Seruan untuk Rekan Hakim: Bangun Kembali Marwah Peradilan!

Kita semua pernah mengucap sumpah di bawah langit, di hadapan bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa keadilan akan kita tegakkan tanpa pandang bulu, dengan jujur dan bertanggung jawab.
Ilustrasi ruang pengadilan di Indonesia. Foto dokumentasi PN Raha
Ilustrasi ruang pengadilan di Indonesia. Foto dokumentasi PN Raha

Salam hormat kepada Yang Mulia Rekan-rekan Hakim di seluruh penjuru negeri,

Di tengah gelombang tantangan terhadap integritas peradilan, kini saatnya kita, para hakim, berdiri tegak menyatakan sikap. Seruan ini lahir dari kegelisahan bersama, dari suara nurani yang tak lagi bisa membisu melihat marwah peradilan kita tercabik.

Kita semua pernah mengucap sumpah di bawah langit, di hadapan bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa keadilan akan kita tegakkan tanpa pandang bulu, dengan jujur dan bertanggung jawab.

Tetapi hari ini, wajah lembaga ini tengah kusam. Ia ternoda oleh segelintir oknum yang menyimpang dari jalan kebenaran, oleh ketidakpedulian terhadap nilai-nilai luhur, dan oleh sistem yang tak selalu berpihak pada kekuatan moral.

Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan nurani kita mati oleh diam. Sebab dalam dunia keadilan, kebisuan adalah bentuk keberpihakan yang paling berbahaya.

Bangun Kembali Marwah Peradilan!

Marwah peradilan adalah lambang harga diri kita sebagai penegak hukum, sebagai penjaga keadilan. Ia bukan sekadar simbol kosong, melainkan manifestasi dari harapan rakyat dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang seharusnya adil, bersih, dan bermartabat.

Namun, di tengah perjalanan kita sebagai hakim, kita tidak bisa memungkiri bahwa marwah itu tengah terancam oleh tindakan segelintir oknum yang menyimpang, oleh ketidakpedulian terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi profesi ini, dan oleh sistem yang kadang justru melemahkan keteguhan moral itu sendiri.

Ketika kepercayaan publik mulai memudar, ketika masyarakat mulai memandang kita bukan sebagai penjaga keadilan, tetapi sebagai bagian dari masalah, itu adalah alarm moral yang tak boleh kita abaikan. Di saat seperti itulah, diam bukan pilihan. Kebisuan hanya akan memperpanjang krisis. Justru sekaranglah waktunya untuk menyalakan kembali api semangat dalam dada kita, untuk menyadarkan kembali diri kita apa yang sesungguhnya kita perjuangkan di balik toga itu?

Bukankah kita adalah simbol harapan bagi mereka yang tertindas? Bukankah kita berdiri sebagai benteng terakhir bagi keadilan ketika semua pintu lain telah tertutup? Jika kita hanya mengikuti arus, hanya menjalankan rutinitas, tanpa keberanian untuk bersikap benar, maka kita hanya akan menjadi bagian dari kerusakan sistem, bukan pembenahnya.

Bersikap Jujur tentang Kenyataan

Kita juga harus jujur bahwa penyimpangan tidak lahir dalam ruang hampa. Negara pun memiliki andil dalam menciptakan iklim yang membuat marwah itu rentan. Bayangkan seorang hakim yang mengadili perkara bernilai miliaran hingga triliunan rupiah, tetapi setiap bulannya menerima penghasilan yang jauh dari nilai tanggung jawabnya. Ini adalah kenyataan, dan kenyataan ini tidak bisa terus kita normalisasi.

Integritas memang tanggung jawab pribadi, tetapi kesejahteraan dan lingkungan kerja adalah tanggung jawab negara. Tidak adil bila kita terus dituntut sempurna, ideal, dan suci dari cacat, sementara kebutuhan dasar kita tidak dijamin dengan layak. Seorang hakim yang hidup dalam tekanan ekonomi akan selalu berada dalam godaan. Maka benarlah bahwa integritas tanpa kesejahteraan adalah beban yang tidak proporsional.

Namun, meskipun negara belum memperlakukan kita secara layak, kita tetap harus berbesar hati mengakui: itu tidak boleh menjadi alasan pembenar untuk menyimpang. Jabatan hakim adalah kemuliaan. Dan kemuliaan ini bukan hanya tentang kedudukan, tetapi tentang beban tanggung jawab yang hanya bisa dipikul oleh mereka yang bersedia menanggungnya dengan jiwa yang teguh.

Kita tidak boleh membiarkan rasa frustrasi mengkompromikan keadilan. Justru di tengah keterbatasan ini, keaslian integritas kita sedang diuji: siapa yang benar-benar menjalani profesi ini karena kehormatan, dan siapa yang hanya mengejarnya karena fasilitas atau gengsi semata.

Bersuara Demi Perubahan

Untuk itu, kita harus bersuara. Bukan hanya kepada sesama hakim, tetapi juga kepada negara. Jika ingin memutus mata rantai penyimpangan, maka jangan hanya memperketat pengawasan dan memperberat sanksi. Perbaiki hulunya. Jadikan profesi hakim benar-benar mulia, bukan hanya dalam sebutan, tetapi juga dalam penghargaan nyata. Bangun sistem pembinaan dan perlindungan yang mendorong integritas, bukan hanya sistem pengawasan yang menekan dan mencurigai.

Rekan-rekan sejawat, marwah peradilan ini adalah milik kita semua. Jangan kita diam ketika ia tercabik. Jangan kita pasrah ketika ia dihina. Mari bangkit, mari nyalakan kembali semangat juang yang dulu membuat kita berani mengucap sumpah di hadapan langit dan bangsa. Tunjukkan bahwa kita adalah hakim yang tak akan tunduk pada ketidakbenaran, bahwa kita masih bisa dipercaya oleh rakyat, dan bahwa kita masih punya semangat untuk menyelamatkan kehormatan lembaga ini.

Karena jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Menjadikan MA sebagai Rumah Integritas

Mari kita bangun Mahkamah Agung sebagai rumah integritas yang sejati bukan hanya kuat dalam struktur, tetapi kokoh dalam nilai. Sebuah Rumah yang dibangun atas dasar integritas, dijaga dengan keteladanan, dan dibersihkan dari segala bentuk penyimpangan. 

"Integritas ibarat lentera yang cahayanya dapat menerangi gulita. Agar lentera integritas tetap menyala, diperlukan komitmen bersama untuk saling menjaga". 

Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., (Sambutan Hari Antikorupsi Sedunia 2024). 

Ini bukan sekadar kutipan, ini adalah kompas bersama. Keteladanan sudah ditunjukkan oleh pucuk pimpinan lembaga ini. Kini tinggal bagaimana kita, para hakim yang berada di garis terdepan, mewujudkannya dalam tindakan nyata. 

Saya menulis seruan ini karena saya percaya: masih banyak di antara kita yang diam-diam resah, yang ingin menjaga marwah, tetapi takut merasa sendiri. Maka saya katakan dengan lantang: kita tidak sendiri!

Perubahan tidak harus selalu dimulai dari revolusi besar. Ia bisa lahir dari satu ketukan palu yang jujur, dari satu keberanian menolak atas intervensi yang tak pantas, dan dari satu sikap yang menjaga martabat. Inilah saatnya kita menyusun kembali bangunan integritas dari dalam, batu demi batu, keyakinan demi keyakinan.

Mari kita teguhkan kembali nurani kita, hidupkan kembali panggilan hati kita sebagai penjaga keadilan. Menjadi hakim yang pantas dipercaya, bukan karena apa yang kita katakan, tetapi karena bagaimana kita bersikap. Sebab saat kita memutus perkara dengan jujur, kita sejatinya sedang menjaga kehormatan bangsa, harga diri lembaga, dan kepercayaan rakyat. Dan tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari itu.

Untuk marwah peradilan yang ingin kita pulihkan bersama,

Iqbal Lazuardi, S.H.
Hakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews