Mengenal Milik Beding dalam Perjanjian Utang Piutang: Hukum Tidak Memberi Kepemilikaan Lewat Keputusasaan

Hukum yang adil bukanlah yang memenangkan akal-akalan, melainkan yang menyelamatkan martabat manusia.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI

Pengantar

Di tengah ketimpangan ekonomi dan minimnya literasi hukum, perjanjian utang-piutang kerap menjadi pintu masuk praktik pengambilalihan sepihak atas harta benda seseorang. Banyak masyarakat yang karena kebutuhan mendesak, menyerahkan rumah atau tanahnya melalui perjanjian yang tampak sah secara administratif, tetapi cacat secara moral dan substansi hukum. 

Kreditur, sering kali bermodal akta jual beli atau surat kuasa jual, seolah-olah telah memiliki dasar hukum untuk menguasai aset debitur yang gagal membayar. Padahal, hukum tidak membenarkan dominasi semacam itu. Di sinilah konsep milik beding atau vervalbeding menjadi penting untuk dikenali dan dipahami sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap pihak yang rentan.

Ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata menyatakan: “Segala janji dengan mana si berpiutang dikuasakan memiliki benda yang diberikan dalam hipotik adalah batal.” Ketentuan ini menjadi tonggak perlindungan terhadap pihak yang berutang agar tidak kehilangan harta bendanya secara otomatis hanya karena gagal membayar utang. 

Hukum secara tegas melarang pemberian kuasa kepada kreditur untuk secara langsung memiliki objek jaminan. Dalam konteks kekinian, ini mencakup penolakan terhadap praktik menyelundupkan jual beli dalam relasi utang-piutang, baik melalui akta pengikatan jual beli, kuasa menjual, maupun jual beli fiktif.

Pasal 1178 KUHPerdata diperkuat oleh Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menegaskan bahwa: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji adalah batal.” Dengan demikian, hukum tidak memperkenankan pengambilalihan paksa di luar mekanisme eksekusi lelang. Tetapi bagaimana praktik ini dinilai oleh hakim di pengadilan?

Praktik Putusan Hakim

Dalam sengketa perdata yang diuji hingga tingkat peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 693 PK/Pdt/2018, Mahkamah Agung memberikan tafsir yang penting atas penerapan Pasal 1178 KUHPerdata, khususnya terkait larangan terhadap praktik milik beding.

Meskipun di atas permukaan perkara ini tampak sebagai transaksi jual beli tanah antara Sri Rahayu (almarhumah) dengan Thedjo Darmawan, namun Majelis Hakim menembus lapisan formal dari hubungan hukum tersebut dan menemukan kenyataan lain yang jauh lebih substansial.

Majelis Hakim tidak berhenti pada bentuk akta jual beli sebagai bukti sahnya peralihan hak. Sebaliknya, justru menyoroti kedudukan para pihak yang sebenarnya: Sri Rahayu sebagai pihak yang berutang, dan Thedjo Darmawan sebagai pihak yang berpiutang. Ketika diketahui bahwa peralihan hak atas tanah dan bangunan dilakukan karena debitur tidak sanggup membayar utangnya, dan nilai tanah disamakan dengan jumlah utang beserta bunganya, maka transaksi tersebut tidak lagi dilihat sebagai jual beli biasa melainkan sebagai tindakan penyalahgunaan keadaan.

Ketika seorang debitur yang berada dalam kondisi terdesak dan tidak memiliki kekuatan tawar menyerahkan tanahnya dalam suatu perjanjian yang kelihatannya “sukarela”, maka sesungguhnya telah terjadi relasi hukum yang timpang. Dalam konteks ini, hakim menggunakan pendekatan hukum progresif yakni melihat hukum tidak semata sebagai teks, tetapi sebagai alat perlindungan sosial.

Dengan menyebut adanya ketidakseimbangan keadaan antara pihak yang berutang dan berpiutang, maka merujuk pada syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya unsur “kesepakatan para pihak”, harus disertai kehendak bebas yang murni. Ketika kehendak itu lahir dalam tekanan keadaan (misbruik van omstandigheden), maka sesungguhnya kehendak itu cacat dan kesepakatan yang lahir karenanya dinyatakan batal.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2940 K/Pdt/2019, tampak kembali bagaimana Majelis Hakim menerapkan milik beding dalam perjanjian utang piutang. Perkara ini bermula dari hubungan utang-piutang, di mana pengalihan piutang kepada pihak ketiga dilakukan melalui mekanisme cessie. Namun, dalam dokumen yang disusun, terselip satu klausul penting yang menjadi pusat gugatan: disebutkan bahwa apabila batas waktu pelunasan terlampaui dan debitur tidak juga memenuhi kewajiban, maka tanah yang menjadi objek eksekusi akan langsung menjadi milik pemegang cessie.

Majelis Hakim menyatakan, klausul tersebut secara langsung bertentangan dengan ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang memberi kuasa kepada kreditur untuk memiliki benda jaminan (hipotek) secara langsung, tanpa melalui proses hukum, adalah batal demi hukum. Bahkan lebih dari itu, Mahkamah menegaskan bahwa perjanjian semacam itu dilahirkan dari sebab yang tidak halal (causa non licita), sehingga bukan hanya batal karena bentuknya, tetapi juga karena bertentangan dengan asas-asas keadilan dan moralitas dalam kontrak.

Yang menarik dari putusan ini adalah, subjek hukum yang dimaksud bukanlah kreditur awal, melainkan pemegang cessie. Artinya, bahkan pihak yang menerima pengalihan piutang tidak bisa berdalih bahwa mereka hanya melanjutkan hak dan kewajiban sebagaimana diperjanjikan sebelumnya.

Hal itu berarti, siapa pun yang menyetujui atau mengikatkan diri pada klausul yang melanggar hukum, tetap tidak memperoleh legitimasi, meski perjanjian itu dibuat oleh pihak sebelumnya. Ini menegaskan doktrin bahwa ketidakabsahan suatu klausul bersifat objektif, tidak tergantung pada siapa yang memegangnya.

Dalam Putusan Kasasi lainnya, Putusan Nomor 414 K/Pdt/2019, dalam perkara ini, hubungan hukum antara Penggugat dan Para Tergugat dikemas dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Majelis Hakim mempertimbangkan, pembuatan PPJB dan AJB tersebut sejatinya adalah instrumen untuk menguasai objek jaminan secara sepihak, akibat ketidakmampuan Tergugat melunasi utangnya.

Maka, meskipun tidak disebutkan secara langsung bahwa tanah akan menjadi milik kreditur jika debitur gagal membayar, substansi hubungan hukum menunjukkan, PPJB dan AJB digunakan sebagai jalan pintas untuk meniadakan mekanisme lelang atau proses eksekusi formal.

Majelis Hakim juga menyatakan dengan terang bahwa “tindakan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), karena dilakukan terhadap Para Tergugat yang terbukti berada dalam kondisi lemah secara ekonomi dan buta hukum”. Ini penting untuk dicatat, sebab tidak semua perjanjian yang dibuat secara sah secara administratif dapat diasumsikan lahir dari kehendak bebas. Dalam keadaan di mana salah satu pihak tidak memiliki pengetahuan hukum yang memadai dan sedang terdesak kebutuhan, maka kebebasan berkontrak menjadi semu.

Dengan dasar itu, Mahkamah menyatakan bahwa baik PPJB maupun AJB adalah batal demi hukum. Bukan hanya karena bentuk atau strukturnya, tetapi karena niat yang tersembunyi di balik pembuatannya, yakni untuk mengalihkan hak milik tanpa jalur hukum yang sah, dan dengan memanfaatkan ketidaktahuan pihak lain.

Putusan Kasasi lainnya, Putusan Nomor 3546 K/Pdt/2019, Perkara ini bermula dari utang piutang senilai Rp1.000.000.000,00, sebuah jumlah yang tentu tidak kecil, dan karenanya melahirkan keinginan kuat dari pihak kreditur untuk mengamankan piutangnya melalui jaminan. Namun yang menjadi soal bukanlah keberadaan utang itu yang bahkan diakui oleh penggugat melalui Akta Pengakuan Hutang Nomor 1 tanggal 13 November 2015 melainkan bagaimana hubungan utang tersebut diselubungi oleh akta-akta lain yang menyamarkan esensinya.

Tergugat II membuat Akta Nomor 2 tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Nomor 3 tentang Pengosongan Rumah, keduanya juga dibuat pada tanggal yang sama. Akta-akta ini, meskipun tampak sah secara administratif, justru menjadi titik masalah. Majelis Hakim dengan tegas menyatakan, akta-akta tersebut adalah bentuk perjanjian milik beding, yakni klausul tersembunyi yang memberikan hak kepada kreditur untuk memiliki objek jaminan secara langsung apabila debitur lalai, suatu bentuk yang dilarang berdasarkan Pasal 1178 KUHPerdata.

Dengan kata lain, utang piutang tidak boleh serta merta diubah menjadi jual beli hanya karena debitur belum mampu membayar. Harta benda yang dijaminkan dalam hal ini rumah atau tanah tidak boleh dialihkan melalui perjanjian diam-diam. Jika ada wanprestasi, maka jalan yang sah adalah melalui proses lelang yang transparan dan berkeadilan, bukan lewat mekanisme penguasaan sepihak.

Secara teoritis, putusan ini memperlihatkan penerapan prinsip dualitas antara substansi dan bentuk kontrak. Hukum perdata tidak membatasi bentuk kontrak, tetapi menilai isinya secara mendalam. Jika isi perjanjian mengandung ketimpangan, memanipulasi keadaan, atau menyelundupkan kepemilikan lewat jalur yang melanggar asas peradilan, maka bentuk sah tidak menyelamatkan isi yang cacat. Ini sejalan dengan teori keadilan kontraktual dari Fried dan Collins yang menekankan bahwa keabsahan kontrak tak cukup dilihat dari konsensus, tetapi juga dari proses dan akibatnya.

Melalui pembatalan akta PPJB dan pengosongan rumah, dan sekaligus penguatan terhadap akta pengakuan hutang, Mahkamah Agung membangun keseimbangan yang adil: hak kreditur untuk menagih tetap diakui, namun cara untuk menagih tidak boleh menyimpang dari hukum.

Penutup

Putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah diuraikan menunjukkan, hukum Indonesia tidak membiarkan milik beding merajalela. Dalam setiap klausul yang tersembunyi, setiap kuasa jual yang bersayap, dan setiap akta jual beli yang dibuat dalam tekanan, hukum hadir untuk membongkar lapisan-lapisan ketidakadilan.

Hukum tidak pernah berniat untuk memenangkan yang kuat semata. Ia berdiri untuk menjaga yang lemah agar tidak dikalahkan oleh akta, surat kuasa, atau janji palsu yang dibuat dalam situasi terdesak. Karena hukum yang adil bukanlah yang memenangkan akal-akalan, melainkan yang menyelamatkan martabat manusia.