Kesetaraan Gender dalam Arti Fundamental

Tantangan terbesar bagi feminisme kontemporer bukan lagi sekadar memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi merumuskan ulang agenda intelektual dan praksis yang mampu bersikap inklusif, kontekstual, dan bertanggung jawab secara etis terhadap keberagaman struktur sosial dan nilai budaya.
Ilustrasi kesetaraan gender. Foto pexels.com
Ilustrasi kesetaraan gender. Foto pexels.com

“The old mainstream feminism concentrated on legal reforms. In seeking specific and achievable ends, it did not promote a gynocentric stance; self-segregation of women had no part in an agenda that sought equality and equal access for women.”

Christina Hoff Sommers (Who Stole Feminism? How Women Have Betrayed Women).

Filsuf Feminisme Klasik Christina Hoff Sommers selama beberapa dekade mencoba untuk mencari titik terang dari apa yang ia anggap sebagai distorsi dari pemikir-pemikir feminis, yang berdampak luas, terhadap terutama bagi ilmu dan tatanan hukum.

Bagi Sommers (1994), feminisme yang menjadi terlalu politis memiliki risiko yang sangat kontraproduktif. Marwah dari gerakan feminisme, menurut Sommers, terletak pada upaya untuk memberi kesetaraan yang sifatnya konstruktif terhadap pembangunan.

Menariknya, pemikiran Sommers ini justru mendapatkan perlawanan dari banyak akademisi perempuan yang cenderung berdiri di garis radikal. Radikalisasi feminisme inilah yang menjadi misi perdebatan Sommers sepanjang kariernya.

Untuk memahami inti dari argumentasi Sommers, kita dapat melihat ilustrasi berikut ini. Secara linguistik, frasa “bebas parkir” bisa memiliki konsekuensi semantik yang sama secara logis setara dengan “dilarang parkir”. Ini artinya menggunakan frasa “bebas parkir” justru kontraproduktif dengan pesan yang dipergunakan.

Rangkaian kata tersebut, bisa ditafsirkan setara interpretasi semantiknya dengan parkir tepat di tengah jalan raya atau di depan halte bus. Alih-alih mempergunakan istilah “bebas parkir”, “parkir gratis” adalah cara yang lebih tepat untuk menghindari kerancuan logika ini. Meskipun terlihat sederhana, konsekuensi logisnya sangat berisiko.

Dari ilustrasi tersebut, filsafat bahasa menjadi sangat relevan untuk mengkaji ekses dari feminisme radikal, dan bagaimana kesetaraan gender didistorsi dan rentan dijadikan instrumen politik yang sifatnya superfisial dan jangka pendek. Poin inilah yang ditekankan oleh Sommers.

Menurutnya, menjadi setara bukanlah sebuah kompetisi yang sifatnya bebas nilai dan konteks sosial. Feminisme bukanlah gerakan yang ada dalam ruang hampa (vacuum) yang ahistoris dan cenderung berada dalam koridor zero-sum-game. Pemikiran kompetitif inilah yang menurut Sommers sangat berbahaya dan terutama karena datang dari kalangan akademisi.

Sommers (2015) dalam sebuah wawancara mengatakan, agenda feminisme radikal cenderung berada dalam koridor yang rancu. Pertama, gender dilihat dalam oposisi biner yang sifatnya ultraadversarial: “with us, or against us”. Kedua, pola-pola radikalisasi oposisi biner yang hiperkompetitif ini, akhirnya menjadi bagian dari agenda pribadi yang ditujukan untuk kepentingan pribadi pula. Ketiga, alih-alih mengemansipasi, gerakan feminisme radikal yang bersifat akultural menegasi dan bahkan mengeksploitasi celah-celah hukum.

Menjernihkan Kembali Akar Emansipasi

Kecenderungan untuk melihat eksploitasi sebagai akar dari seluruh persoalan di dunia dapat dilihat dalam globalisme. Berbagai teori politik, mulai dari teologi pembebasan hingga sistem dunia (world system) selalu berpijak pada premis bahwa untuk mencari solusi masalah, hanya ada satu disposisi: ada yang ditindas dan ada yang menindas.

Pakem pemikiran seperti ini, seolah menegasi bahwa sebuah problem bisa saja muncul karena sisi asimetrisnya dengan realitas. Menganggap bahwa masalah selalu muncul karena ada yang menindas mungkin bisa diterima jika dan hanya jika masalah tersebut disebabkan oleh adanya penindasan. Namun, bila unsur ini absen dari konstruksi argumentasi, maka tesis eksploitasi akan menjadi upaya pengambinghitaman yang tidak dapat diterima secara rasional.

Gelombang pascamodernisme memang pisau bermata dua yang bisa menusuk ke luar dan ke dalam sekaligus. Pluralitas gender, yang dikenal dengan istilah nonbiner, memiliki dua potensi: positif dan negatif. Di sisi positif, teori-teori gender-termasuk derivat radikalnya-bisa menjadi jalan pembuka dari sebuah dunia hidup yang lebih adil.

Kesempatan yang sama untuk aktif dalam politik, ekonomi, dan berbagai sendi kehidupan lainnya adalah, salah satu dampak konstruktif dari pemikiran semacam ini. Di sisi negatif, radikalisasi gender sekali lagi dapat bersifat ahistoris dan akultural, dan cenderung mengabaikan unsur konsensual dalam argumentasinya.

