Memahami filosofi stoa dan bagaimana mungkin terdapat keselarasan dengan ajaran Rasulullah Muhammad SAW yang dapat menjadi pegangan aparat penegak hukum dalam dunia peradilan dimulai dari polisi, jaksa, pengacara dan hakim.
Filosofi Stoa: Selayang Pandang
Stoikisme adalah aliran filsafat yang berkembang pada era Helenistik, dimulai di Athena oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Inti dari ajaran stoik adalah keyakinan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati, dan bahwa kita harus hidup selaras dengan alam dan akal. Beberapa prinsip dasar stoikisme mencakup di antaranya:
- Hiduplah Selaras dengan Alam:
Alam semesta mengikuti hukum rasional (logos), dan manusia perlu hidup sesuai dengannya, yang berarti menerima hal-hal di luar kendali kita serta berfokus pada pikiran dan tindakan kita sendiri.
- Kebajikan Sebagai Tujuan Utama:
Kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri adalah kebajikan utama yang harus diperjuangkan, dan kehidupan yang baik adalah hidup yang sejalan dengan kebajikan tersebut.
- Dikotomi Kendali:
Ada hal-hal yang dapat kita kontrol (seperti opini dan pilihan) dan yang tidak (seperti kesehatan dan reputasi). Kita sebaiknya lebih mengutamakan yang pertama dan menerima yang kedua dengan lapang dada.
- Ketidakpedulian terhadap Hal Eksternal (Luar Kendali):
Stoikisme mengajarkan apatheia, yang berarti tidak membiarkan emosi negatif menguasai diri kita karena pengaruh luar. Ketenangan batin dapat dicapai dengan tidak terikat terlalu kuat pada hasil atau pendapat orang lain.
- Hiduplah di Saat Ini:
Fokus pada saat sekarang merupakan kunci kebahagiaan dan ketenangan. Kekhawatiran akan masa depan dan penyesalan akan masa lalu dianggap tidak berguna.
Dalam ajaran Rasulullah Muhammad SAW: Pondasi Utama
Ajaran Rasulullah Muhammad SAW yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah meliputi beberapa pilar utama:
- Tauhid yang mengesakan Allah sebagai Tuhan yang satu-satunya pantas disembah, yang merupakan esensi dari ajaran Islam.
- Iman kepada rukun iman yang percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul, hari akhir, serta qada dan qadar.
- Pelaksanaan rukun Islam yang meliputi syahadat, salat, zakat, puasa Ramadan, dan haji bagi yang mampu.
- Akhlak mulia yang menekankan pentingnya karakter yang baik seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan pengendalian diri.
- Keseimbangan antara dunia dan akhirat yang menekankan bahwa Islam mengajarkan pencarian kebaikan di dunia dengan tujuan utama menuju kehidupan akhirat.
Terdapat Potensi Keselarasan antara Stoikisme dan Ajaran Rasulullah
Meskipun stoikisme adalah sebuah filsafat dan Islam merupakan agama wahyu, terdapat beberapa keselarasan dalam prinsip moral dan etikanya:
- Pengendalian Diri dan Disiplin:
Stoikisme menekankan pengendalian emosi dan keinginan, sedangkan Islam mendorong umatnya untuk bersabar dan menghindari perilaku buruk. Konsep zuhud dalam Islam, yang menekankan hidup sederhana dan tidak terlampau mencintai dunia, serupa dengan ketidaklekatan terhadap hal eksternal dalam stoikisme.
- Menerima Takdir dan Berserah Diri:
Konsep amor fati dalam stoikisme sejalan dengan qada dan qadar dalam Islam, di mana meskipun penting untuk berusaha, seorang Muslim diajarkan untuk bertawakal kepada Allah atas hasilnya. Sikap menerima ketentuan dengan lapang dada juga sejalan dengan prinsip Stoikisme tentang menerima hal-hal yang tidak dapat dikendalikan.
- Kebijaksanaan dan Keadilan:
Stoikisme menempatkan kebijaksanaan dan keadilan sebagai kebajikan utama, sementara dalam Islam, hikmah dipandang sebagai sifat terpuji, dan keadilan adalah pilar penting dalam hubungan baik antara manusia dan Tuhan.
- Fokus pada Tindakan dan Niat: Stoikisme mengutamakan pentingnya melakukan tindakan yang benar. Dalam Islam, nilai suatu tindakan sangat bergantung pada niat yang mendasarinya, sehingga keduanya menekankan kualitas internal dan motivasi.
- Ketahanan Menghadapi Kesulitan:
Stoikisme mengajarkan untuk bersikap tegar dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan, sedangkan dalam Islam, ujian hidup dianggap sebagai cara untuk memperkuat iman jika dihadapi dengan kesabaran.
Namun, Stokisme memiliki perbedaan mendasar dengan ajaran Rasulullah SAW, di mana Rasulullah menekan selain daripada amar ma'ruf yang erat kaitannya dengan filosofi stoa yang menekankan akhlakul karimah, namun juga kita diajarkan mengenai nahi munkar yang menjadi perbedaan mencolok dengan stoisme.
Tentu, mari kita bahas lebih lanjut mengenai konsep amar ma'ruf nahi munkar dalam Islam.
Secara harfiah, amar ma'ruf berarti memerintahkan atau mengajak kepada kebaikan, sedangkan nahi munkar berarti mencegah atau melarang dari kemungkaran atau keburukan.
Secara istilah, amar ma'ruf nahi munkar adalah salah satu prinsip fundamental dalam Islam yang mewajibkan setiap Muslim yang mampu untuk:
- Mengajak dan mendorong orang lain untuk melakukan perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran Islam. Ini bisa berupa nasihat, contoh teladan, pendidikan, atau tindakan nyata yang memfasilitasi kebaikan.
- Mencegah dan melarang orang lain dari melakukan perbuatan buruk atau mungkar yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari memberikan nasihat dengan cara yang baik, mengingatkan dengan lembut, hingga mengambil tindakan yang lebih tegas sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang dimiliki.
- Dasar hukum dalam Al-Qur'an dan hadis:
Konsep amar ma'ruf nahi munkar memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur'an dan hadis, di antaranya:
Al-Qur'an Surah Ali Imran (3): 104:
{وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ}
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Al-Qur'an Surah Ali Imran (3): 110:
{كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ}
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
Hadis Rasulullah SAW:
Dari Abu Sa'id al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:
{مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ}
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya (nasihatnya). Jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (mengingkarinya), dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim)
- Tingkatan Amar Ma'ruf Nahi Munkar:
Berdasarkan hadis di atas, terdapat tiga tingkatan dalam melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar:
1. Dengan Hati (Bil Qalb): Ini adalah tingkatan yang paling rendah, yaitu mengingkari kemungkaran dalam hati dan membencinya. Ini menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan atau lisannya. Meskipun demikian, penting untuk tetap memiliki perasaan tidak suka terhadap kemungkaran.
2. Dengan Lisan (Bil Lisan): Ini adalah tingkatan nasihat dan teguran yang disampaikan dengan disesuaikan dengan kondisi dan situasi nya, dan tentunya di awal harus lah mengutamakan terlebih dahulu cara yang paling arif dan bijaksana, jika tidak berhasil maka dapat ditingkatkan dengan dimulai dari mengajak pada kebaikan, melarang kemungkaran, meningkatkan kesadaran, sampai kepada menegakkan keadilan dengan lisan yang hasil nya wajib kita serahkan kepada Allah Subhana Wata'ala. Ini berlaku bagi setiap Muslim yang melihat kemungkaran dan mampu memberikan nasihat.
3. Dengan Kekuasaan/Tangan (Bil Yad): Ini berlaku bagi mereka yang memiliki wewenang dan kekuasaan, seperti pemimpin negara/lembaga negara, orang tua dalam keluarga, atau atasan di tempat kerja atau badan yang memang memiliki kewenangan. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mencegah kemungkaran dan menegakkan kebaikan dalam lingkup kekuasaannya. Atau hal ini juga dapat dilakukan oleh siapa saja dengan memberitahukan kemungkaran kepada yang berhak.
Perbedaan mendasar dan signifikan antara ajaran filosofi stoikisme dan ajaran Rasulullah SAW adalah selain daripada konsep ketuhanan dan ibadah, stoikisme lebih menekankan kepada pengendalian diri dan penerimaan terhadap hal-hal eksternal yang tidak dapat dikontrol.
Sedangkan dalam ajaran Rasulullah SAW, selain daripada menerima apa yang bisa dikontrol atau tidak, diwajibkan untuk berjuang dalam konsep mujahadah untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dimulai dari lisan sampai kepada kekuatan.
Walaupun filosofi stoikisme dan ajaran Rasulullah Muhammad SAW berasal dari konteks dan sumber yang berbeda, terdapat beberapa kesamaan dalam prinsip moral dan etika, terutama terkait pengendalian diri, penerimaan takdir, kebijaksanaan, keadilan, dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Namun, perbedaan mendasar dalam sumber kebenaran, konsep ketuhanan, tujuan hidup, dan dimensi spiritual harus tetap dipertimbangkan. Kesamaan dalam beberapa aspek moral mungkin mencerminkan nilai-nilai universal yang bermanfaat bagi umat manusia. Namun, bagi umat Islam, ajaran Rasulullah SAW yang bersumber dari wahyu Ilahi tetap menjadi panduan hidup utama dan menyeluruh.
Baik filosofi stoikisme dan ajaran Rasulullah adalah dua pelajaran penting yang dapat direnungkan dan diterapkan bagi seluruh aparat penegak hukum dan dunia peradilan. Dimulai dari polisi, jaksa, pengacara dan hakim untuk bersama-sama memberikan keadilan.