Halalbihalal, Tradisi Khas Islam Indonesia ala K.H. Abdul Wahab Chasbullah

Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno berkonsultasi kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah untuk meminta nasihat dan solusi atas persoalan bangsa kala itu.
Mahkamah Agung mengawali hari pertama kerja dengan melaksanakan kegiatan halalbihalal pada Selasa (8/4/2025), di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta. Foto Humas MA
Mahkamah Agung mengawali hari pertama kerja dengan melaksanakan kegiatan halalbihalal pada Selasa (8/4/2025), di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta. Foto Humas MA

Tak terasa, sudah dua minggu Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1446 H telah dilewati, tradisi sungkeman ke orang yang lebih tua, ziarah kubur ke makam leluhur, silaturahmi ke sanak saudara, hingga menikmati makanan atau jajanan khas Lebaran pun sudah terlaksanakan, yang mudik ke kampung halaman sebagian besar sudah balik untuk menjalankan aktivitas rutin, bekerja atau menjalankan usahanya kembali.

Tetapi pada umumnya, sesaat setelah masuk kerja, masih saja ada tradisi Lebaran yang dilakukan masyarakat Indonesia, yaitu halalbihalal, acara saling maaf memaafkan dengan teman sejawat di kantor atau komunitas organisasi dengan memanfaatkan momentum lebaran sekaligus berkumpulnya banyak orang.

Tahukah Anda, tradisi halalbihalal hanya ada di Indonesia? Tidak ditemukan di negara manapun bahkan di negeri Arab atau timur tengah sekalipun. Kosa kata halalbihalal juga sama sekali tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Arab walaupun kesannya seperti Bahasa Arab.

Halalbihalal adalah sebuah tradisi yang berakar kuat dalam budaya Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Muslim. Istilah "halalbihalal" berasal dari kata Arab, 'halal' yang berarti hal yang dibolehkan atau sah, dan 'bi' yang berarti dengan. Secara harfiah, halalbihalal dapat diartikan sebagai saling membolehkan atau saling sah memaafkan. Tradisi ini umumnya dilaksanakan setelah Idulfitri, sebagai momen untuk saling meminta dan memberi maaf atas kesalahan yang telah terjadi.

Asal-usul halalbihalal tidak terlepas dari nilai-nilai Islam yang mengajarkan pentingnya memaafkan dan meminta maaf untuk membersihkan hati. Meski tidak secara spesifik diperintahkan dalam ajaran Islam, Halal Bihalal telah tumbuh menjadi sebuah praktik sosial yang kaya akan nilai dan makna, terutama dalam konteks ke-Indonesia-an. Tradisi ini dipercaya telah mulai populer setelah kemerdekaan Indonesia, sebagai cara untuk menyatukan masyarakat yang beragam setelah periode konflik dan perjuangan kemerdekaan.

Halalbihalal pertama kali dicetuskan pada 1948 Masehi oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, yang saat itu menjadi Rais 'Aam PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Pada 1948, usia Republik Indonesia masih sangat belia dan Indonesia sebagai sebuah negara belum benar-benar berdiri tegak karena agresi militer Belanda dan pemberotakan-pemberotakan di berbagai wilayah, salah satunya pemberontakan PKI Madiun pada 1948, justru partai politik dan para pimpinan politiknya tidak pernah akur, saling serang, saling menjelek-jelekkan serta saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.

Melihat kondisi carut marut tersebut, Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno berkonsultasi kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah untuk meminta nasihat dan solusi atas persoalan bangsa kala itu.

Tepatnya di pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. 

Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idulfitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi. Lalu Bung Karno menjawab, "silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".

"Itu gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.

Dari saran Kiai Wahab Chasbullah itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idulfitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi nama halalbihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, istilah halalbihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-Lebaran hingga kini.

Siapa K.H. Abdul Wahab Chasbullah? Beliau adalah inisiator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) bersama ulama-ulama lain, setelah sebelumnya menginisiasi beberapa organisasi yang merupakan embrio NU di Surabaya, antara lain Tasywikul Afkar, Nahdlatut Tujar dan lain sebagainya. Beliau adalah pahlawan nasional yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, Jawa Timur. Rais 'Aam PBNU kedua pengganti Rais Akbar PBNU Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy'ari (wafat 1947 Masehi).

Tinggalan monumental beliau selain idiom halalbihalal adalah lagu Syubbanul Wathan yang diciptakan 1934. Lagu tersebut sekarang menjadi lagu wajib warga Nahdliyin yang lazim dinyanyikan di kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama.

Penulis : Adeng Septi Irawan (Hakim PA Sukamara yang diperbantukan di PA Sampit)

.

Penulis: Adeng Septi Irawan
Editor: Tim MariNews