Mengenal Peran Ankum dan Papera dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Militer

Peran Ankum dan/atau Papera dalam konteks sistem peradilan pidana militer sangat fundamental. Di antaranya sebagai sub sistem dalam kerangka penegakan hukum di lingkungan TNI seperti halnya penyidik Polisi Militer dan Penuntut Oditur Militer.
Ilustrasi hakim militer. Foto istockphoto.com
Ilustrasi hakim militer. Foto istockphoto.com

Salah satu perbedaan prinsip dalam sistem peradilan militer dengan peradilan umum adanya peran Ankum dan/atau Papera dalam setiap penyelesaian perkara pidana di pengadilan.

Sedangkan dalam sistem peradilan pidana pada umunya hanya dikenal polisi sebagai penyidik serta Jaksa sebagai penuntut umum. peran Ankum dan/atau Papera ini tidak menghapuskan atau mereduksi peran Polisi Militer sebagai penyidik serta Oditur Militer sebagai Penuntut Militer dalam sistem peradilan pidana militer.

Mengenal sosok seorang Ankum dan Papera

Banyak masyarakat sipil atau bahkan Sarjana Hukum pun tidak mengetahui siapa Ankum dan/atau Papera di lingkungan peradilan militer. Dengan mendasari ketentuan umum pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Ankum yang merupakan singkatan dari Atasan Yang Berhak Menghukum adalah, atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini.

Sedangkan Papera atau sering disebut Perwira Penyerah Perkara yaitu, perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang ini, mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (red. TNI) yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dengan definisi tersebut, pertanyaan selanjutnya muncul adalah siapakah pejabat di lingkungan TNI yang menjadi Ankum dan/atau Papera. Bahwasanya penunjukan seorang Perwira TNI menjadi seorang Ankum dan/atau Papera adalah berdasarkan pelimpahan wewenang dari Panglima TNI selaku Ankum tertinggi dan Papera tertinggi di lingkungan TNI dalam suatu bentuk aturan hukum berupa Peraturan Panglima TNI (red. Perpang) atau Peraturan Kepala Staf TNI AD/AL/AU.

Dengan kata lain, siapa yang menjadi Ankum dan/atau Papera serta Ankum dan/atau Papera tersebut untuk siapa (prajurit bawahan), maka diatur dalam suatu Perpang dan Peraturan Kepala Staf masing-masing matra. Jadi, tidak setiap atasan dapat menjadi Ankum dan/atau Papera. Akan tetapi, harus ada pendelegasian kewenangan dari Panglima TNI dalam bentuk regulasi di lingkungan TNI.

Maka, untuk mengetahui siapa Ankum dan/atau Papera seorang prajurit TNI yang menjadi tersangka, maka terlebih dahulu harus diketahui matra dari prajurit tersebut (AD/Al/AU), selanjutnya kesatuannya dan terakhir jenjang kepangkatannya.

Jika perkara yang melibatkan prajurit di lingkungan Mabes TNI maka yang berperan menjadi Ankum dan/atau Papera diatur dalam Perpang TNI No. 109 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Perpang No. 55 Tahun 2020 tentang Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perpang TNI No. 108 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Perpang No. 56 Tahun 2020 tentang Perwira Penyerah Perkara. Untuk prajurit TNI di lingkungan TNI AD Pejabat atau Atasan yang menjadi Ankum dan/atau Papera diatur dalam Perkasad No. 15 Tahun 2024 tentang Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perkasad No. 16 Tahun 2024 tentang Perwira Penyerah Perkara.

Kemudian, regulasi di lingkungan TNI AL diatur dalam Perkasal No.13 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Perkasal No. 40 Tahun 2020 tentang Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perkasal No.12 Tahun 2024 tentang perubahan atas Perkasal No.39 Tahun 2020 tentang Perwira Penyerah Perkara. Sedangkan ketentuan yang berlaku di lingkungan TNI AU diatur dalam Perkasau No.47 Tahun 2022 tentang Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perkasau No.48 Tahun 2022 tentang Perwira Penyerah Perkara.

Sebagai ilustrasi berdasarkan Perkasau tentang Ankum, jika seorang Komandan Lanud Tipe A (misalnya Lanud Abdurrahman Saleh Malang) bertindak selaku Ankum berwenang penuh terhadap Prajurit TNI AU berpangkat Kolonel ke bawah yang bertugas dalam struktur organisasi Lanud tipe A tersebut. kemudian pada Perkasau tentang Papera diatur seorang Komandan Lanud Tipe A (misalnya Lanud Abdurrahman Saleh Malang) bertindak selaku Papera terhadap Prajurit TNI AU golongan pangkat Letnan Kolonel ke bawah yang bertugas dalam susunan organisasi yang dipimpinnya. Sesuai ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika ada seorang prajurit TNI AU yang melakukan tindak pidana dan berdinas di Lanud Abdurrahman Saleh Malang dengan pangkat Letnan Kolonel maka yang menjadi Ankum sekaligus menjadi Papera adalah Komandan Lanud Abdurrahman Saleh.

Tugas dan Wewenang Ankum dan Papera dalam sistem peradilan pidana militer.
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 74 Undang-Undang tentang Peradilan Militer, Atasan Yang berhak Menghukum mempunyai wewenang di antaranya:

1. Melakukan penyidikan terhadap Pprajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik (Polisi Militer dan/atau Oditur Militer);

2. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik (Polisi Militer dan/atau Oditurat Militer);

3. Menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik (Polisi Militer dan/atau Oditur Militer);

4. Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.

