Pendahuluan
Pembahasan mengenai keadilan telah menjadi diskursus oleh para filsuf dari zaman Plato, Aristoteles, hingga sekarang.
Teori-teori hukum alam yang mengutamakan the search for justice sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Pada konteks tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan cita hukum tidak lain daripada keadilan.
Artinya, keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama daripada kepastian hukum dan kemanfaatan. Nilai dan wujud keadilan tersebut kemudian tidak hanya dari tataran doktrin tetapi ditemukan pada berbagai catatan sejarah.
Beberapa catatan sejarah, menggambarkan bagaimana keadilan tersebut ditegakkan. Sejarah tersebut kemudian dikutip untuk menjadi makna abadi yang masih relevan digunakan dalam praktik peradilan era modern.
Pada ajaran Islam, keadilan mendapat porsi kajian paling penting. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, mengutip kisah Hakim Syuraih bin al-Harits al-Kindi dalam putusannya terkait sengketa baju besi antara seorang Yahudi dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagai perumpamaan pembuktian di sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019.
Khalifah Ali menghadirkan dua saksi: seorang tentaranya dan anaknya, Hasan. Hakim Syuraih menolak kesaksian Hasan walaupun Hasan adalah calon penghuni surga karena ia adalah anak kandung khalifah. Hukum Islam melarang anak menjadi saksi untuk orang tuanya sendiri. Sehingga, kesaksian tentara (satu orang) tidak cukup membuktikan.
Pencarian nilai-nilai keadilan pada catatan sejarah kemudian oleh penulis digambarkan dalam suatu istilah yaitu “mengabadikan keadilan”, yang diambil dari tulisan Margaretha Setiona yang menjelaskan “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” karya J.J. de Nijs pada 1661.
Mengabadikan keadilan mempunyai arti upaya terus menerus mencari makna (napak tilas), belajar, menerapkan serta berkomitmen untuk menjaga agar nilai-nilai keadilan tetap hidup, relevan, dan berdampak positif dalam masyarakat, baik saat ini maupun di masa depan atau dengan sederhana mewariskan nilai keadilan.
Pada konteks refleksi hakim yang ideal dan profesional di era modern, maka nilai yang terkandung pada lukisan Karya Nijs masih relevan untuk diwujudkan melalui pendekatan holistik.
Catatan singkatnya, “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” merupakan lukisan dari abad ke-18 ini berdimensi 916 x 323, menjadikan lukisan satu dari sekian lukisan yang cukup panjang dan besar yang dipamerkan dalam Museum Sejarah Jakarta (atau dikenal dengan nama Museum Fatahillah). Dahulu, pada masa penjajahan gedung ini berfungsi sebagai ruang pengadilan (Raad Van Justitie atau Dewan Pengadilan, dan College van Schepenen atau Dewan Kotapraja).
Lalu, apa korelasi lukisan tersebut dengan gedung Raad Van Justitie atau Dewan Pengadilan pada zaman penjajahan Belanda? “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” ternyata menceritakan tiga kisah keputusan pengadilan oleh tiga raja yang berbeda.
Di sisi kiri, terlihat Raja Cambyses dari Persia menghukum seorang hakim yang korup. Di bagian tengah, terdapat kisah terkenal tentang Raja Salomo melalui kebijaksanaannya terhadap perebutan bayi antara dua perempuan. Di sisi kanan, lukisan menampilkan Raja Zaleukos dari Lokri yang rela mengorbankan salah satu matanya demi menegakkan keadilan. Lukisan ini menjadi pengingat nilai keadilan bagi para hakim di Raad Van Justitie.
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai fakta sejarah karya “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan”, nilai-nilai keadilan dalam karya J.J. de Nijs, sekaligus menjelaskan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam praktik peradilan modern. Nilai apa yang dapat dipelajari (pencarian makna keadilan). Sehingga, nilai tersebut dapat direfleksikan dan diterapkan pada hakim dalam menghadapi problematika nilai-nilai integritas. Seorang hakim dapat menjadi sosok yang ideal dan profesional di era modern.
Fakta Sejarah “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan”
Keadilan telah menjadi topik diskusi yang mendalam dalam filsafat hukum sejak zaman Yunani Kuno. Seperti yang disinggung sedikit, tiap era mempunyai nilai keadilan yang dapat kita pelajari. “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” juga menggambarkan tiga kisah dari era yang berbeda.
