005.

Selain itu, terdapat Raja Amangkurat III yang diasingkan Belanda ke Srilanka karena melawan Pangeran Puger yang berkomplot pemerintah Belanda. Sampai dengan akhir usianya pada 1734, Raja Amangkurat III berada di pengasingan.

Sedangkan untuk kelompok Eropa atau keturunannya yang bersimpati terhadap rakyat jajahan dengan metode menyuarakan lewat kanal media massa, mengirimkan surat terbuka yang menceritakan pahitnya penjajahan atau mengorganisir rakyat untuk lakukan perlawanan terhadap Belanda, dihukum dijauhkan dari aktivitas politiknya tersebut, akan tetapi terbatas pada pemulangan ke negeri asalnya, Belanda.

Tokoh Belanda yang pernah merasakan diusir dari Hindia Belanda dan dikembalikan ke negeri Kincir Angin adalah Baron Van Hoevell, seorang pendeta di Hindia Belanda yang menentang sistem tanam paksa yang diberlakukan kolonial dan Henk Sneevliet, mantan anggota parlemen Belanda yang dinilai melakukan penghasutan kepada rakyat bumiputera untuk menentang Belanda.

Tokoh pergerakan nasional dan pejuang kemerdekaan Indonesia, banyak yang merasakan pengasingan yang dilakukan Belanda, antara lain Ir. Soekarno yang dibuang ke Ende dan Bengkulu, Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang diinternir ke Boven Digul Papua dan selanjutnya ke Banda Neira Maluku, dr. Tjipto Mangoenkosoemo yang diasing ke Banda Neira, Maluku, dan berbagai tokoh lainnya. 

Pengasingan atau pembuangan yang dilakukan pemerintah Belanda, terhadap tokoh atau pejuang nasional, dilembagakan melalui exorbitante rechten (hak luar biasa) yang dimiliki Gubernur Jenderal Hinda Belanda untuk menangkap, mengusir atau membuang individu yang dinilai menggangu keamanan atau stabilitas kolonial. Hak exorbitante rechten, dapat diberlakukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanpa proses peradilan terlebih dahulu. 

Demikianlah hukuman pengasingan atau pembuangan zaman kolonial melanggar nilai kemanusiaan dan hak untuk dihadapkan pada proses hukum yang adil. Semoga menjadi pembelajaran dalam penyusunan ketentuan hukum nasional, dimana mengedepankan prinsip persamaan dihadapan hukum dan proses hukum yang menjamin hak asasi manusia.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews
Copy