Persidangan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana kerap kali menemui kendala terkait ketidak hadiran pemohon PK secara in person.
Dalam permasalahan ini, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman yang jelas dan tegas, yakni kehadiran pemohon PK adalah wajib dan tidak dapat digantikan oleh kehadiran advokat sebagai kuasa/penasihat hukumnya.
Hukum acara di satu sisi adalah hukum yang bersifat kaku/rigid. Namun di sisi lain, praktik peradilan mengharuskan juga adanya penyesuaian dengan tuntutan zaman dan perkembangan teknologi. Khususnya, dalam rangka modernisasi dan penerapan penggunaan teknologi informasi dalam sistem peradilan pidana tidak terkecuali dalam proses persidangan PK perkara pidana.
Dalam tulisan ini, penulis hendak menyampaikan pandangan pribadi penulis terkait aktualisasi penerapan ketentuan mengenai kewajiban menghadirkan pemohon PK dalam persidangan peninjauan kembali dengan memanfaatkan kemajuan dan perkembangan teknologi.
Sejarah Peninjauan Kembali
Pada 1974, pernah terjadi suatu peristiwa hukum cukup menghebohkan, yang dikenal dengan kasus Sengkon dan Karta. Kisahnya dimulai dari sepasang suami-istri bernama Sulaiman dan Siti Haya yang tewas saat dirampok di rumahnya.
Sengkon dan Karta kemudian dituduh sebagai pelaku pembunuhan dalam peristiwa perampokan tersebut. Pada 1977, Sengkon divonis bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara selama 12 tahun, sedangkan Karta juga divonis bersalah dan dihukum dengan hukuman tujuh tahun penjara.
Timbul permasalahan kemudian dengan munculnya Gunel, yang mengaku sebagai pembunuh Sulaiman dan Siti Haya. Gunel mengakui kesalahannya kepada polisi, kemudian pengakuannya ini yang memunculkan narasi peradilan sesat (rechterlijke dwaling) dan miscarriage of justice (keliru menerapkan hukum) yang dilakukan oleh negara karena mempidana orang yang tidak bersalah. Kasus Sengkon dan Karta ini banyak dijadikan contoh bagaimana hukum tidak berpihak kepada kaum yang lemah.
Kasus Sengkon dan Karta tersebut kemudian mendorong Mahkamah Agung untuk mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Kasus ini pula yang kemudian mendasari dimunculkannya Bab XVIII Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP yang mengatur tentang upaya hukum “peninjauan kembali” secara khusus.
Pengaturan dalam KUHAP tersebut, mampu membuat lembaga peninjauan kembali aktif berjalan, setelah sebelumnya tak pernah bisa dipraktikan walaupun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.
Urgensi Kehadiran Pemohon PK/Terpidana di Persidangan
Persidangan PK dalam perkara pidana pada prinsipnya berbeda dengan persidangan PK dalam perkara perdata, di antaranya adalah permohonan PK dalam perkara pidana tidak dibatasi suatu jangka waktu tertentu, dan terhadap setiap permohonan PK Ketua Pengadilan wajib menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula untuk memeriksa alasan permohonan PK dan membuat berita acara pemeriksaannya.
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan PK pidana oleh hakim yang ditunjuk ini diatur dalam SOP Permohonan Upaya Hukum PK Pidana Pada Pengadilan Negeri yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilum Tahun 2022. Di mana, setelah dilakukan penunjukan Majelis Hakim selanjutnya Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan menetapkan hari sidang, selanjutnya juru sita melakukan pemanggilan kepada para pihak, dan dilanjutkan dengan proses persidangan serta pembuatan berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat.
Dengan demikian, maka dalam memeriksa permohonan PK pidana, Majelis Hakim yang ditunjuk harus membuka persidangan yang dihadiri oleh para pihak untuk pemeriksaan alasan PK yang dimohonkan.
Dalam proses persidangan pemeriksaan PK inilah, sering terjadi kendala terkait kehadiran pemohon PK secara in person. Dalam praktik, sering kali sidang pertama pemeriksaan PK hanya dihadiri oleh advokat selaku penasihat hukum/kuasa pemohon PK. Ketidakhadiran pemohon PK di persidangan ini, dapat terjadi disebabkan beberapa alasan, antara lain adanya anggapan jaksa kalau urusan menghadirkan pemohon PK di persidangan merupakan kewajiban penasihat hukum.