Gambar 1: Tampak 3 (tiga bagian lukisan), yang paling kiri kisah Raja Cambyses dari Persia, tengah Kisah Raja Salomo, dan kanan kisah Raja Zaleukos dari Lokri.
Berikut adalah uraian sejarah dari masing-masing bagian lukisan:
1. Kambisus II adalah Raja Diraja (Kaisar) Iran dari Dinasti Akhemeniyah dan berkuasa pada 530-522 SM. Dia adalah putra dan penerus dari Koresy Agung. Koresh Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Koresh.
Hakim pada zaman Kambisus II dijunjung tinggi, karena mereka dianggap orang-orang yang arif dan bijaksana, yang mengetahui kebiasaan zaman, ahli undang-undang dan hukum.
Herodotus menceritakan ada seorang hakim bernama Sisamnes yang telah memberikan keputusan yang tidak adil sebagai imbalan suap. Kambisus II lalu menghukum dengan cara “menguliti”, kemudian dari potongan-potongan kulit tersebut digunakan untuk menutupi kursi pengadilan.
Kursi tersebut digunakan oleh anaknya, Otanes yang diangkat menjadi hakim baru menggantikan ayahnya. Kursi itu menjadi peringatan keras terhadap orang-orang yang “menduduki-nya” agar tetap berperilaku adil dan tidak korupsi. Hukum begitu ditegakkan, sehingga orang Yahudi menyatakan Hukum Persia dan Media tidak ada yang dapat mengubah.
2. Salomo adalah seorang raja Israel kuno dan putra serta penerus Raja Daud. Perkiraan tanggal pemerintahan Salomo adalah antara tahun 970–931 SM. Raja Salomo mendapatkan anugerah hikmat dan pengertian (kebijaksanaan), di mana tidak ada satupun orang paling bijaksana di dunia sesudah Raja Salomo. Kisah kebijaksanaan Raja Salomo yang terkenal ditulis dalam Alkitab 1 Raja-raja 3:16-28, sebagai berikut:
Dua perempuan sundal tinggal bersama di satu rumah dan masing-masing melahirkan seorang anak. Salah satu bayi meninggal karena kecelakaan pada malam hari, dan ibu dari bayi yang mati diam-diam menukar anaknya dengan bayi tetangganya yang masih hidup. Keesokan harinya, terjadilah perselisihan antara kedua perempuan tersebut, masing-masing mengklaim bahwa bayi yang hidup adalah miliknya.
Mereka menghadap Raja Salomo untuk meminta keputusan. Salomo memerintahkan agar pedang diambil dan bayi yang hidup dipotong menjadi dua, separuh untuk masing-masing wanita. Perempuan yang merupakan ibu sebenarnya dari bayi itu, penuh belas kasihan, langsung memohon kepada raja untuk memberikan bayi itu kepada perempuan lain demi menyelamatkan nyawanya. Namun, perempuan lain setuju dengan keputusan raja untuk membagi bayi itu.
Melalui reaksi mereka, Salomo dapat mengenali mana yang benar-benar ibu kandung dari bayi tersebut: ia yang lebih mencintai dan melindungi anaknya. Salomo kemudian memberikan bayi itu kepada perempuan pertama, dan keputusan bijaksana ini membuat seluruh Israel takjub serta mengakui bahwa hikmat Allah ada dalam diri Salomo.
3. Zaleucus adalah seorang pembuat hukum Yunani kuno dari Epizephyrian Locris di Magna Graecia, yang hidup pada abad ke-7 SM. Zaleucus dikenal sebagai perancang kode hukum tertulis pertama di Eropa, yaitu Kode Locrian. Salah satu hukum yang ditulisnya adalah penghukuman bagi berzinah dengan perampasan penglihatan atau pencungkilan mata.
Suatu ketika anak dari Zaleucus melakukan perzinahan. Alih-alih menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan hukuman anaknya, Zaleucus tetap mencungkil satu mata anaknya, sedangkan ia sendiri mencungkil matanya sendiri sebagai konsekuensi karena tidak bisa mendidik anaknya sekaligus menyelamatkan mata anaknya dari kebutaan total, tanpa menghindari hukuman.
Nilai Keadilan pada “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” dan Refleksi Nilai Keadilan Bagi Hakim yang Ideal dan Profesional di Era Modern
Keadilan merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hakim, sebagai penjaga keadilan, memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dengan keputusan yang mencerminkan moral dan kebijaksanaan.
