Di era kemajuan teknologi, hampir seluruh informasi dapat diakses melalui sambungan internet dan tanpa harus mencari literatur konvensional seperti buku, majalah dan koran. Hal mana, memudahkan masyarakat dapatkan berbagai informasi atau data, dari mesin pencari informasi digital (search engine). Namun, data yang bersumber search engine, tidak sedikit bersifat informasi bohong atau minimal diragukan akurasinya.
Apalagi informasi tersebut, disampaikan melalui media sosial, yang tidak ada jaminan kredibilitas sumber pemberi informasi dan jauh dari prinsip etika jurnalisme. Sehingga, masyarakat wajib memilah informasi yang didapatkannya dari search engine.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI, berupaya menyampaikan berbagai informasi tidak benar (hoaks) kepada masyarakat, melalui sarana digital. Walaupun telah ditetapkan sebagai informasi hoaks, masyarakat tetap dapat mengaksesnya, sehingga merugikan individu atau subjek hukum lainnya, yang diwartakan tidak benar melalui sarana digital.
Ambil contoh, Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah diisukan menikah sebelum menempuh pendidikan Akabri. Informasi yang beredar pada 2007 tersebut, ditetapkan Komdigi RI sebagai kabar hoaks. Namun, pemberitaan negatif yang merugikan Presiden RI Ke-6, masih terus bergentayangan di dunia maya.
Contoh lainnya, informasi tentara merah China berdatangan setiap jam ke Indonesia, sejak 1 April 2024, yang kemudian ditetapkan Komdigi RI sebagai informasi hoaks. Walaupun hoaks, informasi yang beredar dapat diakses publik secara luas dan mengakibatkan keresahan masyarakat, serta berpotensi menciptakan kerusuhan sosial.
Selanjutnya, apakah individu atau badan hukum yang dirugikan akibat informasi tidak benar, dapat mengajukan permohonan penghapusan informasi tidak benar, pada sarana digital? Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, penulis menguraikan prosedur hukum, untuk memohonkan penghapusan informasi hoaks dari search engine.
Hak Individu Hapuskan Informasi Tidak Revelan Dari Search Engine (Right to Delisting)
Dalam perspektif perlindungan dan pengakuan Hak Asasi Manusia, seseorang berhak dapatkan perlindungan diri, termasuk kehormatan dan martabatnya, sebagaimana ketentuan Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain dilindungi hukum nasional, perlindungan atas kehormatan dan martabat seseorang, bahkan untuk tidak diserang kehormatan dan nama baiknya secara melanggar hukum, telah menjadi ketetapan internasional, sebagaimana Pasal 17 Ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).
Kovenan Hak Sipil dan Politik tersebut, ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui resolusi majelis umum, tertanggal 16 Desember 1966. Indonesia merupakan salah satu negara, yang mengakui keberlakuan Kovenan Hak Sipil dan Politik tersebut, dengan meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Sesuai Pasal 15 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, terdapat kewajiban penyelenggara sistem elektronik, terdiri dari setiap individu, penyelenggara negara, badan usaha dan kelompok masyarakat, yang mengoperasikan sistem elektronik, wajib melakukan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan, dengan cara penghapusan (right to erasure) dan pengeluaran dari mesin pencari (right to delisting).
Adapun langkah hukum terhadap pelaksanaan right to erasure, serupa dengan right to be forgotten dalam Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Subjek hukum yang berkeberatan terhadap informasi tidak relevan di bawah kendali penyelenggara sistem elektronik, dapat mengajukan permohonan penghapusan informasi dan/atau dokumen elektronik kepada pengadilan, sebagaimana ketentuan Pasal 26 Ayat 3 Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Selanjutnya atas penetapan pengadilan, penyelenggara sistem elektronik menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dibawah kendalinya.
Sedangkan untuk subjek hukum, yang mengambil langkah hukum right to delisting dilakukan dengan cara mengajukan permohonan ke pengadilan, sesuai Pasal 17 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik. Bilamana, permohonan right to delisting dikabulkan oleh pengadilan, maka Pengadilan dapat memerintahkan Google, sebagai mesin pencari informasi digital untuk mengeluarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dimaksud.
Namun, hukum acara permohonan right to delisting, belum diatur secara mendetil dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik.
Menurut hemat penulis, diperlukan adanya ketentuan hukum yang mengatur mekanisme right to delisting, di mana dapat berupa Peraturan Mahkamah Agung RI, seperti memberikan penjelasan atau batasan tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak relevan yang dapat diajukan permohonan right to delisting, menentukan apakah permohonan tersebut, bersifat voluntair atau mengikutsertakan Google sebagai mesin pencari informasi digital, termasuk Komdigi RI sebagai operator yang dapat menentukan informasi dan/atau dokumen digital yang diajukan permohonan, terkategori hoaks atau tidak relevan. Selain itu, dapat diatur tenggang waktu penyelesaian perkara permohonan right to delisting, upaya hukum dan pelaksanaan eksekusinya.
Demikianlah artikel right to delisting, yang pengajuannya melalui permohonan pengadilan. Semoga menambah informasi dan pengetahuan bagi para pembacanya.