Menata Wajah Pengadilan antara Etika Visual dan Identitas Lembaga

Sudah saatnya kita menata ulang wajah pengadilan. Bukan dengan memperbesar gambar personal, melainkan dengan memperkuat nilai-nilai integritas dan pelayanan hukum yang adil. Biarlah baliho besar dipakai untuk menyemangati masyarakat dan mengapresiasi pencapaian rakyat, bukan untuk menegaskan posisi para pejabatnya.
Ilustrasi visual pejabat publik. Foto dokumentasi rectmedia.com.
Ilustrasi visual pejabat publik. Foto dokumentasi rectmedia.com.

Dalam beberapa waktu terakhir, semakin mudah dijumpai poster, spanduk, baliho, hingga unggahan media sosial resmi pengadilan yang menampilkan foto ketua dan wakil ketua pengadilan secara besar dan mencolok.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu atau dua tempat, melainkan kian meluas menjadi praktik yang seolah lumrah. Visualisasi berlebihan terhadap pimpinan pengadilan sepatutnya menjadi bahan refleksi bersama apakah hal itu sejalan dengan jati diri lembaga peradilan yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kolegialitas, dan integritas?

Perlu ditegaskan, posisi ketua dan wakil ketua pengadilan adalah jabatan struktural yang diangkat melalui proses seleksi internal Mahkamah Agung, bukan jabatan politik yang ditentukan lewat kontestasi publik. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan akan pencitraan personal sebagaimana lazim dalam dunia politik.

Eksistensi seorang pimpinan pengadilan semestinya dibangun melalui kepemimpinan yang adil, kerja kolektif yang efektif, serta keteladanan dalam menjaga marwah lembaga bukan melalui dominasi visual di dinding kantor atau laman media sosial.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kemerdekaan tersebut, mencakup kebebasan dari segala pengaruh baik dari luar lembaga maupun dari dalam institusi itu sendiri. Dalam konteks ini, penyajian visual di lingkungan pengadilan pun semestinya mencerminkan nilai-nilai tersebut yakni seperti netral, sederhana, dan institusional. Bukan menonjolkan wajah individu, melainkan mengangkat wajah kolektif lembaga dan nilai-nilai konstitusional yang dijunjungnya.

Fenomena penggunaan poster dan baliho pimpinan pengadilan secara berlebihan tidak hanya terbatas pada area internal kantor pengadilan atau media sosial resmi. Dalam beberapa kasus, bahkan muncul baliho besar di jalan-jalan protokol yang menampilkan pimpinan pengadilan lengkap dengan kalung jabatannya, berjejer bersama unsur Forkopimda lainnya.

Sering kali visual ini dikemas dalam bentuk ucapan selamat atau dukungan terhadap capaian tertentu. Misalnya, keberhasilan atlet daerah, penghargaan pembangunan, atau prestasi institusional. Namun ironisnya, wajah yang paling besar dalam poster-poster tersebut justru bukan para atlet atau penerima apresiasi, melainkan wajah para pejabat, termasuk pimpinan pengadilan.

Narasi visual semacam ini secara tidak langsung menggeser fokus dari apresiasi yang tulus menjadi panggung eksistensi simbolik. Dalam konteks lembaga peradilan, hal ini berisiko mengikis wibawa institusional karena menempatkan pimpinan pengadilan dalam pola komunikasi yang menyerupai pejabat eksekutif padahal posisi tersebut adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang menuntut netralitas, kesederhanaan, dan pembatasan eksposur pribadi.

Keterlibatan dalam forum Forkopimda tentu penting sebagai bagian dari sinergi antarlembaga negara. Namun, partisipasi tersebut semestinya tetap menjaga batas etis dan tidak bergeser menjadi ajang afirmasi personal yang berlebihan.

Kita tentu tidak anti terhadap ekspresi kelembagaan yang wajar. Namun ekspresi tersebut harus proporsional dan menjunjung nilai-nilai institusional yang lebih besar. Ruang publik kantor pengadilan semestinya merepresentasikan kesan netral, profesional, dan berwibawa.

Citra ini sulit dibangun apabila narasi visual yang dominan adalah personalisasi jabatan. Semakin sering wajah perorangan menutupi wajah kelembagaan, semakin kabur pula arah institusi ini dalam memelihara integritas simboliknya.

Dalam konteks ini, sudah selayaknya Mahkamah Agung mempertimbangkan untuk mengeluarkan regulasi internal yang mengatur secara tegas batasan visualisasi personal dalam lingkungan peradilan. Baik melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) maupun Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). 

Dibutuhkan pedoman etik visual yang menjaga agar tampilan lembaga peradilan tetap mencerminkan kesederhanaan, kolektivitas, dan profesionalisme. Regulasi semacam ini bukan hanya penting untuk merawat estetika institusi, tetapi juga untuk melindungi makna jabatan itu sendiri agar tidak tergerus oleh budaya simbolik yang bersifat superfisial.

Sudah saatnya kita menata ulang wajah pengadilan. Bukan dengan memperbesar gambar personal, melainkan dengan memperkuat nilai-nilai integritas dan pelayanan hukum yang adil. Biarlah baliho besar dipakai untuk menyemangati masyarakat dan mengapresiasi pencapaian rakyat, bukan untuk menegaskan posisi para pejabatnya.

Wajah pengadilan yang sejati adalah putusan yang adil, perilaku yang bersih, dan kepemimpinan yang bijaksana bukan semata-mata foto yang besar dan sering muncul di depan umum. Karena pada akhirnya, wajah pengadilan bukanlah milik satu orang, melainkan cermin bersama bagi sebuah bangsa yang percaya pada keadilan.
 

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews
Copy