Namun, di era modern, hakim menghadapi tantangan kompleks seperti tekanan masyarakat, suap, konflik kepentingan, dan perubahan sosial. Dalam konteks ini, karya seni seperti “Tiga Keputusan Pengadilan” karya J.J. de Nijs menunjukkan bahwa problematika tersebut telah ada sejak jaman dahulu.
Namun, kita dapat belajar juga bagaimana keputusan diambil dan nilai keadilan tetap ditegakkan. Lukisan ini, yang menggambarkan tiga adegan dinamika pengadilan berbeda, tidak hanya menampilkan keadilan secara visual, tetapi juga menyiratkan nilai-nilai universal seperti integritas, empati, dan kebijaksanaan, yang relevan bagi para hakim di masa kini.
Pada lukisan pertama, menggambarkan bagaimana permasalahan korupsi atau suap di dunia peradilan yang terjadi sampai saat ini. Romli Atmasasmita sendiri telah menyatakan, korupsi di Indonesia yang menyebar di tubuh pemerintahan sejak 1960-an dan pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai sekarang.
Terakhir, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan suap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Refleksi yang dapat diambil dari “Tiga Keputusan Pengadilan” adalah penghukuman terhadap Hakim yang menerima suap bisa menjadi hukuman paling tinggi dibandingkan Pejabat Negara lainnya, karena hakim (sebagai wakil Tuhan di dunia) dengan jabatan luhur-nya merupakan harapan terakhir masyarakat untuk memperoleh keadilan, sehingga penyalahgunaan kewenangannya memiliki konsekuensi berbanding dengan kehormatan dan kepercayaan yang diberikan.
Pada zaman Raja Kambisus II, hukuman hakim yang melakukan suap adalah dikuliti, selanjutnya kulit tersebut dijadikan lapisan kursi pengadilan sebagai peringatan keras terhadap orang-orang yang “menduduki-nya” agar tetap berperilaku adil dan tidak korupsi.
Pada era sekarang, mungkin tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan, namun menjadi peringatan keras bahwa hukuman maksimal dapat saja diberikan kepada hakim yang menerima suap, karena keadilan tidak dapat diperjual-belikan. Hidup bermoral (bersih) merupakan fondasi dasar bagi Hakim untuk mengadili suatu perkara.
Haris Azhar, menyadur kisah Yesus dalam menghadapi sebuah perkara untuk mengadili seorang perempuan yang berzinah. Ia dibawa ke hadapan Yesus dan para ahli agama untuk dihukum rajam.
Kemudian Yesus menyatakan, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu ke perempuan ini”. Haris Azhar mengutip kisah ini untuk menggambarkan bahwa tidak boleh seseorang menghukum yang lain apabila tangan-nya sendiri kotor, demikian juga seorang hakim harus senantiasa bersih.
Pada lukisan kedua, menggambarkan bagaimana problematika menghadapi permasalahan dan memberikan putusan seadil-adilnya, walaupun bukti yang dihadirkan sangatlah minim dan dengan teknologi yang belum maju.
Seorang Hakim modern harus mampu berpikir di luar kotak untuk menggali kebenaran, terutama dalam kasus-kasus yang sulit atau minim bukti. Tentu juga melatih intuisi dan kebijaksanaan dalam memutus perkara. Tidak lupa yang terpenting, bahwa Salomo mendapatkan kebijaksanaan dari ibadah yang dijalani, begitu juga Hakim harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan berdasarkan ajaran Agama yang dianut.
Hasilnya, keputusan yang adil dan transparan akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, sama seperti rakyat Israel yang akhirnya mempercayai kepemimpinan Raja Salomo.
Terakhir, lukisan ketiga menggambarkan bagaimana menghadapi kasus yang berhubungan dengan kepentingan pribadi. Zaleucus tetap menegakkan hukum (keadilan), walaupun anak-nya yang dihukum, bahkan menghukum dirinya karena kesalahan anaknya. Kisah Zaleucus memberikan pelajaran moral tentang pentingnya hukum dalam menciptakan tatanan sosial yang adil. Tindakannya menjadi teladan bagi masyarakat tentang pentingnya menaati hukum.
Demikian juga hakim, dituntut untuk tetap independen, tidak memihak dalam menegakkan hukum walaupun ada konflik kepentingan dalam perkara yang ditangani. Jika hal demikian terjadi, maka upaya pertama yang harus dilakukan oleh seorang hakim adalah mundur dari penanganan perkara. Hakim dituntut berintegritas dan memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat bahwa hukum yang adil adalah hukum yang ditegakkan kepada siapapun (equality before the law).