Sedangkan di sisi lain, penasihat hukum kesulitan berkoordinasi dengan Lapas tempat pemohon PK menjalankan pidananya untuk mengeluarkan pemohon PK hadir ke persidangan, hingga alasan keberadaan pemohon PK tidak diketahui secara pasti oleh penasihat hukum/kuasanya.
Penulis berpendapat, kehadiran pemohon PK dalam persidangan ini sangat penting setidaknya karena dua alasan. Pertama, sebagai suatu upaya hukum luar biasa, maka pemohon PK sejatinya adalah seorang terpidana yang perkaranya sudah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap. Sudah sepatutnya putusan yang dijatuhkan dan telah berkekuatan hukum tetap tersebut dilaksanakan oleh terpidana dengan iktikad baik tanpa kecuali.
Hal ini juga sudah ditegaskan dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP, bahwa permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Pelaksanaan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap juga merupakan cerminan dari penghormatan terhadap lembaga peradilan.
Oleh karenanya, pemberian hak upaya hukum luar biasa PK kepada terpidana yang tidak beriktikad baik dalam melaksanakan putusan pengadilan, dapat dipandang sebagai tindakan yang merendahkan marwah pengadilan. Hal ini sejalan dengan sikap Mahkamah Agung yang mewajibkan kehadiran pemohon PK di persidangan secara in person, sebagaimana diatur dalam SEMA 1 Tahun 2012 yang pada pokoknya mengatur bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.
Alasan kedua, kewajiban pemeriksaan oleh Majelis Hakim terhadap permohonan PK yang dilakukan dalam persidangan yang dihadiri oleh para pihak yakni, pemohon PK dengan atau tanpa didamping kuasa hukumnya serta jaksa haruslah tunduk pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Salah satu alasan permohonan PK pidana yang sering dijumpai dalam praktik adalah, adanya keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Alasan ini kemudian diterjemahkan oleh kuasa hukum dengan mengajukan saksi-saksi di sidang pemeriksaan PK.
Dalam persidangan perkara pidana, kehadiran saksi-saksi untuk didengar keterangannya di persidangan menimbulkan hak bagi terdakwa untuk mengajukan pertanyaan maupun untuk memberikan pendapat terkait dengan isi keterangan saksi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Penulis berpendapat, ketentuan hukum acara yang berlaku dalam sidang pemeriksaan PK juga merujuk pada ketentuan hukum acara dalam KUHAP, sehingga hak yang diberikan kepada terdakwa di persidangan juga haruslah diberikan juga kepada pemohon PK dalam sidang pemeriksaan PK. Sehingga, kehadiran pemohon PK pada saat dilakukan pemeriksaan saksi-saksi di persidangan menjadi suatu keharusan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pemohon PK di persidangan.
Untuk mengatasi kendala ketidak hadiran pemohon PK/terpidana, Mahkamah Agung telah melakukan upaya mengisi kekosongan hukum tersebut dengan menerbitkan SEMA 3 Tahun 2018, yang mengatur sidang pemeriksaan PK yang terkendala keberadaan pemohon PK yang menjalani pidana di luar wilayah hukum pengadilan pengaju, yakni dengan cara pengadilan pengaju mendelegasikan dan disertai berkas asli kepada pengadilan tempat terpidana menjalani pidananya untuk menerima permohonan PK tersebut dan memeriksa alasan permohonan PK.
Berkas perkara PK beserta berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat yang dibuat oleh hakim penerima delegasi, dikirim kepada pengadilan pengaju untuk selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung.
Penulis berpendapat, pendelegasian pemeriksaan PK kepada pengadilan tempat terpidana/pemohon PK menjalani pidananya tersebut dapat menimbulkan beberapa permasalahan baru, yaitu mengenai keamanan berkas perkara yang aslinya harus bolak-balik dikirimkan oleh pengadilan pengaju ke pengadilan tempat terpidana menjalani pidananya.
Proses pengiriman berkas asli perkara kepada pengadilan tempat terpidana menjalani pidananya selain memerlukan biaya tambahan dan waktu pengiriman yang cukup lama, juga tidak lagi sesuai dengan praktik peradilan pidana modern di Indonesia yang saat ini sudah menerapkan pengiriman berkas upaya hukum secara daring/online, sehingga tidak lagi memerlukan proses pengiriman berkas fisik asli ke pengadilan tinggi maupun ke Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai upaya hukum secara daring/online ini sudah sepatutnya secara konsisten juga diberlakukan secara menyeluruh terhadap upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.
