Meneladani Prof. Mr. Soebekti: Ketua MA RI dan Cendekiawan Hukum Perdata

Soebekti memimpin Mahkamah Agung RI sampai dengan 1974. Pada era kepemimpinannya, dilakukan penegasan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka.
Raden Soebekti adalah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1968 hingga 1974. Beliau lahir pada 14 Mei 1914 dan wafat pada 9 Desember 1992. Foto dokumentasi peradi-tasikmalaya.or.id
Raden Soebekti adalah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1968 hingga 1974. Beliau lahir pada 14 Mei 1914 dan wafat pada 9 Desember 1992. Foto dokumentasi peradi-tasikmalaya.or.id

Ratusan tahun kolonialisme Kerajaan Belanda di Indonesia telah memberikan warna dalam perkembangan sosial masyarakat, salah satunya melalui pembentukan tatanan hukum.

Bahkan sampai saat ini, masih terdapat beberapa produk hukum kolonial Belanda yang digunakan mengatur hubungan antarmasyarakat atau negara dengan masyarakat, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebagian besar ketentuannya berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie yang berlaku sejak 1 Januari 1918 berdasarkan Staatsblad 1915 dan diadopsi menjadi KUHP Indonesia sebagaimana diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Namun, ketentuan hukum pidana kolonial tersebut, akan pensiun akhir Desember 2025 dan digantikan hasil pemikiran ahli pidana Indonesia melalui KUHP baru (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang berlaku pada awal 2026.

Bukan hanya dalam lapangan hukum pidana, di bidang hukum keperdataan warisan kolonial Belanda pun masih digunakan. Meskipun beberapa ketentuan khusus sudah tidak berlaku karena terbitnya undang-undang baru, seperti bab tentang perkawinan dan putusnya perkawinan karena perceraian dalam Bab IV KUHPerdata yang digantikan dengan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berbagai perubahannya. Demikian juga hipotek tanah dalam KUHPerdata, dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkannya UU Hak Tanggungan Atas Tanah (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996) dan berbagai ketentuan lainnya dalam KUHPerdata yang telah berubah melalui pembentukan undang-undang.

Jejak Prof. Mr. Soebekti dalam Penerjemahan KUHPerdata

Secara historis, awalnya Belanda melakukan kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) pada 1838 dan diberlakukan di Hindia Belanda (dahulu Indonesia) pada 1 Mei 1838 melalui Staatsblad Nomor 23, serta terus berlaku setelah Indonesia merdeka menggunakan ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan Konstitusi Indonesia.

Ketentuan hukum dalam KUHPerdata, mayoritas mengambil isi dari Code Napoleon pada periode 1811-1838 karena Prancis sempat menjajah Belanda. Sehingga, hukum yang berlaku di negara Prancis, digunakan oleh negeri kincir angin.

Pihak yang berperan dalam menerjemahkan KUHPerdata dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga lebih mudah untuk dipahami dan dijadikan sumber hukum atau referensi perkuliahan mahasiswa fakultas hukum adalah Prof. Mr. Soebekti, Ketua Mahkamah Agung RI Keempat. Soebekti menerjemahkan Burgerlijk Wetboek bersama dengan R. Tjitrosoedibio.  

Selain menerjemahkan KUHPerdata, Soebekti juga menularkan karya dalam berbagai buku hukum, antara lain pokok-pokok hukum perdata, hukum perjanjian, aneka perjanjian, hukum acara perdata dan lain-lain. Karya-karya Soebekti dimaksud, masih menjadi referensi praktik hukum dan perkuliahan di fakultas hukum, sehingga terbit dalam berbagai cetakan terbaru. 

Karir Soebekti Sebagai Hakim, Ketua Mahkamah Agung RI dan Akademisi Hukum

Pria kelahiran Surakarta 14 Mei 1914 tersebut, menempuh pendidikan di Rechtshogeschool, Batavia (saat ini Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Setelah selesai menyelesaikan kuliahnya, Soebekti menjadi pegawai pada Presiden Raad Van Justitie pada 1939, Hakim Pengadilan Negeri Semarang pada 1942 dan Ketua Pengadilan Negeri Purworejo pada 1944. 

Bahwa setelah Indonesia merdeka dan Mahkamah Agung RI dibentuk dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan (19 Agustus 1945), Soebekti menjabat sebagai Panitera Mahkamah Agung RI pertama. Selanjutnya, karirnya berlanjut sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Makassar pada 1952, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta pada 1955. Kemudian menjadi Hakim Agung RI pada 1958 dan menjabat Ketua Mahkamah Agung RI Keempat pada 1968, menggantikan Soejadi, S.H. 

Soebekti memimpin Mahkamah Agung RI sampai dengan 1974. Pada era kepemimpinannya, dilakukan penegasan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan lepas dari intervensi cabang kekuasaan lain, khususnya eksekutif melalui terbitnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menggantikan Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 1964.

Sosoknya, tidak hanya dikenal sebagai seorang hakim dan Ketua Mahkamah Agung RI, publik mengenalnya juga sebagai cendekiawan hukum khususnya di bidang perdata. Kejeniusan dan dedikasi untuk dunia pendidikan Indonesia, membuat Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengangkatnya sebagai Guru Besar Hukum Perdata pada 1957. Bahkan Soebekti tercatat sebagai salah satu Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 1964 sampai dengan 1966 dan Rektor Universitas Krisnadwipayana pada 1958. 

Setelah purnabakti sebagai Ketua Mahkamah Agung RI, Soebekti tetap berperan aktif dalam pengembangan dan kemajuan ilmu hukum di Indonesia, dapat dilihat pengangkatannya sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung pada periode 1975-1988 dan Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada 1977. Demikian juga Soebekti tercatat sebagai Staf Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) RI.

Semoga nama Prof. Mr. Soebekti tidak hanya dikenal pada buku ciptaannya dan ruang pengadilan yang mengabadikan namanya, melainkan jadi tauladan bagi hakim serta cendekiawan hukum lainnya, sehingga pencerahan hukum kepada masyarakat dapat tercipta melalui ruang sidang pengadilan dan bangku perkuliahan fakultas hukum.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews