Hakim memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan hukum dan keadilan dalam suatu masyarakat.
Dalam konteks hukum di Indonesia, hakim merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan berdasarkan undang-undang dan nilai-nilai moral yang berlaku.
Namun, di daerah yang memiliki kearifan lokal yang kuat seperti Minangkabau, hakim tidak hanya berpegang pada hukum positif yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus mempertimbangkan hukum adat dan nilai-nilai syariat Islam.
Dalam masyarakat Minangkabau, falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadi prinsip utama dalam menjalankan kehidupan, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun hukum. Prinsip ini menegaskan, adat harus berpijak pada syariat Islam, sementara syariat Islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.
Oleh karena itu, hakim yang mengadili perkara di lingkungan masyarakat Minangkabau harus mampu mengharmoniskan antara hukum negara, hukum adat, dan hukum Islam agar keadilan yang ditegakkan dapat diterima oleh semua pihak. Serta, tidak menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat.
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat beberapa sumber hukum yang menjadi pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara, yakni hukum tertulis seperti undang-undang, hukum tidak tertulis seperti hukum adat, serta doktrin dan yurisprudensi.
Keberadaan hukum adat diakui dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Hal itu menunjukkan bahwa hukum adat tetap memiliki posisi yang penting dalam sistem hukum nasional, termasuk dalam penyelesaian perkara yang berhubungan dengan masyarakat adat.
Di Minangkabau, yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan memiliki aturan adat yang khas dalam pengelolaan tanah ulayat, hakim harus memahami bagaimana hukum adat berperan dalam menyelesaikan sengketa tanah, warisan, dan hubungan sosial lainnya.
Prinsip “syarak mangato, adat mamakai” menjadi pedoman utama bahwa hukum Islam menjadi dasar, sedangkan adat menyesuaikan dengan penerapannya. Hakim yang memahami filosofi ini, akan lebih bijaksana dalam memutuskan perkara. Sehingga, hukum yang ditegakkan tidak hanya sesuai dengan peraturan tertulis, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dalam Islam, keadilan merupakan prinsip yang mutlak harus ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses peradilan. Konsep manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 30, mengandung makna bahwa manusia bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan, menegakkan keadilan, serta memastikan kemaslahatan bagi seluruh makhluk.
Hakim, sebagai salah satu pemegang amanah dalam sistem hukum, memiliki tugas yang sangat berat untuk tidak hanya menjalankan hukum secara prosedural tetapi juga secara substansial, dengan mempertimbangkan nilai-nilai ketuhanan, moralitas, dan etika.
Dalam surah Az-Zariyat ayat 56, menyebutkan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, yang dalam konteks peradilan dapat dimaknai sebagai menjalankan hukum dengan penuh kejujuran, keadilan, dan ketakwaan. Hal itu, sejalan dengan amanat yang diberikan kepada hakim untuk selalu berlaku adil tanpa memihak kepada pihak tertentu, sebagaimana ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 58, yang menekankan, hukum harus ditegakkan secara adil dan tidak berat sebelah.
Hakim di Indonesia juga terikat oleh kode etik yang mengatur bagaimana mereka harus bertindak dalam menjalankan tugasnya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengatur prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang oleh hakim, seperti kemandirian, integritas, kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan profesionalisme. Hakim dilarang untuk menerima suap, berperilaku tidak etis, atau memihak salah satu pihak dalam suatu perkara.
Dalam konteks Minangkabau, prinsip-prinsip ini sangat relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, karena dalam ajaran Islam dan adat Minangkabau, seorang pemimpin atau pemutus perkara harus memiliki sifat alim, bijak, dan amanah, yang mencerminkan integritas dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Hakim yang berpegang pada falsafah ini, akan lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara, karena ia memahami bahwa keadilan yang ditegakkan bukan hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat.
Dalam penerapan hukum di Indonesia, hakim sering dihadapkan pada tantangan dalam mengharmoniskan hukum positif dengan hukum adat dan hukum Islam. Salah satu contohnya adalah dalam perkara sengketa tanah ulayat di Minangkabau, di mana tanah ulayat tidak dapat diwariskan secara individual karena tanah tersebut merupakan milik kaum atau suku.
Jika hakim hanya berpegang pada hukum positif yang mengatur hak kepemilikan tanah berdasarkan sertifikat tanpa mempertimbangkan hukum adat yang berlaku, maka keputusannya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, hakim harus memahami konteks sosial dan budaya masyarakat setempat sebelum menjatuhkan putusan. Agar, hukum yang ditegakkan benar-benar mencerminkan keadilan substantif.
Konsep “alam takambang jadi guru” dalam masyarakat Minangkabau juga menjadi landasan penting bagi hakim dalam memahami hukum secara lebih luas. Alam dan kehidupan sosial masyarakat mengajarkan banyak hal yang tidak selalu tertulis dalam teks hukum, tetapi menjadi bagian dari kebijaksanaan dalam menegakkan keadilan. Hakim yang mampu memahami konteks ini akan lebih fleksibel dalam menerapkan hukum, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditegakkan.
Hakim dalam masyarakat Minangkabau memiliki peran yang sangat strategis dalam memastikan bahwa hukum tidak hanya ditegakkan secara legal-formal, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai Islam dan adat yang hidup dalam masyarakat.
Falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadi kerangka utama yang menuntut hakim untuk berpikir lebih luas dalam menegakkan keadilan.
Dengan demikian, hakim tidak hanya berperan sebagai pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan sosial yang memastikan bahwa hukum berjalan sesuai dengan prinsip kemaslahatan, kejujuran, dan keseimbangan yang diperintahkan dalam Islam serta dijunjung tinggi dalam adat Minangkabau.
Hakim harus selalu mengingat bahwa setiap putusan yang diambil bukan hanya berdampak pada individu yang berperkara, tetapi juga pada tatanan sosial masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya, hakim harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan yang berpijak pada nilai-nilai agama, adat, dan hukum negara, sehingga keadilan yang ditegakkan dapat diterima oleh semua pihak dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara luas.