Mungkin Pembaca MARINews pernah mendengar Peribahasa Melayu "Tikus Mati di Lumbung Padi, Negara Kaya tapi rakyatnya tidak menikmati", jika belum, maka penulis akan menceritakan sebuah kisah hikayat tentang seekor tikus yang menemukan sebuah lumbung padi.
Di sudut sebuah lumbung padi yang melimpah, ada seekor tikus cerdik yang terkenal karena kemampuannya menemukan celah. Suatu hari, ia berhasil menyelinap ke dalam lumbung yang penuh butiran beras. Mata si tikus berbinar melihat "harta karun" itu.
Tanpa menunggu lama, ia segera melahap beras dengan rakus, seolah-olah tidak akan ada hari esok. Meskipun perutnya membuncit dan tubuhnya semakin gemuk, ia tak menghiraukannya. Setiap suapan memberinya kepuasan luar biasa, dan ia terus menimbun lebih banyak beras. Terhanyut oleh kesenangan sesaat, ia sepenuhnya lupa diri.
Setelah merasa kenyang, tikus itu berusaha kembali ke lubang kecil tempat ia masuk.
Betapa terkejutnya ketika mendapati tubuhnya kini terlalu besar untuk melewati lubang tersebut. Ia berusaha keras, mendorong, menarik, bahkan menggigit sisi lubang, tetapi semua usaha itu sia-sia. Ia sangat terperangkap dalam "penjara" yang diciptakannya sendiri.
Rasa panik melanda saat dia teriak dan menggaruk-garuk, namun tidak ada yang membantu. Hari berganti malam, rasa lapar dan haus mulai menghantui, ditambah rasa lelah yang luar biasa. Si tikus terus mencoba, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak bebas. Pada akhirnya, di tengah tumpukan beras yang dulunya ia rebut dengan rakus, ia tenggelam dalam keputusasaan dan mati, terpukul oleh keserakahan sendiri.
Makna filosofis di balik kisah cerita tentang tikus ini mengajarkan pelajaran penting yang lebih dari sekadar kisah hewan:
- Kita dapat Terjebak dalam Keserakahan
Tikus itu terbuai oleh keinginannya untuk memiliki dan mengonsumsi lebih banyak tanpa mengetahui kapan harus berhenti, dan hal ini menjadi bencana baginya. Ini menggambarkan bagaimana keserakahan bisa menjadi jebakan berbahaya, menjauhkan kita dari akal sehat dan konsekuensi.
- Kehilangan Kebebasan karena Ketidakpuasan yang dirasakan
Ironisnya dengan menimbun terlalu banyak (butiran beras), tikus justru kehilangan kebebasannya. Ia terperangkap dalam situasi yang diciptakannya. Ini mengajarkan bahwa apa yang kita kejar secara berlebihan dan tidak wajar dapat membelenggu kita.
- Jika Kehilangan Kesadaran, Kita Bisa Terjebak dalam Prioritas yang Salah
Tikus tersebut mendahulukan kenikmatan sesaat di atas keselamatan dan kebebasannya. Dalam hidup, kita juga dihadapkan pada pilihan antara kepuasan instan dan kebaikan jangka panjang.
Kisah ini menekankan pentingnya mengetahui batas dan memiliki kontrol diri. Tanpa pengendalian diri, bahkan hal-hal yang baik bisa berubah menjadi racun.
Cerita tikus tersebut adalah pengingat bahwa kepuasan sejati bukan terletak pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa bijaksana mengelola apa yang kita punya dan mengetahui kapan harus merasa cukup.
Kita dapat memikirkan bahwa situasi ini juga dapat berlaku untuk aparat penegak hukum atau pejabat publik, yang karena wewenang dan kekuasaan besar, memiliki akses ke banyak sumber daya, yang dititipkan oleh banyak orang karena jabatannya. Jika mereka terjebak dalam keserakahan dan tidak menyadari tanggung jawab, mereka berpotensi menggali "kuburannya" sendiri dalam kenikmatan semu.
Tidak hanya sekadar menggali untuk diri sendiri, namun untuk banyak orang dan anak cucu yang akan terkena dampaknya. Karena satu kezaliman yang kita torehkan hari ini sebagai seorang aparat dan pejabat akan memberikan dampak besar kepada masyarakat, sebagai contoh narkotika yang kita biarkan beredar hari ini, padahal memiliki kewenangan dan kewajiban untuk melakukan kontrol terhadapnya suatu saat dampaknya akan ke keluarga sendiri.
Begitupun misalnya kebijakan untuk kemudahan berusaha. Jika kita mempersulitnya atau kerusakan lingkungan, jika membiarkannya dalam kewenangan dan tanggung jawab kita, maka dampaknya juga suatu saat akan dirasakan oleh anak cucu sendiri.