Dunia peradilan di Indonesia khususnya peradilan pidana segera bergerak dengan pengaturan baru baik secara materiil dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau lebih dikenal dengan KUHP Nasional maupun secara formil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sedang digodok pengerjaannya oleh DPR RI.
Hal tersebut, merupakan suatu langkah yang baik, mengingat Indonesia selama ini menggunakan KUHP warisan Belanda yakni KUHP WvS yang sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri yang terkenal dengan musyawarah mufakat.
Pengaturan dalam KUHP Nasional yang akan berlaku pada 2026 sangatlah baik, karena telah mengakomodir beberapa konsep-konsep baru yang dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Terutama bagi hakim yang diberikan pedoman-pedoman pemidanaan yang dapat diterapkan sebelum menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa.
Beberapa pengaturan pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa (dalam hal ini orang) antara lain yang terdapat dalam Pasal 53 dan 54 KUHP Nasional yang pengaturannya sebagai berikut:
Pasal 53
1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan.
2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Pasal 54
1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. bentuk kesalahan pelaku tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pelaku tindak pidana;
d. Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelalu tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap Korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/atau
k nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2.) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Jika dilihat dari pengaturan pasal-pasal tersebut sangat menarik ke depannya bagi hakim dalam mengadili perkara pidana. Oleh karena telah adanya pedoman-pedoman yang selama ini telah diterapkan dalam beberapa perkara namun belum adanya pengaturan tersebut dalam undang-undang.
Hal yang paling menarik dari pengaturan pasal-pasal tersebut tentunya terletak pada pengaturan Pasal 53 ayat (2) yang mana telah memberikan penegasan kepada hakim, apabila dalam mengadili suatu perkara terdapat benturan antara kepastian dan keadilan, maka hakim wajib mengutamakan keadilan. Lalu bagaimana penerapan pasal tersebut nantinya? Apakah selama ini hakim pernah menerapkan hal tersebut?
Bagaimana Penerapan Keadilan Sebelum Adanya Pedoman Pemidanaan Pasal 53 Ayat (2)
Dalam melaksanakan kewajiban mengadili suatu perkara, hakim selalu dihadapkan dengan benturan kepastian dan keadilan. Benturan ini banyak ditemukan dalam berbagai permasalahan.
Penulis sendiri pernah mengalami benturan ini saat mengadili perkara ”perlindungan anak” dengan nomor perkara 121/Pid.Sus/2020/PN Tli. Sebagaimana kita ketahui dalam perkara perlindungan anak khususnya terdakwa yang didakwa dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, terdapat pengaturan minimum khusus yakni pidana paling singkat lima tahun.
Hal itu berarti, terdakwa yang dinyatakan bersalah pidana penjara paling rendah yang akan diberikan adalah lima tahun. Namun pada kenyataannya, dalam fakta persidangan antara terdakwa dan anak korban serta keluarga telah menyepakati perdamaian, dalam hal ini pihak anak korban berjanji tidak akan menuntut lagi. Serta, terdakwa telah menikahi anak korban yang saat itu telah hamil/mengandung selama sembilan bulan.
Hal ini menimbulkan perdebatan batin, oleh karena apabila pengaturan minimum khusus diterapkan akan berdampak pada masa depan anak korban serta anaknya yang saat itu akan lahir sehingga tidak adanya pemberi nafkah karena terdakwa masih berada dalam tahanan.
Oleh karena belum adanya pengaturan pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional saat itu, Majelis Hakim menggunakan rumusan rapat pleno kamar dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017 pada rumusan rapat kamar pidana nomor 5 huruf b yang mengatur, apabila pelaku dewasa dan korban anak maka secara kasuistis Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus. Dengan pertimbangan khusus yang melihat adanya perdamaian yang menciptakan harmonisasi antara pelaku dan korban dengan tidak saling menuntut lagi bahkan sudah menikah antara pelaku dan korban atau perbuatan dilakukan suka sama suka serta adanya pertimbangan hukum secara yuridis, filosofis, sosiologis, edukatif, preventif, korektif, dan rasa keadilan.
Melihat hal tersebut, penulis sebagai salah satu Majelis Hakim saat itu, lebih mengedepankan keadilan dengan memutus menyimpangi pidana minimum khusus selama 1 tahun 8 bulan ketimbang kepastian pidana minimum khusus. Oleh karena, hal-hal yang telah berkaitan dengan SEMA tersebut telah terpenuhi bahkan putusan tersebut dikurangi lagi pada tingkat kasasi menjadi 1 tahun 4 bulan dalam nomor perkara 1883 K/Pid.Sus/2021.
Hal lain juga yang penulis pelajari terkait keadilan melawan kepastian dalam perkara pidana yang berkaitan dengan pencabutan/penarikan pengaduan. Dalam hal pencabutan/penarikan aduan diberikan batas waktu paling lama tiga bulan setelah pengaduan disampaikan sebagaimana dalam Pasal 75 KUHP lama dan Pasal 30 ayat (1) KUHP Nasional.
Namun pada kenyataannya, dalam beberapa putusan yang telah penulis pelajari terdapat pengesampingan kepastian hukum yang telah diatur tersebut. Hal itu, demi mengedepankan keadilan sebagaimana yang terdapat dalam putusan tingkat kasasi perkara No.1600 K/Pid/2009 dan putusan tingkat pertama Nomor: 132/Pid.B/2021/PN Mtr yang mana, putusan tersebut mengabulkan penarikan aduan dengan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima oleh karena antara terdakwa dan korban telah berdamai sehingga telah pulihnya keadaan yang sebelumnya terganggu, mengedepankan prinsip moral justice serta keadilan restoratif yang lebih bermanfaat untuk menghentikan proses penuntutan perkara tersebut.
Dalam dua permasalahan tersebut di atas, sejatinya hakim telah menerapkan keadilan lebih utama dibanding kepastian hanya saja belum diaturnya dalam undang-undang berkaitan dengan mengutamakan keadilan, membuat beberapa hakim yang mungkin menemukan perkara serupa ragu dalam menerapkannya oleh karena bayang-bayang pelanggaran hukum acara, etik, dan sebagainya.
Kesimpulan
Dengan pengaturan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional yang mengatur terperinci apa saja hal yang wajib dipertimbangkan hakim, membuat hakim lebih mudah dalam mengambil putusan saat mengadili perkara pidana utamanya. Khususnya apabila ada pertentangan antara kepastian dan keadilan yang mewajibkan hakim mengutamakan keadilan.
Pedoman pemidanaan ini juga menjadi angin segar penyempurnaan menyongsong prinsip-prinsip keadilan yang selama ini diterapkan Hakim hanya melalui hasil rumusan rapat pleno kamar.