Putusan Politik Uang Pilkada Barito Utara: Pendekatan Berbeda bagi Pemberi dan Penerima

Dengan menghukum berat aktor pemberi suap dan memberikan hukuman proporsional bagi penerima, pengadilan berupaya menegakkan keadilan substantif.
Ilustrasi mencegah praktik politik uang pada Pemilu 2024. Foto Bawaslu
Ilustrasi mencegah praktik politik uang pada Pemilu 2024. Foto Bawaslu

MARINews, Muara Teweh-Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh telah menjatuhkan putusan dalam dua perkara terpisah terkait praktik politik uang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Barito Utara 2024.

Kedua perkara tersebut, menyangkut pelaku pemberi dan penerima uang suap politik yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan menjelang pemungutan suara ulang (PSU) pilkada.

Putusan PN ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya, sehingga telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sesuai aturan khusus yang berlaku. Berikut kronologi dan substansi putusan yang menekankan keadilan dengan perlakuan berbeda terhadap pemberi dan penerima uang.

Kronologi Penangkapan dan Pemisahan Perkara

Kasus bermula dari operasi tangkap tangan pada 14 Maret 2025 di Muara Teweh, Barito Utara. Menjelang PSU Pilkada, tim gabungan Bawaslu dan kepolisian menggerebek sebuah rumah dan menangkap sembilan orang terduga pelaku politik uang. Barang bukti yang disita antara lain, uang tunai sejumlah Rp270 juta, lembar daftar 72 nama pemilih, contoh surat suara bertanda pasangan calon, spidol, serta karpet.

Bawaslu Barito Utara segera menindaklanjuti temuan ini ke tahap penyidikan di polres setempat karena memenuhi unsur tindak pidana pemilihan.

Dari hasil penyidikan, para tersangka dibagi dalam dua berkas perkara terpisah berdasarkan peran masing-masing. Perkara pertama melibatkan tiga orang sebagai pemberi uang (yang mengatur dan membagikan suap kepada pemilih). Perkara kedua menyidangkan dua orang penerima uang (pemilih yang diduga menerima suap).

Pemisahan ini, sesuai dengan konstruksi hukum pidana pemilu, di mana pemberi dan penerima sama-sama dapat dipidana menurut Pasal 187A UU Pilkada, namun peran dan pertanggungjawabannya dibedakan. Kedua berkas dilimpahkan ke PN Muara Teweh dan disidangkan secara paralel dalam waktu singkat mengingat batas waktu penyelesaian perkara pemilu yang hanya tujuh hari di tiap tingkat peradilan.

Proses Sidang dan Vonis di Pengadilan Negeri

Persidangan berlangsung maraton sejak awal April 2025. Pada perkara pemberi uang, ketiga terdakwa yakni Muhammad Al Ghazali, Tajali Rahman Barson, dan Widiana Tri Wibowo diadili atas dakwaan menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu.

Fakta persidangan mengungkap modus operandi mereka: dua terdakwa memperagakan contoh surat suara bergambar paslon 02 sembari menyerahkan uang kepada warga, dengan pesan “uang amanah, tolong coblos paslon 02”. Terdakwa ketiga berperan menandai daftar nama pemilih yang telah menerima uang.

Sementara itu, perkara penerima uang menyidangkan Rahmat Diatul Halim dan Haris Fadilah, dua pemilih yang kedapatan menerima amplop uang dari tim paslon 02. Menariknya, kedua orang ini bersedia menjadi saksi untuk mengungkap peran para pemberi dalam berkas perkara terpisah, sehingga mereka dianggap kooperatif dalam membongkar kasus (justice collaborator).

Setelah pemeriksaan saksi dan alat bukti, Majelis Hakim PN Muara Teweh mengeluarkan putusan pada pertengahan April 2025. Untuk tiga terdakwa pemberi uang, hakim menjatuhkan vonis 36 bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa yang sebelumnya hanya tujuh bulan penjara.

Hakim menegaskan, para pemberi uang terbukti melanggar Pasal 187A ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, karena menjanjikan dan memberikan uang demi mempengaruhi pilihan pemilih. Adapun terhadap dua terdakwa penerima uang, Majelis Hakim menjatuhkan vonis lima bulan penjara serta denda Rp200 juta subsider satu bulan kurungan.