Ekses dari pendekatan feminisme radikal inilah yang dikhawatirkan Sommers. Salah satu elemen penting dari budaya, misalnya adalah agama. Feminisme radikal cenderung melihatnya sebagai murni persoalan nirkonteks (Sommers, 2013). Praktik tradisi yang bersifat historis cenderung dinafikan, sehingga tidak dapat diterapkan tanpa menimbulkan disrupsi sosial. Pemikir feminis radikal cenderung mengabaikan-oversimplifikasi-proporsi dan aspek keseimbangan peran dari kebiasaan dan tradisi dalam sebuah masyarakat.

Gagasan yang dilontarkan oleh garis pemikiran feminisme ini cenderung insinuatif, dan irelevan dengan situasi dan kondisi sebuah masyarakat.

Distorsi dan Destabilisasi dalam Feminisme Radikal

Pemikiran dan kegelisahan Sommers sebenarnya sangat relevan dan aktual dengan situasi saat ini, berbeda dengan pemikiran Simone Beauvoir (1956) dan Judith Butler (2006). Gagasan Beauvoir merespons sistem sosial masyarakat Prancis di awal Abad ke-20, saat situasi menjadi sangat tidak stabil secara ekonomi-yang akhirnya berujung pada Perang Dunia 2.

Pemikiran Butler adalah respons terhadap situasi perempuan di Amerika Serikat terutama setelah Perang Dunia usai. Keduanya memberi penekanan tentang keperempuanan sebagai gender yang dibentuk secara kultural dan bukan natural. Singkatnya, baik Beauvoir maupun Butler menolak jenis kelamin sebegai sesuatu yang natural.

Pandangan mereka menajamkan pergerakan emansipasi di Barat di Abad ke-20. Meskipun demikian, tesis keduanya tidak semudah itu diterapkan di berbagai negara yang secara sosiokultural berbeda.

Klaim yang diberikan Beauvoir dan Butler terlihat janggal saat diterapkan di negara-negara Timur, dengan konstruksi kultural yang sangat berbeda.

Kita dapat mengambil contoh Jepang. Secara aturan, tidak ada kesenjangan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan. Namun sebagai negara maju dengan berbagai indeks seperti HDI (Human Development Index) yang tinggi, Jepang tetap memiliki rambu-rambu tradisi yang sangat tegas yang tidak dapat ditanggalkan begitu sajam sekalipun pengaruh negara-negara Barat sangat kuat.

Secara budaya dan tradisi, selalu ada yang disebut laki-laki dan perempuan yang mengacu pada berbagai tradisi yang berakar pada perbedaan hakikat natural kedua jenis kelamin ini. Dengan kata lain, kenyataan yang terjadi di Jepang mementahkan implikasi argumen Beauvoir dan Butler bahwa gender sepenuhnya bersifat kultural.

Sederhananya, jika gender sepenuhnya kultural dan bukan natural, maka dampaknya bersifat temporer dan periodik karena hanya merupakan variabel dari kebudayaan. Klaim ini, bertentangan dengan eksistensi tradisi yang berlangsung ribuan tahun yang berkaitan dengan peran laki-laki dan perempuan.

Klaim ini juga bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari alam yang dibentuk lewat proses ratusan ribu hingga jutaan tahun. Menegasi sebuah praktik budaya sebagai sebuah permainan linguistik adalah sebuah sikap yang tidak konsisten dan tidak relevan dengan realitas.

Tudingan feminisme radikal tentang kekerasan sebagai “kecenderungan khas” laki-laki tidak berdasar, Sommers mengatakan: “… it appears that battery may have very little to do with patriarchy or gender bias” (dapat dilihat bahwa kekerasan tidak berkorelasi langsung dengan patriarki atau bias gender) (Sommers, 1994:200). Ini berarti, feminisme radikal mendistorsi kenyataan bahwa tindak kekerasan adalah bagian dari kenyataan hidup manusia yang bisa menimpa siapapun, kapanpun dan di manapun. 

John Langshaw Austin (1971), seorang pemikir di bidang filsafat bahasa menekankan, konstruksi dunia hidup manusia dibentuk oleh kata-kata, meskipun demikian Austin tidak mengatakan bahwa kata-kata yang ada dan terbentuk lewat proses budaya bersifat acak dan bebas nilai.

Sommers mencoba untuk memberikan catatan penting bahwa feminisme radikal telah dengan gegabah menyalahgunakan privilese intelektual mereka untuk mendekonstruksi bangun-bangun institusi sosial, tanpa sama sekali memikirkan konsekuensinya secara mendalam terhadap keseimbangan tatanan sosial.

Dalam konteks ini, kritik yang diajukan oleh Sommers bukan sekadar resistensi terhadap perubahan. Melainkan, sebuah ajakan untuk kembali menimbang prinsip-prinsip dasar dari emansipasi yang berakar pada kesetaraan, bukan antagonisme.

Feminisme, sebagaimana awalnya dimaknai oleh banyak pemikir klasik, merupakan proyek moral dan sosial yang bertujuan memperluas ruang partisipasi perempuan secara adil dalam struktur masyarakat, bukan mendestabilisasi sistem dengan retorika yang hiperideologis dan terputus dari realitas kultural.

Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi feminisme kontemporer bukan lagi sekadar memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi merumuskan ulang agenda intelektual dan praksis yang mampu bersikap inklusif, kontekstual, dan bertanggung jawab secara etis terhadap keberagaman struktur sosial dan nilai budaya.

Hanya dengan pendekatan semacam inilah, feminisme dapat tetap relevan dan konstruktif dalam menyikapi dinamika zaman yang semakin kompleks.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews