Seberapa Penting Arti Sebuah Pencitraan?

Lembaga peradilan seharusnya menjadi pelindung terakhir bagi kebenaran dan keadilan, tetapi jika terjebak dalam pencitraan, harapan untuk mencapai keadilan sejati menjadi sangat tipis.
Ilustrasi pencitraan. Foto freepik.com
Ilustrasi pencitraan. Foto freepik.com

"Dunia ini Panggung Sandiwara, cerita nya mudah berubah". Begitulah sedikit penggalan lagu Achmad Albar. 

Ketika sebuah lembaga atau institusi, apa pun jenisnya, lebih mengutamakan citra positif (pencitraan) daripada kebenaran dan perbaikan sistem, dengan substansi yang mendasar, pondasi  yang mereka bangun menjadi lemah dan tujuan utama menjadi tidak jelas. Ini dapat terjadi di berbagai lembaga, termasuk pemerintahan, organisasi nirlaba, hingga perusahaan.

Beberapa konsekuensi serius dari mentalitas ini meliputi:

- Penolakan Terhadap Masalah Nyata 

Fokus pada citra positif sering kali membuat lembaga menutup mata terhadap masalah yang ada, baik internal maupun eksternal. Alih-alih mencari solusi, mereka lebih memilih menghabiskan energi menciptakan narasi menarik atau kampanye propaganda meyakinkan, meskipun itu tidak mencerminkan kenyataan, berlindung di balik sistem atau permainan lain yang dapat menutupi, namun tidak menghilangkan manipulasi yang ada di dalamnya. 

Misalnya ada peristiwa banjir yang menimpa, alih-alih melakukan langkah strategis seperti membuat sistem drainase yang baik, membuat aturan hukum bagi mereka yang mencemari atau buang sampah dalam sistem drainase, namun yang terjadi, energi hanya habis melakukan peninjauan agar terlihat ada, program hanya berupa bantuan demi bantuan setiap tahun tanpa adanya pembangunan nyata. 

- Kurangnya Akuntabilitas 

Jika citra menjadi prioritas utama, mekanisme akuntabilitas menjadi lemah. Kesalahan dan kegagalan sering kali ditutupi atau dialihkan ke pihak lain demi menjaga reputasi, yang menghalangi introspeksi dan pembelajaran dari kesalahan. Hal ini sering sekali terjadi dalam suatu sistem, sehingga mematahkan semangat perbaikan seperti yang digambarkan Fyodor Dostoyevsky  "The brave one die, the smart one go mad, and the world remains full of happy fools". Digambarkan seolah yang berani akan mati, yang bijak dan mampu berfikir akan gila, dan dunia dipenuhi oleh orang-orang yang tidak benar-benar peduli dengan perbaikan. 

Sistem yang mengutamakan pencitraan di dalamnya terdapat manipulasi dan sistem yang manipulatif, biasanya akan berusaha menutup diri dan melindungi diri untuk mempertahankan status quo yang mungkin selama ini telah menguntungkan beberapa pihak.

- Keputusan yang Tidak Berdasarkan Fakta

Kebijakan dalam lembaga yang fokus pada citra sering kali dibuat hanya berdasarkan pertimbangan Public Relations (PR), dibandingkan dengan analisis data dan kebutuhan nyata, yang dapat menghasilkan solusi tidak efektif atau bahkan kontraproduktif. 

Sering sekali sang pemegang kuasa atau penentu kebijakan lebih sibuk menutupi dan mempertahankan citra daripada mengakui dan melakukan perbaikan, dalam alam psikologinya ketika ada suatu permasalahan, alih alih segera menerapkan perbaikan dengan sebaik mungkin dengan penuh tanggung jawab, akan tetapi lebih disibukkan dengan cara bagaimanapun agar permasalahan tersebut tetap tersembunyi dan tidak dianggap suatu masalah. 

