Mafqud: Kekosongan Hukum Positif (Islam) dan Ketidakpastian Hukum

Kekosongan hukum positif Islam tentang mafqud, tentu akan membawa dampak kepada ketidakpastian hukum dalam mengadili perkara permohonan penetapan mafqud.
Ilustrasi kompilasi hukum Islam. Foto deepublishstore.com
Ilustrasi kompilasi hukum Islam. Foto deepublishstore.com

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan representasi kodifikasi hukum Islam sebagi respon atas tuntutan negara modern yang menggunakan undang-undang sebagai sumber hukum selain untuk mewujudkan kepastian hukum.

Meski bukan produk legislatif, KHI menjadi hukum positif dalam bidang hukum perdata Islam sebagai hukum tertulis produk negara (statutory regulation). Namun demikian, terdapat salah satu bab dalam hukum perdata yang belum diatur dalam KHI yaitu tentang keadaan tidak hadir (afwezigheid) yang dalam terminologi hukum Islam disebut dengan mafqud.

Dalam KHI, istilah mafqud hanya disebutkan sebanyak satu kali yaitu dalam Pasal 71 huruf b, terkait perkawinan yang dapat dibatalkan apabila ternyata seorang perempuan yang dikawini masih menjadi istri pria lain yang mafqud.

Namun, dalam pengertian yang sama dengan mafqud, KHI juga menyebutkan “...yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan...” dalam Pasal 171 huruf b tentang pengertian pewaris, selain dalam Pasal 96 ayat 2 yaitu “...matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.”

Dalam Pasal 467 KUH Perdata,  keadaan tidak hadir adalah keadaan seseorang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan telah lampau lima tahun sejak kepergiannya, atau sejak diperoleh berita terakhir yang membuktikan, seseorang tersebut masih hidup. Sedangkan dalam lima tahun itu tak pernah ada tanda-tanda tentang hidupnya atau matinya.

Sementara dalam fikih, pengertian mafqud adalah orang yang tidak ada (gaib) yang kabarnya telah terputus sehingga tidak diketahui apakah masih hidup atau telah meninggal (Zuhaili, 1985, VIII: 419).

Hukum tentang mafqud ini, mencakup pengaturan tentang batasan jangka waktu untuk dapat menetapkan mafqud sebagai orang yang telah meninggal secara hukum dalam hubungannya dengan pasangan, harta yang dimiliki, dan harta warisan dari orang lain. Kekosongan hukum positif Islam tentang mafqud, tentu akan membawa dampak kepada ketidakpastian hukum dalam mengadili perkara permohonan penetapan mafqud.

Dalam praktik, hukum acara yang berlaku dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan mafqud di lingkungan Peradilan Agama adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 467 KHU Perdata, yaitu diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal terakhir mafqud dan dilakukan panggilan kepada mafqud melalui panggilan umum sebanyak tiga kali, dengan jangka waktu untuk setiap panggilan tiga bulan.

Panggilan tersebut harus dimuat dalam surat kabar, dan ditempel pada papan pengumuman di kantor pengadilan maupun di kantor bupati tempat tinggal terakhir mafqud. Praktik yang demikian ini, sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.”

Dalam hal terdapat kekosongan hukum materiil tentang mafqud, maka para hakim dapat melakukan penemuan hukum. Dalam proses penemuan hukum inilah peluang ketidakpastian hukum terbuka lebar terkait dengan sumber hukum yang akan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam melakukan penemuan hukum.

Misalnya, dalam KUH Perdata, batasan jangka waktu minimal seseorang dapat diajukan permohonan penetapan sebagai orang yang telah meninggal secara hukum adalah lima tahun sejak kepergiannya, atau sejak diperoleh berita terakhir yang membuktikan bahwa seseorang tersebut masih hidup. 

Sementara di dalam literatur fikih, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Malik berpendapat empat tahun berdasarkan pendapat Umar r.a, setiap istri yang kehilangan suaminya (ditinggal pergi suaminya) dan tidak mengetahui di mana suaminya berada, maka hendaklah menunggu selama empat tahun kemudian melaksanakan iddah selama empat bulan sepuluh hari (iddah bagi istri yang suaminya meninggal), kemudian ia telah halal untuk menikah lagi.

Sedangkan Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat, tidak ada penentuan jangka waktu. Mafqud dapat dinyatakan telah meninggal secara hukum, tetapi diserahkan kepada ijtihad hakim.

Sementara Ahmad berpendapat, dalam hal kepergian seseorang dengan kemungkinan besar karena kebinasaan seperti orang yang hilang di medan perang atau setelah penyerangan, atau hilang di antara keluarganya seperti orang yang ke luar untuk salat Isya dan tidak kembali atau untuk keperluan kerabat dekat dan tidak pulang dan tidak diketahui kabarnya, maka setelah pemeriksaan yang cermat ditetapkan meninggal setelah lewat jangka waktu empat tahun, namun apabila kepergian seseorang dengan kemungkinan besar selamat seperti orang yang pergi untuk menunaikan ibadah haji, menuntut ilmu, atau berdagang, diserahkan kepada hakim untuk menentukan kematian mafqud (Sabiq, t.t, II: 132).