Berdasarkan wewenang Ankum tersebut, dapat ditarik kesimpulan, yang pertama, Ankum adalah seorang penyidik akan tetapi karena adanya tugas dan tanggungjawab yang telah diembannya sebagai komandan atau panglima atau kepala satker. Tidak semua Ankum memiliki kemampuan untuk melakukan penyidikan atau proses pro yustisia. Maka, wewenang penyidikan diserahkan kepada Polisi Militer dan/atau Oditur Militer,

Kedua, Polisi Militer dalam melakukan penyidikan harus senantiasa melaporkan hasil penyidikan dan mengirim berkas perkara hasil penyidikan kepada Ankum untuk mengetahui duduk perkara anggota yang berada dibawah wewenangnya. 

Ketiga, yang mempunyai wewenang penahanan dalam perkara pidana adalah Ankum bukan Polisi Militer meskipun pelaksanaanya dilakukan oleh Polisi Militer. Akan tetapi, penahanan tersebut harus berdasarkan keputusan penahanan yang dikeluarkan oleh Ankum prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya.

Dalam Undang-Undang Peradilan Militer, telah disebutkan secara limitatif siapa yang menjadi Papera yaitu Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD/AL/AU atau pejabat lain dapat ditunjuk sebagai Papera yaitu komandan atau kepala kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Resort Militer (Korem).

Untuk menjadi Ankum tidak disebutkan minimal jabatan seorang komandan atau kepala kesatuan. Akan tetapi untuk menjadi seorang Papera sudah dibatasi minimal jabatannya. Ini karena menyangkut pelimpahan perkara ke Pengadilan Militer serta secara yuridis seorang komandan atau panglima atau kepala kesatuan mendapat delegasi wewenang langsung dari Panglima TNI atau dari Kepala Staf TNI AD/AL/AU.

Seorang Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang sebagai berikut:

1. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan;

2. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;

3. Memerintahkan dilakukannya upaya paksa;

4. Memperpanjang penahanan;

5. Menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;

6. Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;

7. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit;

8. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.

Wewenang yang dimiliki oleh Papera sebagaimana dalam Pasal 123 Undang-Undang tentang Peradilan Militer tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana sebagai berikut.

Pertama, Papera dapat memerintahkan melakukan penyidikan dan menerima hasil penyidikan karena Papera dalam konteks tertentu juga menjabat sebagai Ankum prajurit di bawah wewenang komandonya. Bahkan Papera tersebut merupakan atasan dari Ankum prajurit yang berada dibawah komandonya. 

Kedua, ketika berkas perkara berada di Oditurat Militer, Papera dapat melakukan perpanjangan penahanan. Ini karena Oditur Militer tidak mempunyai wewenang perpanjangan penahanan seperti halnya seorang Jaksa Penuntut Umum. 

Ketiga, sebelum perkara dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan (militer atau umum). Papera harus mendapatkan saran dan pendapat hukum tentang perkara prajurit yang ada dalam wewenang komandonya. Atau dengan pertimbangan tertentu, dapat dilakukan penutupan perkara demi kepentingan hukum atau kepentingan umum atau kepentingan militer. 

Keempat; syarat mutlak perkara dapat dilimpahkan ke Pengadilan maka harus ada Keputusan Penyerahan Perkara (Keppera) dari Papera terlebih dahulu, jika tidak ada Keppera maka perkara tersebut tidak dapat diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Militer dan tidak dapat diproses hukum lebih lanjut.

Kesimpulan

Dapat dikatakan peran Ankum dan/atau Papera dalam konteks sistem peradilan pidana militer sangat fundamental selain sebagai sub sistem dalam kerangka penegakan hukum di lingkungan TNI seperti halnya penyidik Polisi Militer dan Penuntut Oditur Militer. Sekaligus sebagai bentuk pengawasan dalam rangka pembinaan personel untuk mewujudkan kesiapan personel dalam menjaga kedaulatan dan pertahanan NKRI.

Peran Ankum dan Papera secara aspek yuridis, merupakan pendelegasian dari panglima sebagai Papera Tertinggi dan Ankum Tertinggi. Ini karena pada hakikatnya eksistensi peradilan militer selain menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga untuk kepentingan penyelenggaran pertahanan kemananan negara. 

Kemudian. jika dilihat secara aspek filosofis adanya prinsip-prinsip yang berlaku dilingkungan peradilan militer yaitu asas kepentingan militer dan asas kesatuan komando yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam  penegakan hukum bagi prajurit TNI. Sedangkan jika dilihat secara aspek historis, legitimasi keberdaan Ankum dan Papera merupakan kritik yuridis terhadap undang-undang hukum acara ketentaraan yang berlaku sebelumnya (UU No. 6 Tahun 1950 sebagaimana telah dirubah UU Drt No.1 Tahun 1958) yang menempatkan Jaksa Tentara untuk melakukan penuntutan dan penyidikan tanpa sepengetahuan dari Komandannya sehingga mempengaruhi kesiapsiagaan dari prajurit di kesatuan dalam melaksanakan tugas pokok pertahanan dan keamanan negara. 
 

Penulis: Mirza Ardiansyah
Editor: Tim MariNews