Permasalah lain yang mungkin timbul dari pendelegasian pemeriksaan PK adalah, mengenai kehadiran saksi-saksi yang hendak memberikan keterangan di persidangan PK. Apabila persidangan diadakan di pengadilan tempat terpidana/pemohon PK menjalani pidananya, maka menghadirkan saksi-saksi ke pengadilan tempat terpidana/pemohon PK menjalani pidananya tentu dapat membebankan biaya yang besar bagi pemohon PK, di mana pada umumnya kebanyakan saksi dalam perkara pidana bertempat tinggal di wilayah hukum pengadilan pengaju yang umumnya meliputi wilayah hukumnya tempat tindak pidana terjadi.
Sebagai contoh, permohonan PK diajukan oleh terpidana yang diputus oleh suatu pengadilan negeri di Sumatera Barat. Sedangkan terpidana menjalani pidananya di Lapas di Pulau Nusakambangan, maka menghadirkan saksi-saksi ke Pengadilan Negeri Cilacap akan membutuhkan biaya besar dan waktu yang cukup panjang.
Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 6 tahun 2022 tentang Peraturan Mahkamah Agung mengenai Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung secara Elektronik telah mengatur pada Pasal 22 ayat (1) bahwa sidang pemeriksaan permohonan peninjauan kembali pada perkara pidana dapat dilakukan secara elektronik, sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai administrasi dan persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik.
Oleh karenanya, menghadirkan pemohon PK di persidangan secara daring bukanlah suatu hal baru yang tidak beralaskan hukum. Selain itu, penulis juga berpandangan, dengan menghadirkan pemohon PK secara daring, dapat menghilangkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas seperti masalah keamanan berkas serta biaya tambahan dan waktu yang lama, hal mana sejalan dengan penerapan asas peradilan pidana yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Kehadiran Pemohon PK Secara Daring: Syarat dan Ketentuannya
Sebagaimana sifat hukum acara yang kaku/rigid, maka dalam hal kehadiran pemohon PK dalam sidang pemeriksaan PK secara daring juga perlu diatur secara tegas.
Untuk itu, penulis mengusulkan agar aturan terkait persidangan PK secara elektronik diatur secara lebih mendetail dengan beberapa syarat untuk pelaksanaannya, sebagai berikut:
1. Terpidana/pemohon PK yang mengajukan sidang secara daring sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan yang dibuktikan dengan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditanda tangani oleh Jaksa, Kalapas dan terpidana. Pelaksanaan sidang pemeriksaan PK secara daring tidak diperkenankan terhadap pemohon PK yang melarikan diri dari pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
2. Perintah untuk menghadirkan terpidana/pemohon PK secara daring dilakukan berdasarkan penetapan Majelis Hakim, sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik;
3. Dalam pembuatan berita acara pemeriksaan sidang PK dicantumkan secara jelas tempat terpidana/pemohon PK melaksanakan persidangan secara daring, sehingga berita acara pemeriksaan PK cukup ditanda tangani oleh kuasa/penasihat hukum terpidana/pemohon PK.
4. Lapas tempat terpidana/pemohon PK menjalani pidananya memiliki perlengkapan yang memadai untuk melaksanakan persidangan secara daring.
Penutup
Sebagai penutup, penulis menyadari, menjelang berlakunya KUHP 2023 merupakan momentum yang tepat untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana. Sebagaimana disampaikan di beberapa kesempatan oleh tim perumus undang-undang tersebut, bahwa implementasi KUHP 2023 yang diberlakukan pada awal 2026 tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya perubahan KUHAP.
Untuk itu, maka perbagai ketentuan hukum acara diluar KUHAP yang diatur melalui SEMA dan PERMA sebagai pengisi kekosongan hukum pada masanya, sudah sepatutnya dimasukkan pengaturannya dalam kodifikasi hukum acara yang baru melalui perubahan KUHAP yang diharapkan mampu menjawab persoalan hukum acara di masa yang akan datang.
Penulis: Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai Habli Robbi Taqiyya dan Wahyu Fitra.
Daftar Pustaka:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik;
3. Perma Nomor 6 tahun 2022 tentang Peraturan Mahkamah Agung mengenai Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung secara Elektronik;
Website:
1. https://www.medcom.id/nasional/hukum/Obz59GZN-sejarah-peninjauan-kembali-ini-penjelasan-pakar-hukum-boris-tampubolon