TWAIL (Third World Approaches to International Law) adalah, sebuah gerakan para cendikiawan dan praktisi hukum dan kebijakan internasional yang peduli dengan isu-isu terkait dengan dunia bagian Selatan (Global South) dalam konsepsinya yang luas.[ https://twailr.com/pengenalan-twail-review-twailr/ ].
Gerakan ini mencakup berbagai hal, meliputi masyarakat dunia ketiga, penganut marxisme dan feminisme, paham poskolonial dan dekolonial, kajian masyarakat adat, teori kritis dan banyak lagi.
TWAIL adalah untuk membongkar dan mendekonstruksi warisan kolonial hukum internasional, dan untuk terlibat dalam upaya mendukung dekolonisasi realitas masyarakat di belahan dunia Selatan ‘Global South’ dan melakukan transformasi radikal tatanan hukum internasional yang terkait dengan kehidupan mereka. TWAIL Review (TWAILR) dimaksudkan sebagai publikasi berkelanjutan pertama yang didedikasikan untuk jaringan TWAIL dan perkembangannya.
TWAILR adalah upaya sadar untuk terlibat dalam produksi pengetahuan tentang hukum internasional secara strategis untuk membantu menjadikan disiplin ini benar-benar internasional. Dengan mengingat hal ini, TWAILR akan sepenuhnya online, tanpa paralel dengan publikasi cetak, dan berkomitmen untuk tetap dapat diakses secara terbuka tanpa berlangganan. TWAILR membentuk struktur organisasi yang representatif, akuntabel, dan non-hierarkis.
Secara alamiah, hukum internasional bukanlah disiplin yang progresif.[ John Linarelli, Margot Salomon and M. Sornarajah, The Misery of International Law (Oxford University Press, 2018); Anne Orford, ‘Scientific Reason and the Discipline of International Law’ (2014) 25 European Journal of International Law 369; Hilary Charlesworth, ‘International Law: A Discipline of Crisis’ (2002) 65 The Modern Law Review 377] Dari kemiskinan dan ketidaksetaraan hingga migrasi dan perusakan lingkungan, dari hak asasi manusia dan isu kemanusiaan ke pembangunan ekonomi dan redistribusi, meningkatnya tantangan bagi pengacara internasional.
TWAILR berkomitmen untuk mendorong keterlibatan yang lebih inklusif, kreatif, dan produktif dengan hukum internasional melalui pemikiran dan dengan kepekaan dunia belahan selatan- yang berarti sebagian besar dunia. TWAILR mendorong penguatan pemikiran dunia ketiga yang lebih besar dalam membentuk masa depan disipliner kita, dan menuntut produksi pengetahuan tentang hukum internasional yang lebih adil, lebih radikal, dan lebih responsif terhadap tantangan kolektif yang kita hadapi.
Adapun permasalah dalam dunia belahan Selatan adalah salah satunya mengenai kemiskinan. Kemiskinan menjadi permasalahan yang paling mendasar bagi pemerintah pusat maupun daerah.[ ita Pingkan Fasnie Rorong. 2022. Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinandi Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol 23. No 4].
Kondisi nasional suatu negara dan situasi global biasanya pemicu dari kemiskinan. Tingkat pendidikan yang rendah, rendahnya pendapatan, gizi buruk, kesejahteraan hidup yang sendah serta kurangnya produktivitas kerja masyarakat ialah ciri-ciri penduduk disuatu negara miskin. Terbatasnya Sumber Daya Manusia yang ada, baik melaui jalur pendidikan formal maupun nonformal yang pada akhirnya menimbulkan rendahnya kualitas SDM merupakan salah satu penyebab kemiskinan[ Nabilla Yusrya.2023. Analisis Pengaruh Pdb, Jumlah Penduduk Dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1997-2020. Sentri: Jurnal Riset IlmiahVol.2, No.4]
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar(basic needs approach).[ Fauzan Nizar, Muhammad Arif.2023. Pengaruh Rata Lama Sekolah, Pengeluaran Perkapita, Pendapatan Asli Daerah, Investasi, Tingkat Pengangguran Terbuka Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Nusa Tenggara Barat Tahun 2012-2021. Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. 4 No. 1] Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh World Bank.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan tidak dapat terpenuhi. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kurangnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kesulitan dalam pendidikan dan pekerjaan [Fanley N. 2023.Pangemanan Kajian Sosial Kemiskinan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Belang. Fanley N. Pangemanan. Eksekutif volume 3 No. 2]. Kemiskinan merupakan masalah global.
Kemiskinan bukan hanya kondisi hidup dengan kekurangan uang dan tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti kesehatan yang buruk, pendidikan yang rendah, perlakuan yang tidak adil, risiko kejahatan dan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan tentang gaya hidup seseorang.
Kemiskinan merupakan masalah yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan didefinisikan sebagai kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau minimum hidup, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.[ Elvira Rosa Laoh, Josep Bintang Kalangi, Hanlyf. Dj. Siwu. Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (Pdrb) Dan Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi volume 23 No. 1]
Dalam arti yang lebih luas, kemiskinan bersifat multidimensional, yaitu kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang berbeda-beda, yang kemudian dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda pula.
Pemahaman yang komprehensif tentang kemiskinan sangat penting untuk implementasi kebijakan yang diadopsi secara lebih tepat sasaran dan efektif. [ Wati, E., & Sadjiarto, A. (2019). Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia danProduk Domestik Regional BrutoTerhadap Kemiskinan. 2(1), 20–24.]
Masalah kemiskinan bukan hanya jumlah dan proporsi penduduk miskin, tetapi juga kedalaman kemiskinan terkait dengan kesenjangan antara rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Selain itu, tingkat keparahan kemiskinan juga harus diperhatikan, yaitu tingkat keragaman pengeluaran penduduk miskin.
Semakin kecil kedua indikator ini, maka pembuatan kebijakan dalam program antikemiskinan akan semakin tepat sasaran dan efektif. Kemiskinan juga dapat dibedakan dengan membandingkan dengan ukuran tertentu atau dengan anggota/kelompok masyarakat lainnya.
Strategi pengentasan kemiskinan yang diusulkan oleh Bank Dunia, yang selama satu dekade telah berkembang dari menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, mengembangkan kesehatan dan pendidikan, melindungi dan memberdayakan masyarakat miskin.[ Sayifullah, S., & Gandasari, T. R. (2016). Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia Dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Provinsi Banten. Jurnal Ekonomi-Qu, 6(2), 236–255.]
Strategi penanggulangan kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yang pertama adalah melindungi keluarga dan kelompok masyarakat dalam situasi kemiskinan sementara, dan yang kedua adalah membantu masyarakat miskin kronis dengan memberdayakan dan mencegah munculnya kemiskinan baru.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh perbedaan akses dan modal dan rendahnya kualitas SDM sehingga akan mempengaruhi produktivitas dan pendapatan yang didapatkan masyarakat
Peran TWAIL Hukum Internasional dalam Memberantas Kemiskinan
Hukum internasional merupakan instrumen politik negara maju untuk mengintervensi negara berkembang. Hukum dapat berfungsi untuk berbagai kepentingan, antara lain berfungsi sebagai instrumen politik. Intervensi negara maju kepada negara berkembang terjadi melalui dua cara, di mana hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.
Keterlibatan suatu negara dalam perjanjian internasional menunjukkan bahwa negara tersebut dengan sengaja membebankan dirinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional. Salah satu kewajiban itu adalah mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Keterlibatan negara berkembang dalam hukuminternasional merupakan keinginan untuk membuat terobosan guna menghadapi persaingan dengan negara maju.
Pada awal perkembangnya negara-negara baru di kawasan Asia dan Afrika mempunyai sikap yang kritis terhadap hukum internasional dengan alasan sebagal berikut:
1. Pengalaman pahit yang dialami di waktu berada di bawah hukum internasional di zaman kolonial karena ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat pada waktu itu hanya untuk kepentingan kaum penjajah.
2. Negara-negara tersebut belum lahir waktu dibentuknya hukum internasional. Ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut dibuat tanpa partisipasi negara-negara Asia dan Afrika yang keseluruhannya didasarkan atas nilai-nilai dan kepentingan Eropa dan karena itu tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara tersebut.”
3. Dalam hal tertentu, negara-negara Barat menggunakan hukum internasional untuk memelihara status quo dan mempertahankan ‘kolonialisme.”
4. Di antara negara-negara Asia dan Afrika, banyak yang berada dalam keadaan miskin dan karena itu berusaha keras untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka.
5. Jumlah wakil-wakil dari Asia dan Afrika dalam berbagai badan hukum PBB seperti Mahkamah Internasional, Komisi Hukum Internasional dan biro-biro hukum berbagai organisasi internasional, sampai akhir-akhir ini sangat sedikit, sehingga menyebabkan mereka tidak terwakili secara memadai dalam badan-badan tersebut dan tidak dapat berpartisipasi dalam menciptakan norma-norma hukum internasional.
Di negara maju cara terhindar dari kemiskinan adalah dengan cara menyelesaikan sekolah terlebih dahulu, tidak hamil diluar nikah, mencari pekerjaan apa saja dan bertahan pada pekerjaan tersebut[ Tanner, D, M., (2003). The Poverty of Welfare: Helping Others in Civil Society. Washington, D.C. The Cato Institute].
Tetapi, dari beberapa cara tersebut yang terpenting adalah memiliki pekerjaan tetap terlebih dahulu. Di negara maju dalam kondisi ekonomi yang buruk dan tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan negara berusaha untuk menciptakan lapangan kerja semaksimal mungkin. Masyarakat miskin di negara maju memiliki pemikiran bahwa mencari pekerjaan yang baik adalah suatu kebutuhan bahkan ketika kondisi ekonomi negara mereka dalam keadaan stabil.
Kemiskinan memiliki makna yang relatif, di negara maju kondisi miskin diartikan tidak memiliki pekerjaan, sedangkan di negara berkembang kondisi miskin berarti tidak terpenuhinya kebutuhan primer seorang manusia yaitu sandang, pangan, papan. Jadi pengertian hidup miskin harus dilihat dari ruang dan konteks yang berbeda.
Di negara maju, selain pemerintah civil society (LSM) yang dikenal dengan NGO sudah bekerja dengan baik untuk mengurangi beban pemerintah membantu masyarakatnya keluar dari kemiskinan. Sedangkan di negara berkembang kebanyakan pengentasan kemiskinan hanya mengandalkan pemerintah, tanpa adanya kesadaran penuh berupa dukungan (support) dari lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) itu sendiri. Sehingga inilah yang menyebabkan masalah kemiskinan tidak kunjung dapat terselesaikan.
Negara maju juga memiliki peran dalam membantu negara berkembang dalam mengatasi problem kemiskinan, seperti skema bantuan asing (foreign aid), dan ODA (official development assistance). Tetapi setiap bantuan tersebut memiliki prasyarat, ibarat koin yang memiliki dua sisi. Sisi pertama terkait dengan isu ‘money changing hands’, dan sisi kedua ‘ideas changing minds’[ Brinkerhoff, J, M., Stephen C, S., & Teegen, H. (2007). NGOs and the Millenium Development Goals: Citizen Action to Reduce Poverty. New York. Palgrave Macmilan]. Tiap bantuan tidak dapat diberikan secara cuma-cuma, semua harus mengikuti syarat yang memang diinginkan oleh negara pendonor.
Seluruh pemerintah dunia saat ini menggunakan acuan program MDG’s (Millenium Development Goals) dalam melihat kemajuan pembangunan yang telah mereka lakukan. Beberapa isu yang ada dalam program tersebut diantara masalah kemiskinan, kelaparan, kesehatan, dan pengangguran. Dan masing-masing isu saling berkaitan satu dengan yang lain.
Pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah-masalah masyarakat yang kompleks tersebut sendiri, dalam hal inilah diperlukan peranan NGO dalam membantu meringankan beban/ tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakatnya. NGO sebagai aktor ketiga (third sector) mampu membantu pemerintah menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.
Kemiskinan yang dialami beberapa masyarakat di negara berkembang tidak hanya sesaat, tetapi bisa dialami bertahun-tahun bahkan hingga menular pada generasi selanjutnya. Kondisi ini dinamakan ‘poverty trap’ (perangkap kemiskinan), dimana masyarakat sama sekali tidak mampu bergerak untuk mendapatkan hidup yang lebih layak baik ekonomi dan sosial. Poverty trap inilah yang berusaha ditanggulangi oleh NGO, dengan tujuan masyarakat miskin bisa hidup lebih baik dan layak.