Keragaman sumber hukum dan keragaman pendapat ahli hukum (doktrin) tentu akan mengantarkan kepada ketidakpastian hukum dalam perkara penetapan mafqud. Oleh karena itu, dalam melakukan penemuan hukum ketika terdapat kekosongan hukum positif, para hakim harus berdasarkan pada hierarki sumber hukum.

Dalam kasus ini, ketika tidak terdapat norma hukum dalam undang-undang (baca: KHI), maka para hakim harus berusaha untuk menemukan hukum dalam yurisprudensi terlebih dahulu. Dalam hal tidak ditemukan dalam yurisprudensi, maka para hakim dapat mencari dalam doktrin hukum Islam yaitu, pendapat para ahli hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fikih.

Bagaimana dengan KUH Perdata? KUH Perdata dalam hal ini hanya dapat dijadikan rujukan terkait dengan hukum acara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sedangkan terkait hukum materiil, maka para hakim harus mendahulukan doktrin dalam hukum Islam (fikih) yang merupakan hasil ijtihad dan interpretasi ulama fikih terhadap sumber-sumber hukum Islam.

Dalam praktik terdapat disparitas penetapan dalam perkara permohonan penetapan mafqud. Ada penetapan yang tidak menerima permohonan penetapan mafqud karena dinilai prematur meski orang tersebut telah pergi selama 10 tahun, karena Majelis Hakim berpedoman kepada data Badan Pusat Statistik tentang Umur Harapan Hidup masyarakat di suatu daerah dan orang tersebut belum mencapai Umur Harapan Hidup di daerahnya yaitu 67 tahun. Serta, ada penetapan yang mengabulkan permohonan penetapan mafqud bagi orang yang telah pergi selama 40 tahun meski masih berumur 57 tahun. Fakta yang demikian tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dalam permohonan penetapan mafqud. 

Dalam fikih terdapat keragaman pendapat ulama tentang perkiraan jangka waktu bagi kematian mafqud, ada yang berpendapat dapat diperkirakan dan ada yang tidak.

Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat dapat diperkirakan. Di mana, menurut ulama Malikiyah apabila telah lewat usia 70 tahun, sedangkan menurut ulama Hanabilah apabila telah lewat usia 90 tahun.

Sementara ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat tidak dapat diperkirakan. Menurut ulama Hanafiyah, mafqud diperkirakan meninggal secara hukum ketika teman-temannya di kampung telah meninggal dan tidak ada yang tersisa. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, diserahkan kepada ijtihad hakim, berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada yang hidup melampaui waktu yang telah lewat (Zuhaili, 1985: 324-5).

Dalam diskursus hukum Islam, kematian seseorang dapat dibedakan menjadi mati hakiki, hukmi, dan taqdiri. Mati hakiki jika kematian seseorang ditunjukkan oleh bukti-bukti yang nyata bahwa seseorang telah meninggal dunia, baik karena sakit, pembunuhan, kecelakaan, maupun bencana alam.

Mati hukmi adalah kematian seseorang yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan ijtihad hakim setelah melakukan pemeriksaan secara cermat atas fakta-fakta bahwa seseorang telah pergi dan kemungkinan besar telah meninggal.

Sedangkan mati taqdiri adalah penetapan kematian seseorang berdasarkan perkiraan usia harapan hidup seseorang. Dalam perkara mafqud, sering terjadi kerancuan atau tumpang tindih antara mati hukmi dengan mati taqdiri, karena hakim tetap mempertimbangkan kematian seseorang berdasarkan usia harapan hidup seseorang, meski orang tersebut telah pergi bertahun-tahun.

Penting untuk dicatat, penetapan mafqud sebagai orang yang telah meninggal secara hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum terkait dengan hubungan perkawinan dengan pasangannya yang ditinggal pergi dan akibat hukumnya, pengelolaan harta yang dimiliki mafqud, maupun pembagian harta peninggalan mafqud sebagai pewaris, dan bagian warisan yang diterima mafqud sebagai ahli waris.

Oleh karena itu, kepentingan orang-orang yang masih hidup dan memiliki hubungan perdata dengan mafqud perlu diprioritaskan untuk mendapatkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang diperoleh dengan penetapan mafqud.

Pendapat ulama fikih yang memperkirakan jangka waktu kematian mafqud berdasarkan usia dapat dipahami sebagai sikap kehati-hatian, namun demikian mendasarkan kematian seseorang berdasarkan perkiraan usia kematian rata-rata orang secara umum perlu dipersoalkan. Ini karena masing-masing orang tidak dapat ditentukan secara pasti kapan akan mati karena hanya Allah yang mengetahui takdir seseorang.

Dalam hal inilah peran penting hakim untuk memberikan kepastian hukum terhadap keadaan seseorang yang tidak hadir, dan tidak jelas apakah masih hidup atau sudah mati.

Terkait dengan keragaman pendapat ulama fikih dalam masalah mafqud, untuk mewujudkan kepastian hukum, maka Kamar Agama Mahkamah Agung RI melalui rapat pleno perlu merumuskan ketentuan terkait jangka waktu untuk dapat menetapkan mafqud sebagai orang yang telah meninggal secara hukum, termasuk akibat hukumnya dengan pasangan yang masih hidup, harta yang dimiliki, dan warisan yang diperoleh dari orang lain, yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI sebagai pedoman bagi para hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan mafqud.