Padahal tanggung jawab pemegang kebijakan adalah bukan dari seberapa banyak permasalahan yang berhasil disembunyikan untuk mempertahankan citra bahwa semua baik baik saja, tetapi tanggung jawab pemangku kebijakan ada pada seberapa banyak yang diperbaiki dan memiliki perubahan positif untuk menciptakan iklim sistem yang sehat untuk ketahanan dan kebenaran secara substansial.

- Jurang antara Persepsi dan Realitas: 

Semakin besar perbedaan antara citra yang dibangun dan realitas internal, semakin besar pula risiko kekecewaan dan hilangnya kepercayaan dari pihak-pihak terkait, seperti masyarakat, anggota, dan pemangku kepentingan (stakeholder). Hal ini dapat diperbesar apabila pemangku kebijakan tidak memiliki kompetensi yang memadai, dalam buku yang ditulis Plato berjudul "The Republik" dapat dipahami, meskipun demokrasi dilakukan dengan sistem pemilihan, namun, jika dilakukan orang yang tidak mengerti maka dapat menghasilkan pemangku kebijakan tidak mumpuni dan memiliki kompetensi. 

Socrates lebih keras lagi berpendapat, demokrasi rentan terjadi demagogue, singkatnya masyarakat lebih senang memilih si penjual permen manis asalkan itu menyenangkan, walaupun menimbulkan penyakit, dan tidak menyukai dokter karena obatnya pahit dan tidak menyenangkan. 

- Hambatan bagi Inovasi dan Perbaikan 

Budaya yang terlalu mementingkan citra cenderung menghindari risiko dan perubahan. Mengakui masalah dan berupaya memperbaikinya dianggap dapat merusak citra positif yang telah dibangun, sehingga inovasi dan perbaikan sistem terhambat atau hanya sebatas pencitraan, sedangkan perbaikan nyata sering kali tertutupi dan pemangku kepentingan (stakeholder) harus mengikuti pola lama dan terjebak dalam suatu manipulasi untuk mempertahankan status quo. 

- Ketidakpercayaan Internal 

Anggota atau karyawan yang menyaksikan ketidaksesuaian antara citra yang dipromosikan dan kenyataan sehari-hari, bisa merasa tidak dihargai atau bahkan dibohongi, yang dapat menurunkan semangat, produktivitas, dan loyalitas. Pada akhirnya seringkali dihadapkan pada dilema pilihan Integritas atau loyalitas yang dibenturkan. 

- Kerentanan terhadap Krisis:

Lembaga yang membangun citra di atas dasar pondasi yang rapuh, sangat rentan terhadap krisis. Ketika kebenaran terungkap atau skandal terjadi, dampaknya bisa jauh lebih besar, mengingat ekspektasi positif yang telah terbentuk.

Di mana, sekali lagi energi dihabiskan hanya untuk membentuk citra baru, mencari validasi semu, dan tambal sulam lagu lama yang berulang kali terbongkar dan tertutupi tanpa adanya substansi yang menjadi lebih baik dan lingkungan yang lebih baik. 

Dalam jangka panjang, lebih mengutamakan pencitraan dibandingkan kebenaran dan perbaikan sistem adalah strategi yang tidak berkelanjutan. Kepercayaan merupakan aset berharga bagi setiap lembaga dan kepercayaan yang sejati hanya bisa terbangun melalui transparansi, kejujuran, dan komitmen untuk terus melakukan perbaikan.

Apa yang dapat terjadi jika lembaga peradilan dan penegak hukum lebih mementingkan citra ketimbang perbaikan sistem yang mendasar? Ketika penampilan lebih diprioritaskan daripada substansi, fondasi keadilan menjadi rapuh, dan kepercayaan publik mulai berkurang.

Beberapa akibat serius yang mungkin timbul antara lain adalah keputusan yang tidak adil.

Fokus pada citra dapat menghasilkan keputusan yang dipengaruhi oleh tekanan publik, kepentingan politik, atau keinginan untuk mempertahankan reputasi lembaga, bukan berdasarkan fakta dan hukum yang ada. Ini dapat menyebabkan orang bersalah dibebaskan sementara yang tidak bersalah dihukum demi menjaga citra.

Lebih jauh lagi, ada risiko terjadinya manipulasi bukti dan prosedur. Dalam usaha untuk membangun citra lembaga yang efektif, bisa muncul dorongan untuk mempercepat proses hukum dengan mengabaikan keadilan prosedural, bahkan memanipulasi bukti agar sesuai dengan narasi yang diinginkan.

Selain itu, korupsi terselubung juga bisa muncul, di mana citra yang baik digunakan untuk menutupi praktik korupsi dalam lembaga. Upaya untuk mengungkap kebenaran bisa terhambat demi menjaga citra positif di mata publik. Ini bisa berujung pada hilangnya kepercayaan publik yang signifikan; jika masyarakat merasa lembaga peradilan lebih peduli pada penampilan daripada keadilan, kepercayaan mereka akan memudar. Hal ini berisiko memicu ketidakstabilan sosial dan menggerogoti legitimasi lembaga, serta memberikan perlindungan bagi pelanggar, karena individu atau kelompok dengan koneksi mungkin merasa kebal hukum jika institusi peradilan hanya fokus pada pencitraan.

Jika pencitraan menjadi prioritas, ketidakadilan sistemik bisa merajalela, di mana isu-isu mendasar dalam sistem peradilan, seperti diskriminasi dan ketidaksetaraan akses terhadap keadilan, sering terabaikan. Lebih banyak perhatian diberikan pada penampilan lembaga daripada bagaimana lembaga itu berfungsi untuk semua individu.

Integritas profesi juga bisa hilang, di mana para profesional di bidang peradilan seperti hakim, jaksa, dan pengacara merasa tertekan untuk mengorbankan integritas demi menjaga citra lembaga atau mengikuti arahan atasan yang lebih mengutamakan penampilan.

Dalam situasi seperti ini, menciptakan masyarakat yang adil dan beradab menjadi sangat sulit. Lembaga peradilan seharusnya menjadi pelindung terakhir bagi kebenaran dan keadilan, tetapi jika terjebak dalam pencitraan, harapan untuk mencapai keadilan sejati menjadi sangat tipis.

Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa substansi-yakni penerapan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel-ada di fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Pencitraan yang dibangun di atas dasar yang rapuh hanya bersifat sementara dan akan runtuh saat kebenaran muncul.

Pihak berwenang yang hanya fokus pada citra akan bergantung pada kampanye, berusaha mencari pengakuan, dan mungkin mencoba membungkam kritik yang mengarah pada perbaikan, karena hal ini dapat mengganggu status quo yang telah terbangun.

Akibatnya, praktik korupsi dan manipulasi demi mempertahankan citra akan terus berlanjut. Perbaikan hanya dapat dilakukan jika kita benar-benar menyadari perlunya perubahan.

Selain itu, perbaikan dari suatu institusi agar tidak hanya sampai pada tahap pencitraan, sepatutnya dimulai dari pola rekruitmen awal yang jujur, reliable dan bersih, jauh dari pertimbangan apapun selain daripada kompetensi sampai dengan penentuan kapasitas sebagai pimpinan, tidak hanya berdasarkan pangkat yang sudah mencukupi, dia gerbong atau orangnya siapa, dia bawaan siapa, dan lain sebagainya sampai dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berkembang. 

Menurut pembaca MARINews, apa indikator yang paling jelas bahwa suatu lembaga lebih memprioritaskan citra daripada substansi, dan langkah konkret apa yang dapat diambil untuk mengembalikan fokus kepada substansi serta integritas? Mengapa, banyak orang memilih jalur pencitraan yang dangkal ketimbang menghadapi kebenaran yang mungkin pahit dan melakukan perbaikan mendasar?