Hukuman bagi penerima ini lebih ringan meskipun ketentuan pasal 187A ayat (2) secara normatif ancamannya sama dengan pemberi. Pertimbangan keringanan antara lain karena keduanya mengakui perbuatan, belum pernah dihukum, dan membantu mengungkap pelaku utama. Kuasa hukum terdakwa penerima menyatakan pikir-pikir atas putusan ini, demikian pula para terdakwa pemberi uang sempat mengajukan upaya hukum banding.

Pendekatan Berbeda: Pemberi Dihukum Berat, Penerima Dihukum Ringan

Perbedaan putusan tersebut mencerminkan pendekatan keadilan yang berbeda antara pelaku pemberi suap dan penerima suap. Bagi pemberi uang, pengadilan menerapkan hukuman berat sesuai batas minimum undang-undang karena perbuatannya dianggap merusak integritas demokrasi dan meresahkan masyarakat.

Majelis Hakim menilai, para pemberi tidak kooperatif dan tindakan mereka bertentangan dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Vonis 36 bulan penjara juga mengirim pesan tegas bahwa praktik politik uang sebagai kejahatan pemilu harus ditindak tegas guna memberi efek jera.

Sebaliknya, terhadap penerima uang hakim mengambil pendekatan lebih restoratif. Walau tetap dinyatakan bersalah karena menerima suap politik, hukuman 5 bulan penjara menunjukkan pertimbangan bahwa pemilih penerima sering kali merupakan pihak yang terdorong keadaan (misalnya kebutuhan ekonomi) dan pengaruh bujukan tim sukses.

Dalam kasus ini, Halim dan Haris terbukti mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap aktor intelektual di balik politik uang. Sikap kooperatif tersebut serta status mereka yang bukan pengulangan (residivis) menjadi faktor meringankan.

Pendekatan berbeda ini, mencerminkan upaya hakim untuk menyeimbangkan kepastian hukum dengan rasa keadilan di masyarakat, sehingga aktor utama mendapat ganjaran setimpal sementara pelaku yang perannya minor mendapat hukuman proporsional.

Putusan Dikuatkan Pengadilan Tinggi (Final dan Mengikat)

Jaksa Penuntut Umum maupun para terdakwa telah memanfaatkan hak banding atas putusan PN tersebut. Perkara kemudian diperiksa di Pengadilan Tinggi Palangkaraya, dan hasilnya putusan tingkat pertama seluruhnya dikukuhkan (dikuatkan) oleh majelis hakim banding. Dengan demikian, vonis 36 bulan penjara bagi pemberi dan 5 bulan penjara bagi penerima resmi menjadi putusan berkekuatan hukum tetap.

Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (8) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2018, putusan pengadilan tinggi dalam perkara pidana Pemilu merupakan putusan terakhir yang bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.

Artinya, tidak ada lagi langkah kasasi ke Mahkamah Agung untuk kasus tindak pidana pemilu, sehingga proses hukum berakhir di tingkat banding. Hal ini sejalan dengan konsep peradilan cepat untuk perkara pemilu, agar sengketa pidana pemilu segera tuntas sebelum hasil pemilihan ditetapkan.

Kesimpulan: Menjaga Demokrasi melalui Penegakan Hukum Pemilu

Putusan yang telah inkracht dalam kasus politik uang Pilkada Barito Utara ini, menegaskan pentingnya penegakan hukum pemilu yang tegas namun berkeadilan. Dengan menghukum berat aktor pemberi suap dan memberikan hukuman proporsional bagi penerima, pengadilan berupaya menegakkan keadilan substantif.

Langkah tegas terhadap politik uang sangat penting untuk menjaga kemurnian demokrasi dan melindungi kepercayaan publik terhadap proses pemilihan. Penanganan cepat dan tuntas-mulai dari penangkapan, peradilan di PN dan PT, hingga vonis final-menunjukkan komitmen aparat hukum untuk memberantas praktek kecurangan pemilu.

Pada akhirnya, konsistensi menindak politik uang akan menjadi fondasi kokoh bagi demokrasi yang sehat, di mana pemimpin terpilih benar-benar mencerminkan pilihan bebas rakyat tanpa intervensi uang.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews