Perceraian Adat di Mata Hukum Nasional

Diperlukan satu rekonstruksi hukum di bidang perceraian, untuk menyintesiskan antara perceraian secara adat dan perceraian secara hukum nasional.
Ilustrasi perceraian. Foto freepik.com
Ilustrasi perceraian. Foto freepik.com

Setelah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, ada satu kesatuan hukum yang diinginkan di bidang perceraian. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.

Konsekuensinya, perceraian yang dilakukan tidak di depan sidang pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum. Aturan ini koheren dengan agenda untuk mempersulit perceraian.

Di samping harus dilakukan di depan sidang pengadilan, perceraian juga harus memiliki alasan yang restriktif sebagaimana telah diatur oleh PP Nomor 9 Tahun 1975.

Khusus untuk perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama, terdapat dua alasan tambahan yang tercantum di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan perceraian terjadi, selain daripada alasan-alasan yang sudah ditentukan tersebut, seperti bercerai atas dasar kesepakatan atau telah kehilangan rasa cinta.

Lalu bagaimana dengan perceraian yang dilangsungkan secara adat?

Dalam kehidupan masyarakat adat dayak di Kalimantan Tengah, terdapat satu prinsip moral dan sosial yang berlaku, yaitu apabila pernikahan dilangsungkan secara adat, maka perceraiannya pun juga harus dilangsungkan secara adat.

Menurut Jefry Tarantang, apabila seseorang tidak melaksanakan prosesi adat dalam perceraiannya, maka ia telah melanggar moralitas adat dayak dan berpotensi terkena sanksi sosial. Bahkan dalam konteks tertentu, juga memungkinkan adanya potensi terkena sanksi adat.

Perceraian secara adat dilakukan di hadapan Damang Kepala Adat. Damang Kepala Adat diberikan kewenangan untuk mengeluarkan surat keterangan perceraian secara adat.

Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang memiliki kewenangan menegakkan hukum adat Dayak di wilayah pengangkatannya yang dipilih oleh para kepala desa/kelurahan, para Ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, dan para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan di wilayah Kedamangan tersebut.

Pada sidang cerai adat, juga dilakukan upaya damai terlebih dahulu kepada suami istri yang ingin bercerai secara adat. Namun, jika upaya damai tersebut tidak berhasil, maka sidang cerai adat akan dilanjutkan hingga berujung pada perceraian secara adat, yang ditandai dengan Surat Keterangan Perceraian Adat oleh Damang Kepala Adat.

Surat Keterangan Perceraian Adat yang dikeluarkan oleh Damang Kepala Adat tersebut dianggap cukup untuk membuktikan telah terjadinya perceraian secara adat. Secara sosial kemasyarakatan, khususnya bagi masyarakat adat Dayak, hal ini telah berlangsung lama dan tidak menjadi persoalan.

Secara moral, masyarakat adat Dayak yang bercerai melalui sidang adat justru berkontribusi positif terhadap penegakan hukum adat Dayak. Ibarat “dimulai dengan adat (pernikahan), diakhiri dengan adat pula (perceraian)”.

Namun apakah itu cukup?

Meskipun secara prinsip sosial dan moral cerai adat sudah cukup. Namun secara hukum nasional, bukti adanya perceraian yang memiliki kekuatan hukum harus didasarkan pada putusan pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi selain Islam.

Oleh sebab itu, seringkali masyarakat harus kembali mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan tersebut untuk mendapatkan legalitas hukum atas perceraian. Tentu saja dengan mengulang kembali proses perceraian sebagaimana tata cara sidang perceraian yang telah diatur melalui peraturan perundang-undangan.

Hingga saat ini, belum ada mekanisme khusus gugatan perceraian di pengadilan terhadap pihak-pihak yang sudah bercerai secara adat. Dalam hal para pihak hadir, maka mereka tetap diwajibkan menempuh upaya mediasi terlebih dahulu, sebagaimana ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Apabila upaya mediasi tidak berhasil, maka akan dilangsungkan persidangan secara op tegenspraak (saling jawab dan saling bantah).

Pengalaman penulis dalam memeriksa perkara yang demikian, belum pernah ada yang berhasil rukun kembali berumah tangga, sebab para pihak merasa perkawinannya sudah tidak dapat disambungkan kembali, setidaknya moralitas mereka berpendapat seperti itu. Bahkan hubungan silaturahmi yang awalnya telah kembali terjalin dengan baik pascasidang adat, seringkali kembali goyah akibat saling berbantahan saat persidangan di pengadilan.

Sebagaimana UU Perkawinan berhasil menyintesiskan hukum perkawinan antara hukum Negara dengan hukum agama. Menurut penulis, diperlukan pula adanya satu rekonstruksi hukum di bidang perceraian, untuk menyintesiskan antara perceraian secara adat dan perceraian secara hukum nasional.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews